Senin, 10 Desember 2012

Telepon Selular, Cultural Lag, dan Pelanggaran Hukum

(sumber gambar: prezi.com)
Telepon Seluler
Dewasa ini, perkembangan teknologi demikian cepat terjadi. Bahkan teknologi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkup kehidupan kita sehari-hari. Salah satu produk teknologi yang saat ini seolah tak bisa dilepaskan dari diri kita adalah telepon seluler (ponsel). Kemana pun kita pergi, ponsel menjadi piranti wajib bawa. Jika saja kita lupa membawanya, kita akan  segera mengalami kebingungan, karena merasa telah terputus dari interaksi dengan dunia luar.
Kiprah ponsel di Indonesia diawali ketika pada 1993 PT Telkom memulai proyek percontohan seluler digital Global System for Mobile (GSM), dimulai di dua pulau, yakni Pulau Batam dan Pulau Bintan. Kemudian disusul pada tahun 1994 PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) beroperasi sebagai operator GSM pertama di Indonesia, dengan mengawali kegiatan operasinya di Jakarta. Saat itu ponsel hanya dimiliki oleh kalangan the haves, dan masih termasuk ke dalam kebutuhan kemewahan (tersier) karena harga jual yang kurang terjangkau. Dalam  perkembangan selanjutnya, penggunaan ponsel menjadi sangat pesat. Ponsel seketika menjadi kebutuhan sekunder, sebelum akhirnya sekarang ini dirasa cukup sah jika ponsel ditahbiskan sebagai kebutuhan primer.
Ponsel sebagai suatu produk teknologi, saat ini telah menjadi suatu identitas budaya era informatika. Penggunaan ponsel sebagai gadget komunikasi sudah melekat pada setiap derap langkah kegiatan manusia di era ini. Ponsel seolah telah terintegrasi dan terinternalisasi dengan diri kita. Dimanapun kita berada, bukan suatu pemandangan yang aneh saat terdapat banyak orang menggenggam ponsel, dengan tingkah khas kepala menunduk dan berkonsentrasi pada screen ponsel, pun seringkali diikuti dengan sikap tak acuh pada lingkungan sekitar. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan menggunakan ponsel sampai pada taraf menimbulkan ketidaknyamanan bahkan berpotensi membahayakan.
Cultural Lag dan Pelanggaran Hukum
Ponsel merupakan produk kebudayaan era globalisasi dan informatika. Mengacu pada hal tersebut, akan sangat relevan bila kita meninjaunya dari sudut pandang sosiologis kultural. Kebudayaan mengalami beberapa perubahan karena mengikuti arus perkembangan zaman. Salah satu dari bentuk perubahan kebudayaan menurut Munandar (1987) adalah cultural lag atau  kesenjangan budaya. Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya cultural lag di sini adalah adanya selisih waktu antara saat benda (produk kebudayaan) ketika pertama kali diintroduksikan dan saat benda itu diterima secara luas sampai ketika masyarakat penerimanya dapat menyesuaikan diri terhadap benda tersebut.
Penyalahgunaan penggunaan ponsel dapat dipakai sebagai contoh  konkret dari terjadinya cultural lag. Kerapkali kita lihat ponsel digunakan seseorang saat mengemudi kendaraan bermotor, baik itu sepeda motor maupun mobil. Di jalan raya sering kita jumpai para pengendara motor yang nyambi ber-SMS dan bertelepon. Bahkan tak sedikit diantara mereka yang menyiasatinya dengan menyelipkan ponsel di helm untuk bertelepon. Pengendara mobil pun tak jauh berbeda, mereka pun acapkali terlihat melakukan multi-tasking, bertelepon, ber-sms sambil mengemudi. Inilah bukti riil bahwa telah terjadi cultural lag dengan contoh kasus penggunaan ponsel ketika mengemudi. Cultural lag dalam hal ini terjadi karena belum adanya kematangan/kedewasaan kita dalam menggunakan ponsel. Penguasaan kita pada teknologi untuk memaksimalkan fungsi ponsel tidak disertai dengan kedewasaan kita dalam menaati konteks waktu dan tempat penggunaannya. Ponsel yang sebenarnya alat bantu komunikasi antar manusia, justru menjadi alat yang berpotensi membahayakan.
Jika kita tilik tindakan tersebut dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka penggunaan ponsel ketika berkendara adalah tergolong pelanggaran terhadap pasal 106 ayat 1. Pasal tersebut mengatur bahwa pengemudi wajib mengendarai kendaraan dengan penuh konsentrasi, dan di penjelasan pasal tersebut tertulis jelas secara definitif bahwa menggunakan telepon termasuk ke dalam kegiatan yang mengganggu perhatian ketika mengemudi. Sanksi untuk pelanggaran tersebut diatur dalam pasal 283 Undang-Undang yang sama, yaitu pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 750.000,00.
Pada akhirnya dapat kita simpulkan, bahwa kita sebagai pengguna produk teknologi haruslah bijak dalam memfungsikannya. Sehingga benda tersebut dapat benar-benar kita fungsikan sesuai dengan peruntukannya dan tidak menimbulkan efek negatif baik kepada kita sebagai pengguna aktif maupun kepada lingkungan sekitar. Kemudian, jika dalam penggunaan produk teknologi tersebut menimbulkan potensi bahaya bagi lingkungan sekitar dan hal itu termasuk ke dalam  pelanggaran  hukum, seyogyanya penegakan hukum harus benar-benar tegak setegak-tegaknya.

14 komentar:

  1. aku pernah bawa masalah pelanggran penggunaan produk telekomunikasi seluler pas jaman kolokium PPKN jaman TPB 2006 (iyaa udah tua kita) lho yan!hehehehe..cm ngenanya ke aspek hukum dan hak pengguna/konsumen gitu. kamu ngena ke sosiologinya dan hukum.. gini nih lulusan KPM IPB! eaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, nyebut tahun. Hakhakhak. Ayo bro share itu di blog babadotan-mu. Kan bisa menambah khazanah (pake z) pengetahuan kita tentang permasalahan ini dari sudut pandang dan dialektika masing-masing. By the way, hatur nuhun komenna. Salam EP eh EV!!

      Hapus
  2. Ga jadi coment panjang ek -____- hehe
    Okeee nambah pengetahuan, ak baru tau kalo ada istilah cultural lag terus disangkutin ke penggunaan ponsel nyiiipp :)) mengena padat dan berisi, sing aktip nulis blog ek!

    BalasHapus
  3. Dulu awal-awal punya hengpon, benar2 sampai ketergantungan. Sehari saja hengpon ga berbunyi rasanya sudah yang gimana gituuuu. Hengpon ketinggalan bnr2 bisa membuat ari berantakan *halah*, tapi klo skrg sudah beda lagi Yan. Mau bunyi atau ketinggalan, aku yg biasa saja, palingan nanti minta maaf klo ada yg protes hohohoho.

    Oiya, aku ki termasuk yg multitasking saat memasak tapi ga bs multitasking saat nyetir, jd klo ada telpon/sms masuk lebih milih menepi baru buka hengpon. Ternyata aku bs terbebas dr pasal 283, yyaayyy!!!!
    Ayo nulis2 maneh Yan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip, Mbak. Jangan sampai ngisin-ngisinni aku, Mbak. Mosok wis sepuh (dikeplak) motoran opo mobilan nyuambi telpon/sms-an. Kan saru. Harus bijak dan sesuaikan umur yo, Mbak. Hihihihi. (dikeplak meneh)

      Hapus
  4. menurutku, keberadaan HP sdh merupakan kebutuhan primer, krn untuk alat komunikasi. Dan, sebagai pengguna alat komunikasi ini, aku baru tau ada hukum-hukum seperti ini. Cukup menambah pemahanan :D .. untung ga pernah maenan hape kalo lagi nyetir.. ;;)

    BalasHapus
  5. Sip. Itu salah satu prinsipku yang sampai sekarang belum tak langgar. Baik pas motoran atau mobilan (soalnya bikin mumet hihi). Baik di jalanan aktif atau di jalanan pas lampu merah. Sebenarnya saat ini masih dalam rangka razia di jalanan Jakarta terkait tulisanku itu Indah. Ada razia dari polisi di Jakarta kepada pengendara yang main handphone, lampu motor tak nyala siang hari. Semoga peraturan itu bisa tegak dan "galak", agar kita yang belum "dewasa" dalam berteknologi, menjadi sadar dan bijak. Makasih, Indah komennya :))

    BalasHapus
  6. Halo dek, Hehe
    Bagus tulisannya... Dikembangkan ya dek #logat pak tino sidin#
    Temanya diupdate lagi yaahh, sudut pandang lumayan...
    Tinggal digosok dikit keluar jin nyaa
    Pokoknya km cetar membahanaa!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Badai. Badai kerispatih. Mamacih, Mbake. Semoga bisa istiqomah nulis. Ide sudah berseliweran di kepala. Tinggal apakah tanganku yang macuk eri ini mau segera digiring untuk menggerayangi tuts laptop atau ga. Uwuwuwuwu. Nuwun (--")9

      Hapus
  7. akupun selalu gemas jikalau melihat ada sesosok manusia yang menekatkan dirinya untuk bersms, bertelpon, atau bermain hape-ria di kala dia mengemudi, baik itu memngemudi motor, mobil, truk, bis, pesawat, atau getek sekalipun.
    biasanya saya sih merespon mereka dengan meng-klakson mereka dengan tidak biasa biar mereka bete.
    ya.. semoga mereka bete.
    kurang lebihnya aku setuju dengan uraianmu, maka tos-lah!! tooss!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Toss! *wudhu*
      Jadi, pas liat orang pake hape sambil motoran itu rasanya pengen tak sahut hapenya, trus tak jual? #lah?
      Tapi kalo yang hapean itu pake mobil, aku ga pengen nyahut, kan mobil ada jendelanya yang bisa ditutup kan? #dijelasin

      Hapus
  8. Klo penyalahgunaan hape buat nonton mb oza*wa dkk termasuk cultural lag gk tuh? Kan lebih ke arah pelanggaran moral tuh bukan hukum..

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah iya sekali mas. itu termasuk cultural lag. itu termasuk ketidakdewasaan sang pengguna hape sebagai sarana komunikasi. itu penyalahgunaan. matur nuwun mas, itu bisa diproduksi menjadi satu tulisan berbeda. :)

      Hapus