Minggu, 05 Juni 2016

Ingatlah Aku, Sayang


(sumber gambar: vemale.com)

Belum lama ini, saya bertemu seorang pria paruh baya yang baik hati. Sebut saja ia Pak Jose. Pak Jose ini seorang pegawai di sebuah instansi yang berlokasi di luar Pulau Jawa.
Nampaknya, Pak Jose seorang yang gemar bercerita. Banyak sekali pengalaman dan kisah hidupnya yang terbagi ke saya hanya dalam hitungan jam. Mulai dari ketertarikannya terhadap Yogyakarta, kisah keluarga, masa lalunya, dan sampai kepada hal yang cukup pribadi seperti perjalanan karier, tersampaikan dengan runutnya.
Tanpa sungkan bercerita, Pak Jose mengaku baru saja kehilangan jabatan. Sekitar setahun belakangan, ia menjadi satu dari sekian ratus pejabat yang dinonjobkan oleh rezim gubernur yang baru.
Di tempat Pak Jose bekerja, intrik politik dan kedekatan dengan penguasa masih menjadi penentu karier seseorang. Pak Jose yang pernah menjadi kepala kantor, sekarang hanya menjadi staf biasa. Pejabat yang lekat dengan posisi strategis, menentukan, dan ber-prestise, sekarang hanya disibukkan dengan pekerjaan clerical. Bayangkan saja bagaimana rasanya.
Pak Jose mengatakan, kadang masih muncul penyesalan mengapa ia sejak awal tidak mencoba mengamankan jabatannya dengan mendekat ke jaringan para penguasa. Namun sisi hati yang lain berkata, itu cara yang tidak fair dan tidak sesuai dengan idealismenya.
***
Tak dimungkiri, Pak Jose masih merindukan masa-masa di mana ia memegang jabatan dan kekuasaan. Ia sering teringat dengan mantan anak buahnya yang jumlahnya tidak sedikit. Timbul tanya, kemana dan sudah jadi apa mereka. Tetapi yang jelas terjawab, mayoritas mantan anak buah sudah melupakannya.
Tak dinyana, di saat hujan deras mengguyur, notifikasi pesan berbunyi di ponsel Pak Jose. Pesan itu berbunyi: “Pak Jose, ini saya Edi, sedang berteduh di bangunan yang dulu menjadi proyek Bapak. Saya jadi ingat Bapak.
Pesan dari Edi, mantan anak buah Pak Jose, terbaca sebagai sebuah pesan yang sederhana. Bukan jenis kalimat yang berbunga-bunga. Pun tanpa diksi yang dibuat-buat agar bernuansa puitik melodramatik.
Tetapi jangan salah, ternyata penerimaan Pak Jose jauh dari yang terbayangkan. Pasca membaca pesan itu, Pak Jose menggambarkannya kepada saya: “Walau cuma kayak gitu, Yan. Sms-nya cuma kayak gitu itu. Tapi, rasanya langit runtuh saking senengnya Bapak, Yan.
Pak Jose lalu berpesan agar kita selalu menjalin silaturahmi dengan siapa pun. Tak ada salah dan ruginya, bahkan silaturahmi akan menelurkan berbagai kebaikan yang acapkali tidak terduga datangnya.
***
Banyak dari kita yang berhubungan dengan orang lain hanya ketika butuh, hanya saat dianggap menguntungkan saja. Bersikap baik dan mundhuk-mundhuk dengan atasan hanya ketika beliau masih memimpin kita. Lalu melupakannya begitu saja ketika pindah atau purna tugas.
Versi Pak Jose, nilai diingat ialah seagung runtuhnya langit. Sebuah metafora yang menggambarkan betapa diingat itu berkadar sangat tinggi. Langit perasaan Pak Jose tak kuat menanggung daya kejut bercampur tersanjung yang amat sangat, sampai kemudian runtuh. Padahal cuma karena diguncang selarik sms oleh mantan anak buahnya.
Edi, sang mantan anak buah, mungkin tanpa tendensi apa-apa saat meng-sms Pak Jose. Tetapi nyatanya, penerimaan Pak Jose begitu dalam dan sedemikian melankoliknya. Maka, kita tak boleh meremehkan sekecil apapun upaya untuk mengingat jasa dan peran seseorang. Sekadar mengingat, tidak mahal dan tidak sulit, bukan?

2 komentar:

  1. Refleksi yang pas untuk pengiring kopi pagi, mengingatkan kita semua tentang pentingnya persahabatan yg dibangun sejak lama, lalu terus dibina, dipupuk. Terima kasih sharingnya Ryan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pak Josef atas respons dan apresiasinya. Doakan agar saya bisa mengikuti jejak inspiratif Pak Josef.. :)

      Hapus