sumber gambar: referensidunia.blogspot.com |
Hari
Jumat bagi kaum Muslimin memiliki keistimewaan dibanding hari-hari lain. Hari
Jumat hakikatnya adalah hari raya yang datang tiap pekan. Hari Jumat merupakan
penghulu hari dimana di dalamnya terdapat bermacam keutamaan sebagaimana termaktub
dalam hadits yang banyak sekali jumlahnya. Di hari itulah, umat Muhammad SAW berbondong-bondong
menuju masjid untuk menunaikan perintahNya melaksanakan sholat Jumat.
Sebagaimana diketahui, sebelum Sholat Jumat, terdapat satu tahapan sebagai
syarat sah mendirikan Sholat Jumat yang harus dilunaskan yaitu khutbah.
Khutbah
adalah rangkaian perkataan berisi nasihat dengan tujuan akhir untuk
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Di sepanjang hidup kaum
muslimin, niscaya telah sekian banyak masjid yang dikunjungi untuk sholat
Jumat. Di masjid-masjid itu pula, otomatis terdapati beragam tema khutbah
dengan berbagai macam gaya penyampaian. Mulai dari gaya penyampaian pelan dan
lembut sampai mirip deklamasi yang berapi-api.
Tulisan kali ini tidak akan membahas teknik gaya penyampaian khutbah Jumat, namun
akan membahas tentang tema khutbah Jumat. Sejauh penulis menjadi jamaah sholat
Jumat, sebagian besar khatib mengambil tema, yang bisa dikatakan, sebagai tema
yang itu-itu saja. Mayoritas khatib gemar mengambil tema yang sudah dihafal
jamaah.
Tema
khutbah yang sering kita jumpai kebanyakan tentang syukur, ikhlas, konsep
moralitas normatif dan beberapa tema klise lain yang berpotensi membuat jamaah
lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada dekorasi masjid, lalu lalang
kendaraan atau model baju koko terbaru yang dikenakan jamaah lain. Padahal, di
samping tema-tema seperti itu, masih berderet tema lain yang belum cukup
dieksplorasi. Sayang sekali, para khatib jarang memilih tema yang lebih berkemungkinan
menarik atensi jamaah, sekaligus mengandung nilai tambah untuk perbaikan diri
pribadi dan jamaah -yang merupakan representasi entitas masyarakat dengan
jumlah yang tidak sedikit.
Khutbah
Jumat sebenarnya bukan sekadar ritual rutin yang wajib dipenuhi sebagai rukun
Sholat Jumat. Namun lebih dari itu, khutbah Jumat memiliki potensi besar
sebagai katalisator sosial. Khutbah Sholat Jumat memenuhi semua persyaratan
untuk menjadi pelatuk pemicu percepatan perubahan kehidupan sosial masyarakat
ke arah yang dicita-citakan. Satu hal yang harus ditunaikan agar khutbah Jumat
dapat menjelma menjadi katalisator sosial, adalah kreativitas pemilihan tema
khutbah yang lebih konstruktif, aktual dan akan lebih baik jika disesuaikan
dengan konteks lokalitas dimana khutbah Jumat disampaikan.
Tema-tema
khutbah yang penulis sebutkan di atas bukannya tidak elok dan untuk tenggat
periode tertentu harus tetap disampaikan. Tema mainstream seperti itu memang perlu repetisi sebagai pengingat karena
keterbatasan ingatan dan kodrat kekhilafan manusia. Tetapi, alangkah lebih baik
jika tema lain diusahakan agar memiliki frekuensi penyampaian yang lebih tinggi.
Masih tersedia banyak tema seperti ajakan penguatan modal sosial untuk pencapaian
tujuan masyarakat setempat, solusi konflik horizontal menurut perspektif Islam,
penyadaran pemanfaatan potensi kebudayaan dan sumber daya alam setempat, filosofi
lagu Ilir-Ilir, nilai luhur dibalik lagu Gundul Pacul dan tema membumi lainnya,
tentu dengan menyisipkan firmanNya dan sabda Rosul yang koheren.
Khutbah
Jumat merupakan kekayaan khazanah Islam, namun belum termanfaatkan secara
optimal. Khutbah Jumat disampaikan secara rutin sekali seminggu dan dihadiri
oleh kaum pria yang notabene para imam keluarga dan pemimpin di lingkungannya. Dengan
profil audien seperti itu, khutbah Jumat seharusnya memiliki kekuatan
akselerasi yang tinggi karena langsung menyasar kepada para pria yang didaulat
Allah sebagai pemimpin. Khutbah Jumat memiliki keunggulan sebagai media
percepatan terjadinya perubahan diri dan lingkungan ke arah yang lebih baik, karena
di sana terkandung pesan yang dikuatkan dengan nilai-nilai aksioma yang dinukil
dari kitab suci dan disampaikan oleh khatib, yang biasanya secara aklamasi
diakui memiliki kapasitas keilmuan dan kesalehan lebih tinggi dari jamaah.
Penulis
memiliki mimpi, agar jamaah sholat Jumat mendatangi masjid tidak hanya dalam
rangka sebatas untuk penuhi kewajiban, lalu di dalam masjid hanya duduk
terkantuk-kantuk tanpa antusiasme sama sekali, atau bahkan datang saat injury time menjelang iqomat. Namun agar di masa depan, di
dalam dada jamaah muncul letupan ghirah,
karena akan menghadiri sebuah forum mulia yang di dalamnya terpancar cahaya ilmu
pengetahuan sekaligus percikan moral spiritual yang menggugah. Sehingga,
sepulangnya dari Sholat Jumat, jamaah mendapatkan input positif yang selalu
terbarukan, untuk kemudian dijadikan bahan komposisi pembaharuan kepada lingkup
masyarakat yang lebih luas. Rebranding
khutbah Jumat mendesak untuk segera digarap..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar