Minggu, 16 Maret 2014

Mencari Presiden Yang Peduli Musik Indonesia


(sumber gambar: acquris.se)

Musik bukan hanya hiasan dunia berupa bunyi-bunyian. Musik adalah suatu sektor yang dihuni oleh banyak orang untuk bergantung hidup. Cukup logis rasanya, di tahun dimana akan terjadi suksesi kepemimpinan nasional ini, kita mencari presiden yang peduli dengan dunia musik Indonesia. Musik adalah sisi yang seksi untuk dimaksimalkan potensinya.
Seharusnya, dengan memiliki presiden yang juga seorang musisi seperti Pak SBY, insan musik Indonesia bisa tenang. Karena sebagai musisi yang cukup produktif dalam merilis album, setidaknya Pak SBY bisa berempati kepada pelaku industri musik yang sedang kelimpungan menghadapi pembajakan. Namun sejauh ini, kepedulian  beliau belum terpampang nyata dan secara luas terasakan oleh khalayak musik domestik. Mungkin Pak SBY tidak merasakan langsung pahitnya dibajak, karena Pak SBY bermusik hanya untuk hobi dan penyeimbang hidup.
Sebenarnya kita juga tak bisa secara serampangan menyalahkan Pak SBY secara personal. Karena pembajakan adalah muara permasalahan kompleks yang di dalamnya terdapat beragam faktor. Mulai dari tingginya harga produk rekaman musik yang bagi beberapa lapis masyarakat masih dirasa memberatkan, sampai pada problematika mentalitas masyarakat kita yang belum memiliki apresiasi yang baik terhadap hak cipta atas karya seni.  
Rezim SBY sebenarnya tak tinggal diam, dan tidak bisa juga dikatakan tak aware dengan industri kreatif. Hal itu dibuktikan dengan dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Di samping itu, sejak satu dasawarsa yang lalu, tanggal 9 Maret ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional. Tetapi, output dan outcome dari adanya institusi dan penetapan tersebut belum cukup berefek kepada pelaku dan penikmat musik. Di mal dan tepi jalan masih mblader mp3 DVD bajakan. Situs yang menyediakan fasilitas unduh musik ilegal dapat dengan mudah kita jumpai.  Karena memang yang dilakukan sejauh ini masih sebatas event seremonial seperti lomba-lomba, pemberian penghargaan dan larangan menyetel lagu-lagu Barat di radio/televisi.
Akhirnya, yang paling realistis adalah, kita gantungkan harapan kepada sosok pemimpin yang tahun ini akan duduk di tampuk kepemimpinan. Apakah ia peduli terhadap musik dan industrinya. Harusnya, para calon presiden sadar akan ranumnya potensi industri kreatif, musik khususnya, untuk diolah sebagai bahan kampanye. Untuk kemudian, jika kelak terpilih, dengan niat tulus direalisasikan dan dijadikan sektor yang mendapat cukup perhatian.
Tidak melulu tentang pertanian, pertambangan, hukum, politik, musik pun perlu dilirik. Jutaan orang kiranya bermain di sektor itu. Selain dari segi lapangan kerja, industri musik jika digarap secara serius akan menaikkan martabat bangsa di mata dunia. Apakah mereka tak sadar jika selama ini Amerika Serikat dan Inggris menjadi bangsa besar salah satunya karena para musisi mengharumkan nama tanah airnya?
Apakah para calon presiden terlalu sibuk wira-wiri kesana kemari menawarkan diri, hingga tidak mendengar gegap gempita kejayaan K-Pop? Apakah mereka tidak tahu bahwa K-Pop itu diskenario secara rapi oleh pemerintah Korea Selatan untuk menaikkan pamor negara melalui seni?
K-Pop bisa menembus batas negara, bahkan Amerika Serikat sebagai pusat musik dunia mengakui kehebatannya. Namun, tidak banyak yang tahu dan peduli bagaimana K-Pop bisa sejaya itu. K-Pop hanya sebuah jalaran yang dipilih negeri Bulgogi untuk menawan mata dunia. K-Pop diolah secara  sungguh-sungguh di bawah kendali pemerintah Korsel. Audisi dihelat untuk memilih warga negara biasa, kemudian dipoles dan dinaikkan nilai jualnya. Sanggar-sanggar didirikan untuk mendidik para pemuda agar mahir menyanyi dan menari. Sekian bulan waktu dibutuhkan untuk melatih dan menyeleksi, sebelum para pemuda-pemudi itu di-launch ke dunia hiburan.
Tidak cukup dari segi teknis, promosi pun dilaksanakan secara besar-besaran. Dengan berbagai macam cara dan media. Tentu, semua itu berjalan dengan manajemen dan kepemimpinan yang visioner. Mereka tahu bahwa kaum muda adalah kaum potensial yang selalu mencari tokoh idola dan panutan. Korsel paham betul terhadap hal tersebut, lalu tambang emas yang ada sejak lama itu mereka eksplorasi dan eksploitasi.
K-Pop merajalela kemana-mana. Boyband dan girlband tumbuh subur di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Amerika bahkan ikut-ikutan mengidolakan. Tengok itu bagaimana Super Junior dan SNSD demikian tenar di sana. Contoh kecil saja, bahkan ada rekan kerja saya terbang jauh-jauh dari Yogya ke Thailand untuk menyaksikan konser mereka. Lho ini ‘kan luar biasa dan memang pantas didapatkan Korsel yang telah susah payah mengelolanya.
Indonesia sebagai negara yang jauh lebih kaya keanekaragaman seni budayanya, nampaknya harus segera malu, lalu berpikir. Tidak kurang-kurang, berapa banyak seni tari, seni musik dan seni drama yang kita miliki, namun belum ada tangan besar nan kokoh mencoba menggapai, menolong dan menampilkannya. Sebenarnya, hanya dibutuhkan sedikit kepedulian dan kejelian untuk mengentaskan kesenian Indonesia dari inferioritas.
Musik dan industrinya jika diperhatikan juga akan mampu mereduksi bahaya laten konflik sosial horizontal. Lihat itu bagaimana ribuan orang berbaur di lapangan untuk menyaksikan konser musik, bersatu dan bernyanyi bersama. Mustahil satu lapangan itu diisi oleh orang-orang dari satu etnis, dan relatif mereka damai-damai saja ‘kan? Apakah para calon presiden itu tak pernah mendengar ungkapan bahwa dua hal yang bisa menyatukan dunia adalah olahraga dan musik?
Rasanya tidak berlebihan jika melihat capres selain dari visi misi politik dan kebangsaan, seyogyanya kita juga melihatnya dari sisi apakah ia peduli pada musik dan industrinya. Karena, jangan salah, di dalam kepedulian terhadap musik dan industrinya, secara otomatis akan terkandung kepedulian terhadap penegakan hukum dan sehatnya perekonomian bangsa. Hukum yang berwibawa pada waktunya akan membuat jera para pembajak. Cemerlangnya industri musik khususnya dan industri kreatif pada umumnya akan membawa pada perbaikan perekonomian nasional.
Calon presiden harus sadar dengan hal ini. Musik dan industrinya bukanlah sektor sempit dan gelap, karena di sana tersimpan potensi dahsyat untuk dimaksimalkan demi Indonesia yang sejahtera. Mari kita tunggu, apakah ada calon presiden yang menawarkan program konkret di sektor ekonomi kreatif..
Musisi sejauh ini hanya dipinjam suaranya di panggung untuk menarik massa agar berkumpul, lalu setelah itu mereka dicampakkan ke sudut-sudut studio pengap.. (lebay ya? hehehe)

2 komentar: