sumber gambar: dreamstime.com |
Link Tulisan Pertama: Cerita Kuliah Lagi (Bagian 1)
***
Usai hilir mudik konsultasi dan bimbingan, akhirnya
proposal tesis lolos diseminarkan. Setelah seminar, boleh penelitian.
Sedikit lega. Lega sedikit.
Tinggal selangkah lagi. Dan, nampaknya jalan
terlihat terang untuk dilalui.
***
Ternyata tidak semudah yang terbayang. Jalan cukup
terjal. Seperti jalanan gravel di
Kansas. Berbatu kasar, penuh debu.
Tahap penelitian dimulai dengan mengurus perijinan.
Ternyata kuesioner saya harus dikaji demi alasan etik. Memang begitu
prosedurnya. Perlu menunggu sekian waktu. Lama. Hitungan bulan. Bikin dongkol saja.
Dilanjut dengan mengunjungi tempat penelitian dan
mengurus administrasi. Di sini, ringkas dan cepat.
Saya memilih sebuah rumah sakit kelas provinsi sebagai
tempat penelitian. Alhamdulillah,
para pegawainya friendly dan
menyenangkan. Di sana sering dijadikan tempat penelitian. Sehingga, serba
mudah.
Langit penelitian cukup benderang. Namun, perlahan redup
di tahap konsultasi hasil. Pak Dosen masih saja hadir dengan standar tingginya.
Walau tampak sulit, sedikit pun tak tampak gelagat beliau berniat menyulitkan. Yang
tertangkap, beliau semata strict pada
standar yang telah ditetapkan. Prinsipil!
***
Motivasi fluktuatif. Terkadang muncul setinggi
ambisi, tapi mampu anjlok serendah
keputusasaan.
Pulang kantor sudah lelah. Mencuri waktu di kantor
kian susah.
Mencari teknik cara melawan malas, semua jawaban
mengarah pada satu jawaban: “Ya dilawan!”
Mencari strategi untuk cepat selesaikan tesis,
jawab pun seragam: “Selesaikan!”
Kompleksnya masa selesaikan tesis kembar identik
dengan jaman skripsi. Musuhnya diri sendiri. Melawan diri adalah pertarungan
paling rumit, bahkan berdarah-darah.
Saat masih ada kelas, kontrol diri sekaligus
kontrol sosial masih banyak. Mau bolos, ada batasan maksimal. Mau tak masuk,
malu sama teman. Mau tak kerja tugas,
gimana nasib nilai.
Era skripsi, era tesis benar-benar sak karep-karepe dhewe. Yang ada hanya
diri kita dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Harus kukuh.
Dulu, kerjakan skripsi, dua bulan selesai. Saat
itu, motivasi masih sekuat segera pergi dari Bogor, cepat kerja, dapat uang
sendiri. Lha, pas proses tesis, cita-cita
enyah dari Bogor lunas terwujud, kerja dan berpenghasilan pun sudah.
Beberapa teman-teman terdengar mulai berguguran
dalam perjuangan selesaikan tesis. Ora
maido, kerja sambil kuliah memang tidak mudah.
Sadar, dorongan ada di diri sendiri, saya
terbangun. Teringat, kalau terlalu lama kuliah, linier dengan waktu yang
dibuang-buang, biaya yang dihambur-hamburkan. Terbangun, penundaan berkarib
dekat dengan penyesalan.
Beruntung, saya punya bu ryan, yang sangat
persisten dan konsisten untuk terus ingatkan agar lekas selesaikan. Ia melecut,
masih banyak rencana-rencana di depan yang perlu disongsong. Ia memecut, kalau
tak kunjung rampung, bagaimana urusan lain tergapai.
Bahkan ia turun gunung. Ikut langsung koreksi tesis
saya.
Bapak-Ibu terus semangati. Lalu ingat, dulu Bapak
juga kuliah sambil kerja, dan lulus. Saya mosok
kalah.
***
Tak mau digerus waktu, usai mandheg sebentar, saya giatkan kembali konsultasi dan bimbingan
hasil penelitian. Kurang sedikit, sedikit sekali sebenarnya, untuk mencapai selesai.
Ambil data dan analisisnya sudah, pun menarasikannya.
Hanya tinggal menjangkau standar Pak Dosen. Itu saja. Tapi jauh dari sederhana.
Bimbingan. Konsultasi. Sering di hari kerja, tak
jarang di Sabtu.
Pak Dosen sangat laris dipilih mahasiswa S1 dan S2.
Mahasiswa S1 bimbingannya mencapai ratusan. Pernah sampai dua jam saya antre
untuk bertemu beliau.
Pada suatu Sabtu, saya janji bertemu Pak Dosen.
Pertemuan siang itu, saya harapkan, paling tidak dua atau tiga kali pertemuan
terakhir sebelum ujian. Selain sudah cukup yakin, saya juga sudah jengah dengan
fase itu. Wkwkwk. Wis jeleh, Lur!
Saya menunggu. Duduk di kursi, persis di depan
pintu kelas. Beliau masih mengajar.
Tak sampai setengah jam, selesai. Beliau langsung temui
saya. Buka halaman per halaman, teliti sana sini. Sebentar sekali. Tak seperti
biasanya.
Ditutuplah tumpukan kertas yang sudah terjilid itu.
Beliau tanda tangan, dan berkata: “Selasa
ujian ya”. Datar tapi menggelegar. Tak terduga.
Tidak ada kata lain selain siap. Senang akhirnya
sampai juga. Senang sekaligus kaget. Pun muncul tanya, apa benar garapan saya
sudah layak diuji.
Saya bergegas ke ruang admisi untuk melapor jadwal
ujian. Juga mengurus segala administrasi lain seperti pembayaran wisuda dan
berfoto.
Hari itu mendapat kabar, saya akan diuji oleh dosen
senior, yang juga saya idolakan selain dosen pembimbing saya. Makin tegang.
Bagaimana tidak, saya akan diuji oleh seorang
begawan, seorang akademisi kawakan yang kiprahnya mentereng. Sekaligus, ber-prejengan angker. Tapi saya masih
sedikit tenang, dosen pembimbing tak kalah maestronya.
Setibanya di rumah, langsung lapor atasan. Minta
cuti dua hari, Senin dan Selasa. Tentu, dikabulkan.
Sabtu, Minggu, Senin cepat sekali berlalu. Kala itu
Yogya diguyur hujan tiga hari tanpa henti. Dingin. Ngelangut. Muram. Membuat diri yang tak jenak semakin gelisah.
***
Selasa tiba. Hujan masih ada.
Saya datang jauh lebih awal sebelum jadwal ujian. Masih
harus menunggu giliran disidang. Jantung bak genderang. Berdebum-debum.
Masuk ruangan. Dua dosen terlihat menakutkan. Dosen
penguji menyambut dengan senyum khasnya. Ramah, tapi seperti menyeringai. Saya
merasa seperti akan dimakan.
Brewoknya tampak sebagaimana biasa, memutih, tapi
pas hiasi wajah. Menambah wibawa, pun ciutkan nyali.
Dosen pembimbing tampak datar. Sedikit berbasa-basi
sambil tanyakan kesiapan. Saya mulai presentasi. Cukup puas.
Mulai ditanya-tanyai. Menjawab yakin. Lumayan.
Dosen terlihat setuju. Begitu beberapa kali.
Ditanya lagi. Cukup tajam. Membuat gelagapan. Saya
jawab. Not bad rasanya.
Di-counter.
Saya baru saja di-uppercut. Terhuyung.
Saya menjawab dengan teori. Dijawab fakta, beliau
praktisi sekaligus petinggi di sebuah rumah sakit. Argumentasi saya mentah. Terpental
jauh.
Lunglai. Pasrah.
Beliau tersenyum. Saya
baru saja dimakan. Habis.
Saya disuruh keluar. Menunggu keputusan. Tak
terlalu lama, disuruh masuk lagi.
Diputuskan, lulus. Suasana mencair. Dosen
benar-benar tampak seperti dosen. Tidak seperti sebelumnya. Mirip predator.
Yaa
Allah. Lega sekali. Beban berat
terangkat. Dua tahun koma beberapa bulan akhirnya lunas. Saya bernyanyi-nyanyi
sepanjang perjalanan pulang.
Hujan siang itu nampak lebih indah daripada tadi
pagi. Padahal lebih deras.
Rinainya berkilau. Titik-titiknya liris. Bunyinya
melodius.
***
Tak lama setelah lulus, Ibu bertanya, kapan saya
S3. Aduh.
Bu ryan juga mendukung. Tapi saya harus mengukur
diri.
Ingin, tapi nanti. Nanti dulu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar