Senin, 19 Juli 2021

Cerita Kuliah Lagi (Bagian 2)

 

sumber gambar: dreamstime.com

Link Tulisan Pertama: Cerita Kuliah Lagi (Bagian 1)

***

Usai hilir mudik konsultasi dan bimbingan, akhirnya proposal tesis lolos diseminarkan. Setelah seminar, boleh penelitian.

Sedikit lega. Lega sedikit.

Tinggal selangkah lagi. Dan, nampaknya jalan terlihat terang untuk dilalui.

***

Ternyata tidak semudah yang terbayang. Jalan cukup terjal. Seperti jalanan gravel di Kansas. Berbatu kasar, penuh debu.

Tahap penelitian dimulai dengan mengurus perijinan. Ternyata kuesioner saya harus dikaji demi alasan etik. Memang begitu prosedurnya. Perlu menunggu sekian waktu. Lama. Hitungan bulan. Bikin dongkol saja.

Dilanjut dengan mengunjungi tempat penelitian dan mengurus administrasi. Di sini, ringkas dan cepat.

Saya memilih sebuah rumah sakit kelas provinsi sebagai tempat penelitian. Alhamdulillah, para pegawainya friendly dan menyenangkan. Di sana sering dijadikan tempat penelitian. Sehingga, serba mudah.

Langit penelitian cukup benderang. Namun, perlahan redup di tahap konsultasi hasil. Pak Dosen masih saja hadir dengan standar tingginya. Walau tampak sulit, sedikit pun tak tampak gelagat beliau berniat menyulitkan. Yang tertangkap, beliau semata strict pada standar yang telah ditetapkan. Prinsipil!

***

Motivasi fluktuatif. Terkadang muncul setinggi ambisi, tapi mampu anjlok serendah keputusasaan.

Pulang kantor sudah lelah. Mencuri waktu di kantor kian susah.

Mencari teknik cara melawan malas, semua jawaban mengarah pada satu jawaban: “Ya dilawan!

Mencari strategi untuk cepat selesaikan tesis, jawab pun seragam: “Selesaikan!

Kompleksnya masa selesaikan tesis kembar identik dengan jaman skripsi. Musuhnya diri sendiri. Melawan diri adalah pertarungan paling rumit, bahkan berdarah-darah.

Saat masih ada kelas, kontrol diri sekaligus kontrol sosial masih banyak. Mau bolos, ada batasan maksimal. Mau tak masuk, malu sama teman. Mau tak kerja tugas, gimana nasib nilai.

Era skripsi, era tesis benar-benar sak karep-karepe dhewe. Yang ada hanya diri kita dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Harus kukuh.

Dulu, kerjakan skripsi, dua bulan selesai. Saat itu, motivasi masih sekuat segera pergi dari Bogor, cepat kerja, dapat uang sendiri. Lha, pas proses tesis, cita-cita enyah dari Bogor lunas terwujud, kerja dan berpenghasilan pun sudah.

Beberapa teman-teman terdengar mulai berguguran dalam perjuangan selesaikan tesis. Ora maido, kerja sambil kuliah memang tidak mudah.

Sadar, dorongan ada di diri sendiri, saya terbangun. Teringat, kalau terlalu lama kuliah, linier dengan waktu yang dibuang-buang, biaya yang dihambur-hamburkan. Terbangun, penundaan berkarib dekat dengan penyesalan.

Beruntung, saya punya bu ryan, yang sangat persisten dan konsisten untuk terus ingatkan agar lekas selesaikan. Ia melecut, masih banyak rencana-rencana di depan yang perlu disongsong. Ia memecut, kalau tak kunjung rampung, bagaimana urusan lain tergapai.

Bahkan ia turun gunung. Ikut langsung koreksi tesis saya.

Bapak-Ibu terus semangati. Lalu ingat, dulu Bapak juga kuliah sambil kerja, dan lulus. Saya mosok kalah.

***

Tak mau digerus waktu, usai mandheg sebentar, saya giatkan kembali konsultasi dan bimbingan hasil penelitian. Kurang sedikit, sedikit sekali sebenarnya, untuk mencapai selesai.

Ambil data dan analisisnya sudah, pun menarasikannya. Hanya tinggal menjangkau standar Pak Dosen. Itu saja. Tapi jauh dari sederhana.

Bimbingan. Konsultasi. Sering di hari kerja, tak jarang di Sabtu.

Pak Dosen sangat laris dipilih mahasiswa S1 dan S2. Mahasiswa S1 bimbingannya mencapai ratusan. Pernah sampai dua jam saya antre untuk bertemu beliau.

Pada suatu Sabtu, saya janji bertemu Pak Dosen. Pertemuan siang itu, saya harapkan, paling tidak dua atau tiga kali pertemuan terakhir sebelum ujian. Selain sudah cukup yakin, saya juga sudah jengah dengan fase itu. Wkwkwk. Wis jeleh, Lur!

Saya menunggu. Duduk di kursi, persis di depan pintu kelas. Beliau masih mengajar.

Tak sampai setengah jam, selesai. Beliau langsung temui saya. Buka halaman per halaman, teliti sana sini. Sebentar sekali. Tak seperti biasanya.

Ditutuplah tumpukan kertas yang sudah terjilid itu. Beliau tanda tangan, dan berkata: “Selasa ujian ya”. Datar tapi menggelegar. Tak terduga.

Tidak ada kata lain selain siap. Senang akhirnya sampai juga. Senang sekaligus kaget. Pun muncul tanya, apa benar garapan saya sudah layak diuji.

Saya bergegas ke ruang admisi untuk melapor jadwal ujian. Juga mengurus segala administrasi lain seperti pembayaran wisuda dan berfoto.

Hari itu mendapat kabar, saya akan diuji oleh dosen senior, yang juga saya idolakan selain dosen pembimbing saya. Makin tegang.

Bagaimana tidak, saya akan diuji oleh seorang begawan, seorang akademisi kawakan yang kiprahnya mentereng. Sekaligus, ber-prejengan angker. Tapi saya masih sedikit tenang, dosen pembimbing tak kalah maestronya.

Setibanya di rumah, langsung lapor atasan. Minta cuti dua hari, Senin dan Selasa. Tentu, dikabulkan.

Sabtu, Minggu, Senin cepat sekali berlalu. Kala itu Yogya diguyur hujan tiga hari tanpa henti. Dingin. Ngelangut. Muram. Membuat diri yang tak jenak semakin gelisah.

***

Selasa tiba. Hujan masih ada.

Saya datang jauh lebih awal sebelum jadwal ujian. Masih harus menunggu giliran disidang. Jantung bak genderang. Berdebum-debum.

Masuk ruangan. Dua dosen terlihat menakutkan. Dosen penguji menyambut dengan senyum khasnya. Ramah, tapi seperti menyeringai. Saya merasa seperti akan dimakan.

Brewoknya tampak sebagaimana biasa, memutih, tapi pas hiasi wajah. Menambah wibawa, pun ciutkan nyali.

Dosen pembimbing tampak datar. Sedikit berbasa-basi sambil tanyakan kesiapan. Saya mulai presentasi. Cukup puas.

Mulai ditanya-tanyai. Menjawab yakin. Lumayan. Dosen terlihat setuju. Begitu beberapa kali.

Ditanya lagi. Cukup tajam. Membuat gelagapan. Saya jawab. Not bad rasanya.

Di-counter. Saya baru saja di-uppercut. Terhuyung.

Saya menjawab dengan teori. Dijawab fakta, beliau praktisi sekaligus petinggi di sebuah rumah sakit. Argumentasi saya mentah. Terpental jauh.

Lunglai. Pasrah.

Beliau tersenyum. Saya baru saja dimakan. Habis.                         

Saya disuruh keluar. Menunggu keputusan. Tak terlalu lama, disuruh masuk lagi.

Diputuskan, lulus. Suasana mencair. Dosen benar-benar tampak seperti dosen. Tidak seperti sebelumnya. Mirip predator.

Yaa Allah. Lega sekali. Beban berat terangkat. Dua tahun koma beberapa bulan akhirnya lunas. Saya bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan pulang.

Hujan siang itu nampak lebih indah daripada tadi pagi. Padahal lebih deras.

Rinainya berkilau. Titik-titiknya liris. Bunyinya melodius.

***

Tak lama setelah lulus, Ibu bertanya, kapan saya S3. Aduh.

Bu ryan juga mendukung. Tapi saya harus mengukur diri.

Ingin, tapi nanti. Nanti dulu.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar