Kamis, 28 Juli 2022

Low Back Pain dan Diklat Online

sumber gambar: kotopopi.com

Nyamannya hanya tiduran. Jalan tak enak, duduk pun sakit. Sementara diklat baru berjalan seminggu. Masih terbentang jalan panjang hingga lima bulan ke depan. Jauh sekali. Ngaluk-aluk.

Tebersit ketakutan, bagaimana kalau pinggang tak segera sembuh. Sementara saban hari harus fokus duduk menghadap layar, minimal sekitar 5 jam.

***

Saya ditugaskan mengikuti diklat pada Maret 2020. Saat itu awal pandemi. Diprogramkan, diklat diawali kelas online berformat e-learning, selama lebih kurang 4 bulan. Dilanjut diklat klasikal tatap muka di Cianjur 2,5 bulan. Tetapi, pandemi semakin menggiriskan. Diklat klasikal dipastikan ditunda hingga 2021.

Memasuki 2021, tersiar kabar diklat sebentar lagi berjalan. Tersisip info tipe diklat yang akan dihelat, bisa klasikal sesuai rencana, atau berubah full online. Muncul kabar kemudian, tertunda kembali. Hingga awal Desember 2021, belum jua terlaksana.

Tak ada yang bisa disalahkan. Siapa pun tak ada yang tak kaget didatangi pandemi. Tak terkecuali diklat yang terpaksa mundur. Serba dinamis, sekaligus fluktuatif.

Pertengahan Desember 2021, grup WhatsApp diklat yang dibentuk tahun 2020 dan selama ini sesenyap tengah malam, tiba-tiba muncul 1 notifikasi. Pesan berasal dari penyelenggara diklat. Berisi bocoran info, diklat akan dilaksanakan awal 2022.  

Excited sekaligus over thinking. Excited karena ada secercah kepastian. Kepikiran sebab muncul tanya akan seperti apa, dimana, dan bagaimana-bagaimananya. Membuat kebat-kebit.

Pertengahan Januari 2022, surat tentang pelaksanaan diklat dan penjelasan teknisnya tiba. Full online. Sampai pertengahan Juni, mulai awal Februari.

***

Pinggang, khususnya sebelah kiri, sakit. Terasa seperti habis aktivitas berat, semacam mencangkul sawah 2 petak atau ngangkut pasir 1 rit. Sakitnya seperti capai yang sangat. Baru pertama kali alami seperti ini.

Futsal, angkat beban, lari, jalan, dan bersepeda jauh bahkan tak hasilkan rasa seperti itu. Ia dihasilkan hanya dari duduk saja. Tapi memang duduknya berjam-jam.

Sebenarnya, duduk lama tidak masalah jika tidak diperburuk faktor-faktor lain. Kondisi saya, diperparah kursi tidak ergonomis dan gaya duduk yang salah.

Kursi terlalu rendah, busa menipis. Tidak menopang tubuh dengan baik. Karena kursi tak suportif, gaya duduk akhirnya saya tinggi-tinggikan dan ditopang dengan kaki disilangkan ke kaki yang lain. Jegang.

Duduk lama, kursi tidak oke, keliru gaya duduk, ditambah tanpa diimbangi peregangan. Plus kurang minum, karena di ruangan ber-AC. Multi sebab itu layak munculkan nyeri pinggang. Saya pantas mendapatkannya.

Pertolongan sementara, kompres panas dan kompres es. Oles Counterpain panas dan dingin. Mengurangi sakit hanya sebentar. Efeknya temporer.

***

Yang terpikir, harus segera ke Plaza UNY untuk terapi fisik atau fisioterapi. Tempat itu menjadi jujugan teman-teman futsal dan anggota keluarga saya saat cedera. Celakanya, tempat itu tutup sampai waktu yang belum ditentukan. Omicron meningkat. Asem tenan.

Cari info sana-sini. Ketemu tempat alternatif, di daerah Umbulharjo. Ternyata berisi para alumni UNY Program Studi Ilmu Keolahragaan. Tak beda dengan yang di Plaza UNY.

Kata Terapis, segala hipotesis saya benar. Perpaduan sebab-sebab tadi lahirkan low back pain (LBP) yang menyiksa. Dua kali terapi, saya dipijat, diurut, dipanaskan di titik sakit, dan diajari gerakan-gerakan stretching.

Usai terapi pertama, badan sakit semua. Nyeri. Njarem. Wajar, karena titik itu dan titik-titik sekelilingnya ditekan dan diurut kuat. Dipesan Terapis, jika dalam 10 hari tiada perkembangan berarti, saya dianjurkan datang lagi. Saya pun harus rajin stretching. Untuk cedera otot, menurut Terapis, di samping terapi harus ditunjang rajin peregangan. Beriringan. Tak boleh saling meninggalkan.

Pasca terapi pertama, ada efek positif. Rasa sakit berkurang, tapi belum hilang sempurna. Masih tersisa, dan belum nyaman untuk duduk lama. Saya datang lagi ke Umbulharjo.

***

Usai terapi kedua, sakit berangsur menghilang. Tapi belum bisa dibilang sembuh total. Sakit sudah 2 minggu lebih. Diklat masih panjang. Tak sabar ingin sembuh, dan pertimbangkan tempat terapi lain.

Sudah reservasi untuk nanti malam, di Jogja Sport Clinic (JSC), barat Pasar Condong Catur. Sorenya, telpon Bapak. Dianjurkan minum Neurobion warna pink dulu. Karena dulu beliau sempat alami rasa tak nyaman di urat, diminumi Neurobion, sembuh. Tak jadi ke JSC.

Esoknya, beli Neurobion tablet pink, yang secara dosis lebih tinggi dari tablet putih. Minum 1, dalam hitungan jam, rasa sakit berkurang signifikan. Gembira.

Hari ketiga minum, sakit tinggal 10 persen. Diteruskan minum sampai 10 tablet habis. Sembuh total. Persis di sebulan sejak sakit pertama. Berarti itu di pertengahan Maret 2022. Diklat berlanjut lebih cerah. Tubuh prima.

Pertanyaannya, apa yang sebabkan LBP saya sembuh. Saya penganut paham, bahwa apapun tidak terjadi hanya karena 1 sebab semata. Kumpulan ikhtiar, doa-doa, dan kemurahan Tuhan jadi sumbernya.

***

Memasuki Juni 2022, diklat merayap menuju finish. Laporan-laporan menunggu diselesaikan. Tepat di ujung awal Juni, mulai berkutat rampungkan laporan akhir. Jika sebelumnya saya memilih untuk diklat online di kantor, untuk laporan, saya menyelesaikannya di rumah.

Sebenarnya, laporan terdiri dari 3 item. Satu laporan telah terselesaikan 1 hari sebelum lebaran. Dua item berikutnya dicicil mulai pertengahan Mei. Mulai awal Juni, ngebut di laporan inti, yang secara substansi, banyak dan sangat kompleks.

Nah, dua minggu di awal hingga pertengahan Juni itulah, saya duduk untuk intensitas yang lebih tinggi dibanding di awal diklat. Seharian penuh. Jam kerja normal, ditambah sampai sekitar tengah malam. Herannya, penderitaan di Februari sampai Maret terlupakan.

Karena melupakan penderitaan, lupa pula bagaimana agar penderitaan itu tak terulang. Mungkin karena kepala penuh laporan, sampai-sampai tak ada ruang untuk mengingat pentingnya kursi yang ergonomis, posisi duduk, peregangan, dan jumlah minum yang cukup. Tepat di H-3 presentasi laporan diklat dan ujian, LBP kambuh. Ia datang tak tahu waktu. Jan tenan!

Di saat duduk menjadi posisi yang tak bisa ditawar, LBP kembali mengganggu. Selasa malam, di mana Rabunya saya ujian, LBP semakin parah. Jauh lebih sakit daripada yang pertama dulu. Untuk menunduk saat wudhu dan ruku’, sakitnya minta ampun. Kaku nyeri jadi 1. Panik. Besok gimana ini ujian.

Counterpain dioles lagi, dikompres lagi, dan dipijat istri. Perlahan berkurang. Langsung reservasi ke JSC dan berjanji tak ditunda lagi.

Usai ujian, sorenya langsung ke sana. Diterapi dengan teknik yang kurang lebih mirip dengan di Umbulharjo. Hanya, di JSC ditunjang peralatan yang lebih modern. Wajar, secara ongkos memang lebih mahal. Keesokan hari, sakit hampir amblas.

Jumat pengumuman kelulusan diklat. Hamdulillah lulus. LBP pun sembuh. 

Kamis, 09 September 2021

Yang Tersisa dari Transfer Ronaldo ke Manchester United

sumber gambar: en.as.com

Kembalinya Cristiano Ronaldo (CR7) ke Manchester United (MU) menggegerkan publik sepak bola seluruh dunia. Seolah tanpa pertanda, tiba-tiba ia pulang ke klub yang membesarkan namanya.

Ia berkarier di MU pada rentang 2003 s.d. 2009. Di bawah bimbingan Sir Alex Ferguson (SAF), CR7 menjelma menjadi andalan utama. Di sana, ia tumbuh sebagai pemain besar dan akan dikenang sepanjang sejarah. Sepuluh trofi, mulai Piala FA, Piala Liga, Liga Inggris, Liga Champions dan lainnya ia rengkuh saat bermarkas di Old Trafford.

Real Madrid tergiur dengan skill lengkap CR7. Juli 2009, dengan mahar 80 juta Poundsterling/1,3 triliun Rupiah, ia sepakat bergabung dengan Los Galacticos. Menjadi rekor transfer termahal zaman itu. Sebuah harga yang setimpal. Ia sukses persembahkan 16 gelar.

Saat tak lagi muda, usai lewati usia puncak pemain bola, 33 tahun, CR7 masih dibanderol 99,2 juta Poundsterling/1,8 triliun Rupiah, ketika pindah ke Juventus pada 2018. Tidak buruk, ia masih bisa persembahkan 4 gelar dalam 3 tahun masa baktinya di Turin.

***

Akhir Agustus lalu, nama Ronaldo yang lindap karena tersita terangnya lampu sorot untuk Messi yang pindah ke PSG, tiba-tiba menyeruak menjadi bahasan utama. Namanya menjadi world wide trending topic di Twitter. Ia disebut akan pindah ke tim yang tidak terduga: Manchester City!

Wajar, City disebut sebagai pembeli CR7. Klub milik triliuner Uni Emirat Arab Sheikh Mansur ini, satu dari sedikit klub yang mampu membeli dan membayar gaji super mahal CR7. Yang membuat tidak terduga, City rival sekota MU.

Banyak yang terkejut. Hampir semua Fans MU marah dan misuh-misuh.

Saya sebagai fans MU, tentu sedikit terkejut. Tapi tidak marah, pun tak sampai misuh. Apapun mungkin di dunia ini, apalagi di lingkup sepak bola modern yang telah menjadi industri besar. Transfer pemain bola sungguh cair. Dinamis sekali. Perubahannya demikian gegas. Saya telah menyadarinya sejak lama.

Saya mulai intens memantau bola pasca piala dunia 1998. Mulai saat itu pula, saya rutin menambah pengetahuan sepak bola melalui berbagai sumber. Televisi, bacaan, dan obrolan. Karena internet masih jauh sekali dari jangkauan.

Tabloid Bola menjadi sumber utama bacaan saya. Bola terbit seminggu 2 kali. Selasa dan Jumat. Oleh karenanya, Selasa dan Jumat jadi hari-hari yang sangat saya nanti-nantikan. Membeli dan membuka helai demi helai halaman Bola menjadi momen yang sangat menyenangkan.

Bola menjadi sumber kebahagiaan tersendiri bagi saya –yang kala itu duduk di kelas 5 SD. Pengalaman yang identik, seperti saat TK dulu dibelikan Bobo.

Rasa saat tukang koran tiba di depan rumah masih terkenang. Aroma kertasnya pun tersimpan di korteks piriform hingga sekarang.

Melalui Bola edisi Selasa, saya ketahui hasil-hasil pertandingan di akhir pekan. Skor dan ulasan pertandingan tersaji lengkap. Dalam edisi Jumat, prediksi pertandingan beserta dugaan susunan pemain yang akan dimainkan, dapat menjadi bekal untuk saksikan laga keesokan harinya.

Di Bola, diberitakan pula transfer perpindahan pemain. Saya menjadi bersemangat jika pemain dihubungkan dengan AC Milan dan MU. Apalagi jika terkategori pemain bintang. Tak jarang, transfer hanya sekadar isu selentingan berkelas kabar burung. Membuat kecewa saja. Dari rentetan kekecewaan itu saya belajar.

***

CR7 memang pemain spesial. Ia pemain terbaik dunia lima kali. Ia pesepak bola lengkap. Dribble-nya bagus, larinya cepat, kepalanya tajam, kaki kanan kiri hidup semua. Posturnya ideal, fisiknya prima, pun jarang cedera.

Jika David Beckham ngetop karena ditunjang ketampanan dan kehidupan jetset-nya, CR7 hampir 100% dikenal dunia karena kiprahnya di sepak bola. Pernik lain tentu ada yang menghiasi, tetapi tak sampai menggeser fokus pemberitaan bahwa ia pemain bola.

Ia rutin donor darah. Demi itu, ia tidak mau melukis tubuh dengan tato.

CR7 tak jarang dikabarkan beramal. Ia membangun rumah sakit di Portugal dan berdonasi untuk Gaza. Yang terbaru, ia menyumbang demi perangi Corona. Mantan kekasih Irina Shayk ini juga menjadi duta kemanusiaan di Save the Children, UNICEF, dan World Vision.

CR7 atlet yang sangat disiplin berlatih. Di samping menaati porsi latihan klub, ia masih memiliki program latihan pribadi dengan personal trainer. Hasilnya, ia hanya miliki 7% lemak di tubuh, dibanding 10% lemak pada rata-rata atlet seusianya. Ronaldo sekarang berusia kronologis 36 tahun, tetapi usia biologisnya sekitar 20 tahun.

***

Saat muncul berita CR7 akan ke City, banyak fans MU di Twitter, baik akun besar maupun kecil, merespons dengan sangat reaktif. Mereka bilang CR7 pengkhianat, hanya pikirkan uang, tidak mengerti makna loyalitas, dan olok-olok lainnya.

Saya mengerti. Memang fans bola tak sedikit yang cintanya setengah mati, bahkan rela mati demi klub kebanggaannya. Memang pengabdian dan kesetiaan, apalagi kepada klub yang membesarkan namanya, masih tetap mata uang yang berlaku di zaman kapan pun. Tetapi, akan lebih melegakan, jika kita memandang transfer pemain, seperti tertulis di atas, sebagai suatu hal yang sangat cair dan dinamis.

Karena sering kecewa sebab transfer pemain, saya menjadi kebal dan memandangnya dengan ringan. Transfer pemain bola menawarkan berbagai macam kemungkinan sampai detik tenggat terakhir. Jika pemain belum foto dengan jersey klub, atau diumumkan di depan wartawan, atau diunggah di media sosialnya, maka jangan percaya dan habiskan energi di sana. Percuma.

Terbukti, sekali lagi. CR7 justru berbelok ke MU. Tidak jadi ke City. Ada peran besar SAF dan teman-teman di MU seperti Rio Ferdinand, Patrice Evra, dan Bruno Fernandes yang membujuknya pulang.

Sederet kehebatan teknis CR7 semoga membawa prestasi untuk kejayaan MU. MU sudah haus juara. Kami rindu.

Selain dari sisi teknis permainan di lapangan, CR7 paling tidak, dapat menaikkan moral dan memberikan teladan bagi karier para pemain muda. Nama besarnya pun dapat menjadi ancaman psikis bagi tim lawan. Selain itu, CR7 pun sudah terbukti menaikkan angka penjualan jersey MU. Dalam 12 jam, penjualannya mencapai 640 miliar Rupiah.

Apapun itu, dengan beragam dinamika serta lika-liku yang mewarnainya, yang terpenting: Welcome home, Cristiano!

Senin, 19 Juli 2021

Cerita Kuliah Lagi (Bagian 2)

 

sumber gambar: dreamstime.com

Link Tulisan Pertama: Cerita Kuliah Lagi (Bagian 1)

***

Usai hilir mudik konsultasi dan bimbingan, akhirnya proposal tesis lolos diseminarkan. Setelah seminar, boleh penelitian.

Sedikit lega. Lega sedikit.

Tinggal selangkah lagi. Dan, nampaknya jalan terlihat terang untuk dilalui.

***

Ternyata tidak semudah yang terbayang. Jalan cukup terjal. Seperti jalanan gravel di Kansas. Berbatu kasar, penuh debu.

Tahap penelitian dimulai dengan mengurus perijinan. Ternyata kuesioner saya harus dikaji demi alasan etik. Memang begitu prosedurnya. Perlu menunggu sekian waktu. Lama. Hitungan bulan. Bikin dongkol saja.

Dilanjut dengan mengunjungi tempat penelitian dan mengurus administrasi. Di sini, ringkas dan cepat.

Saya memilih sebuah rumah sakit kelas provinsi sebagai tempat penelitian. Alhamdulillah, para pegawainya friendly dan menyenangkan. Di sana sering dijadikan tempat penelitian. Sehingga, serba mudah.

Langit penelitian cukup benderang. Namun, perlahan redup di tahap konsultasi hasil. Pak Dosen masih saja hadir dengan standar tingginya. Walau tampak sulit, sedikit pun tak tampak gelagat beliau berniat menyulitkan. Yang tertangkap, beliau semata strict pada standar yang telah ditetapkan. Prinsipil!

***

Motivasi fluktuatif. Terkadang muncul setinggi ambisi, tapi mampu anjlok serendah keputusasaan.

Pulang kantor sudah lelah. Mencuri waktu di kantor kian susah.

Mencari teknik cara melawan malas, semua jawaban mengarah pada satu jawaban: “Ya dilawan!

Mencari strategi untuk cepat selesaikan tesis, jawab pun seragam: “Selesaikan!

Kompleksnya masa selesaikan tesis kembar identik dengan jaman skripsi. Musuhnya diri sendiri. Melawan diri adalah pertarungan paling rumit, bahkan berdarah-darah.

Saat masih ada kelas, kontrol diri sekaligus kontrol sosial masih banyak. Mau bolos, ada batasan maksimal. Mau tak masuk, malu sama teman. Mau tak kerja tugas, gimana nasib nilai.

Era skripsi, era tesis benar-benar sak karep-karepe dhewe. Yang ada hanya diri kita dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Harus kukuh.

Dulu, kerjakan skripsi, dua bulan selesai. Saat itu, motivasi masih sekuat segera pergi dari Bogor, cepat kerja, dapat uang sendiri. Lha, pas proses tesis, cita-cita enyah dari Bogor lunas terwujud, kerja dan berpenghasilan pun sudah.

Beberapa teman-teman terdengar mulai berguguran dalam perjuangan selesaikan tesis. Ora maido, kerja sambil kuliah memang tidak mudah.

Sadar, dorongan ada di diri sendiri, saya terbangun. Teringat, kalau terlalu lama kuliah, linier dengan waktu yang dibuang-buang, biaya yang dihambur-hamburkan. Terbangun, penundaan berkarib dekat dengan penyesalan.

Beruntung, saya punya bu ryan, yang sangat persisten dan konsisten untuk terus ingatkan agar lekas selesaikan. Ia melecut, masih banyak rencana-rencana di depan yang perlu disongsong. Ia memecut, kalau tak kunjung rampung, bagaimana urusan lain tergapai.

Bahkan ia turun gunung. Ikut langsung koreksi tesis saya.

Bapak-Ibu terus semangati. Lalu ingat, dulu Bapak juga kuliah sambil kerja, dan lulus. Saya mosok kalah.

***

Tak mau digerus waktu, usai mandheg sebentar, saya giatkan kembali konsultasi dan bimbingan hasil penelitian. Kurang sedikit, sedikit sekali sebenarnya, untuk mencapai selesai.

Ambil data dan analisisnya sudah, pun menarasikannya. Hanya tinggal menjangkau standar Pak Dosen. Itu saja. Tapi jauh dari sederhana.

Bimbingan. Konsultasi. Sering di hari kerja, tak jarang di Sabtu.

Pak Dosen sangat laris dipilih mahasiswa S1 dan S2. Mahasiswa S1 bimbingannya mencapai ratusan. Pernah sampai dua jam saya antre untuk bertemu beliau.

Pada suatu Sabtu, saya janji bertemu Pak Dosen. Pertemuan siang itu, saya harapkan, paling tidak dua atau tiga kali pertemuan terakhir sebelum ujian. Selain sudah cukup yakin, saya juga sudah jengah dengan fase itu. Wkwkwk. Wis jeleh, Lur!

Saya menunggu. Duduk di kursi, persis di depan pintu kelas. Beliau masih mengajar.

Tak sampai setengah jam, selesai. Beliau langsung temui saya. Buka halaman per halaman, teliti sana sini. Sebentar sekali. Tak seperti biasanya.

Ditutuplah tumpukan kertas yang sudah terjilid itu. Beliau tanda tangan, dan berkata: “Selasa ujian ya”. Datar tapi menggelegar. Tak terduga.

Tidak ada kata lain selain siap. Senang akhirnya sampai juga. Senang sekaligus kaget. Pun muncul tanya, apa benar garapan saya sudah layak diuji.

Saya bergegas ke ruang admisi untuk melapor jadwal ujian. Juga mengurus segala administrasi lain seperti pembayaran wisuda dan berfoto.

Hari itu mendapat kabar, saya akan diuji oleh dosen senior, yang juga saya idolakan selain dosen pembimbing saya. Makin tegang.

Bagaimana tidak, saya akan diuji oleh seorang begawan, seorang akademisi kawakan yang kiprahnya mentereng. Sekaligus, ber-prejengan angker. Tapi saya masih sedikit tenang, dosen pembimbing tak kalah maestronya.

Setibanya di rumah, langsung lapor atasan. Minta cuti dua hari, Senin dan Selasa. Tentu, dikabulkan.

Sabtu, Minggu, Senin cepat sekali berlalu. Kala itu Yogya diguyur hujan tiga hari tanpa henti. Dingin. Ngelangut. Muram. Membuat diri yang tak jenak semakin gelisah.

***

Selasa tiba. Hujan masih ada.

Saya datang jauh lebih awal sebelum jadwal ujian. Masih harus menunggu giliran disidang. Jantung bak genderang. Berdebum-debum.

Masuk ruangan. Dua dosen terlihat menakutkan. Dosen penguji menyambut dengan senyum khasnya. Ramah, tapi seperti menyeringai. Saya merasa seperti akan dimakan.

Brewoknya tampak sebagaimana biasa, memutih, tapi pas hiasi wajah. Menambah wibawa, pun ciutkan nyali.

Dosen pembimbing tampak datar. Sedikit berbasa-basi sambil tanyakan kesiapan. Saya mulai presentasi. Cukup puas.

Mulai ditanya-tanyai. Menjawab yakin. Lumayan. Dosen terlihat setuju. Begitu beberapa kali.

Ditanya lagi. Cukup tajam. Membuat gelagapan. Saya jawab. Not bad rasanya.

Di-counter. Saya baru saja di-uppercut. Terhuyung.

Saya menjawab dengan teori. Dijawab fakta, beliau praktisi sekaligus petinggi di sebuah rumah sakit. Argumentasi saya mentah. Terpental jauh.

Lunglai. Pasrah.

Beliau tersenyum. Saya baru saja dimakan. Habis.                         

Saya disuruh keluar. Menunggu keputusan. Tak terlalu lama, disuruh masuk lagi.

Diputuskan, lulus. Suasana mencair. Dosen benar-benar tampak seperti dosen. Tidak seperti sebelumnya. Mirip predator.

Yaa Allah. Lega sekali. Beban berat terangkat. Dua tahun koma beberapa bulan akhirnya lunas. Saya bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan pulang.

Hujan siang itu nampak lebih indah daripada tadi pagi. Padahal lebih deras.

Rinainya berkilau. Titik-titiknya liris. Bunyinya melodius.

***

Tak lama setelah lulus, Ibu bertanya, kapan saya S3. Aduh.

Bu ryan juga mendukung. Tapi saya harus mengukur diri.

Ingin, tapi nanti. Nanti dulu..