Telah
sekian waktu ini, keluarga kami mem-blacklist
seorang pedagang nasi goreng yang sebelumnya telah kami tunjuk sebagai
langganan. Semua bermula dari perkataan pedagangnya, sebut saja Pak Luis. Malam
itu, antrean di warung Pak Luis sungguh panjang. Dengan ekspresi lapar saya
memesan: “Pak, nasi goreng satu, mie
rebus satu teh anget dua.” Tanpa dinyana, Pak Luis menjawabnya dengan wajah
dingin tapi ketus: “Pesannya nanti ya, lagi
ramai.” Maktratap-lah hati kami, pingin misuh tapi ngga berani, lha Pak Luis
lumayan berisi.
Sungguh
pongah sekali Pak Luis. Entah ia memang begitu atau kami hanya sedang didiami
nafsu iblis durjana karena lapar. Nasi goreng dan mie rebus tersaji. Kami makan
lahap tapi menyimpan janji dalam hati: “Kami
tak’kan ke sini lagi, hambok tenin!”
Mulai
malam itu, Pak Luis telah kehilangan paling tidak dua orang pelanggannya. Keputusan untuk tak kembali ke Pak Luis sebenarnya hasil akumulasi beberapa kemangkelan. Selain ketus, ia sering tak konsen, pun tak ada inisiatif untuk mencatat. Kami pesan tak pedas, yang datang nasi goreng dengan cabai berskala Scoville tinggi. Kami pesan mie goreng telur pisah, yang muncul mie goreng dengan telur yang menyatu enggan terpisahkan.
Sampai saat ini, lokasi tempat berjualan Pak Luis masih sering kami lewati. Ternyata pelanggannya tetap saja banyak. Sepertinya konsumen yang riwil hanya kami, tapi tak apalah, karena ini soal prinsip!
Sampai saat ini, lokasi tempat berjualan Pak Luis masih sering kami lewati. Ternyata pelanggannya tetap saja banyak. Sepertinya konsumen yang riwil hanya kami, tapi tak apalah, karena ini soal prinsip!
***
Di
era persaingan seperti sekarang ini, konsumen memiliki keleluasaan untuk
menjatuhkan pilihan. Pedagang tersedia sangat banyak dengan produk yang
beraneka ragam, maka konsumen menjadi pihak yang diuntungkan. Sehingga, sudah
sewajarnya pedagang memoles diri dan dagangannya untuk memenangkan persaingan.
Dalam
kompetisi yang demikian ketat, pedagang seharusnya sadar bahwa pembeda yang
sangat kecil saja akan menjadi celah bagi pedagang lain untuk memasukinya. Konsumen
sungguh berkuasa karena memiliki wewenang mutlak untuk memilih produk dan jasa
yang dikehendaki. Ada keuntungan kecil yang terlihat di pedagang sebelah,
konsumen dengan senang hati akan berpaling. Konsumen loyal tentu masih ada,
namun spesiesnya diduga telah memasuki ambang kepunahan.
***
Di
lain hari saat malam hujan, kami ingin menghangatkan badan. Pelukan rupanya tak
cukup menolong, lalu kami putuskan untuk mencari roti bakar keju cokelat. Kami
memiliki langganan, tapi lokasi lapaknya tak menguntungkan untuk ditempuh malam
itu. Berbekal feeling, kami hentikan
kendaraan di gerobak roti bakar yang sebelumnya sama sekali belum pernah kami
singgahi. Penjualnya berkumis dan berbaju necis dimasukkan. Beda dengan Pak
Luis yang bajunya seperti jarang disetrika, tak dimasukkan pula.
Kebetulan,
malam itu roti bakar juga antre panjang. Karena kadung kepingin, maka kami
tabah menunggu. Di tengah ketidakpastian dalam penantian, tiba-tiba Pak Roti
Bakar melongok melewati gerobaknya untuk berbicara ke kami: “Mas, maaf lho ini, roti bakarnya campur lama
hehe hehe.” Ia mencoba menenangkan dengan sapaan yang dihiasi senyuman. Oh
ya, walau kumisnya hitam tebal, tapi gigi Pak Roti Bakar rapi dan putih.
Pak
Roti Bakar mengerti ilmu melayani. Tanpa wawasan teoritis, ia telah sukses
mempraktikkan kaidah pelayanan prima. Sekian menit usai sapaan Pak Roti Bakar
yang menyejukkan, rupanya roti bakar telah siap untuk
disongsong. Karena merasa kami telah menunggu lama dengan setia, rupanya Pak
Roti Bakar dihinggapi rasa sungkan. Saat memindahkan kantong kresek berisi roti
bakar ke tangan kami, sekali lagi ia memohon maaf sambil membungkuk: “Maaf nggih, campur lama hehe”.
Seketika, mantab hati ini untuk kembali lagi ke sana. Pak Roti Bakar sungguh
piawai mengambil hati.
Sambil
menjauh dari lokasi, sayup terdengar perkataan salah satu konsumen yang masih
mengantre kepada Pak Roti Bakar: “Gimana
Pak, jadi beli Toyota Agya?”
Duh. Memang susah kalau soal ini. Pelayanan itu sering dianggap remeh. Padahal itu penentu.
BalasHapusBetul, Mas. Sementara pilihan penyedia barang dan jasa banyak sekali. Siap-siap saja jika tak perhatikan servis..
Hapus