Rabu, 07 Juni 2017

Bahwa Pecel adalah Indonesia

sumber gambar: sojo.net
Di hatiku, pecel mendapatkan ruang tersendiri, menempati sebuah sudut special, dan hanya ada ia di sana. Pecel adalah my comfort food. Saat bingung mau makan apa, dan jika di warung ada menu atau di rumah ada bahan-bahannya, maka secepat reflek tangan De Gea, saya akan berteriak: “Pecel wae!!!
Melalui tangan seorang maestro tiada dua bernama Bu Martono, pecel pertama kali menjumpaiku. Ia pengusaha kuliner yang benar-benar hidup dari warung kecil yang menjual pecel dan kawan-kawannya. Warung itu terletak di tepi jalan raya Purwodadi – Blora, dan berjarak hanya sepelemparan batu dari rumah kami.
Bukan hanya pecel yang dijual oleh Bu Martono. Di warungnya juga ada tahu campur, ayam masak bumbu rujak, soto ayam, dan beberapa macam gorengan. Namun dari semua menu itu, headliner-nya adalah pecel dan mendoan yang masih panas mongah-mongah. Pecel dan mendoan adalah dynamic duo yang tak terpisahkan. Mereka harus disajikan dalam asas dwitunggal. Jika hanya ada salah satunya, maka lebih baik tidak sama sekali.
Di masa-masa awal perjumpaan, pecel Bu Martono berharga murah tiada tara. Sekitar tahun 1993-94, ia menjual pecel yang dibungkus dengan daun pisang dan daun jati seharga Rp. 100,00. Memang saat itu apa-apa masih sangat murah, tapi harga seratus rupiah untuk sebungkus nasi pecel sangatlah jauh dari akal sehat. Walhasil, Bapakku sampai berniat mengirimkan secarik surat kaleng demi agar harga nasi pecel dinaikkan. Namun belum sampai surat itu tertulis, Bu Martono sudah sadar lebih dulu.
Bu Martono menekuni warungnya seharian penuh. Pecel, soto, dan mendoan dijual sejak pagi sampai tengah hari. Tak sampai usai jam makan siang, semua habis tandas. Sore hari, ia bersiap untuk berjualan di malam hari. Menu malamnya, ada ayam masak bumbu rujak, tahu campur, dan gorengan. Usai sholat magrib, warungnya sudah penuh dengan ibu-ibu yang berjejer menantikan liukan tangan Bu Martono membungkus pesanan. Di sela ibu-ibu, pasti ada satu dua bapak-bapak yang bosan dengan masakan istri lalu memilih jajan di situ, dan hampir pasti tersempil Si Ary, tetangga belakang rumah, seorang pecinta radikal masakan Bu Martono.    
Dalam perkembangannya, Bu Martono –yang berperan sebagai orang tua tunggal-- mengalami perbaikan ekonomi. Putra-putrinya mentas mampu menghidupi diri sekaligus sang ibu. Bahkan rumahnya sekarang cukup megah dan mobil MPV Toyota terparkir di garasi. Sepertinya terdengar membahagiakan ya, tetapi ternyata ada konsekuensi yang menyedihkan, dan kami-kami pelanggan ini menjadi korban. Bu Martono kehilangan integritas dan komitmen, ia tak serajin dulu dalam berjualan. Buka tutupnya warung sungguh sesuka-suka hatinya. Kami jadi tidak bisa menggantungkan diri lagi pada menu sajiannya. Bu Martono tak seperti dulu lagi.. :(
***
Dalam jarak sekitar 100 meter arah barat warung Bu Martono, berdiri pula warung pecel  Mbak Bun. Mbak Bun berjualan di teras rumahnya yang gagah bercat hijau teduh. Cita rasa pecel Mbak Bun berbeda dengan pecel Bu Martono. Sambal pecel Bu Martono bercita rasa pedas gurih, sedang Mbak Bun memilih rasa dominan manis.
Mbak Bun menjajakan pecel, kolak pisang, bihun, dan gorengan. Pecel, kolak pisang, dan bihun dengan rasa seperti buatan Mbak Bun dapat dengan mudah saya temukan di tempat lain. Namun, mendoan Mbak Bun sampai saat huruf ini terketik, belum satu pun bisa menggantikan. Mendoan Mbak Bun adalah sebuah masterpiece. Nampaknya UNESCO harus segera menahbiskan mendoan Mbak Bun sebagai warisan budaya dunia bidang gorengan. Saya tidak main-main dalam soal ini.
Mendoan Mbak Bun, baik menggunakan tempe biasa atau gembus, Yaa Allah enaknya melampaui batas logika. Secara penampilan, mendoan itu berwarna kuning keemasan bersih menggairahkan. Rasanya gurih, dengan kadar asin yang pas, seperti dibuat dengan takaran ilmu ukur hingga hitungan nanogram. Tepungnya saya curigai dipesan dari sebuah kartel yang menjalankan bisnisnya khusus untuk Mbak Bun. Minyak gorengnya sulit untuk tidak diprasangkai sebagai minyak goreng yang biasa dibuat untuk menggoreng makanan raja-raja Skandinavia. Bumbu rempahnya saya yakini sebagai rempah yang selama beratus tahun dicari rombongan Cornelis de Houtman. Beribu jarak perpindahan kehidupan, tetap saja tak mampu mengantarkan untuk menemukan standar rasa mendoan seperti karya Mbak Bun.
Hal yang membahagiakan kemudian adalah, Mbak Narti yang pecel sayurnya mulai SD sampai SMA mencukupi kebutuhan gizi sarapan kami, memilih untuk mensubkontrakkan persediaan mendoan kepada Mbak Bun. Gusti Allah sungguh Maha Baik. Tiap pagi, rutin saya menikmati mendoan yang lebih dekat kepada karya seni berselera tinggi daripada hanya sekadar tempe dilumuri tepung.
Semua ada giliran masing-masing. Termasuk Mbak Bun yang akhirnya pada 2004 mendapat giliran untuk tidak berjualan lagi karena sakit dan sepuh. Kemudian rumahnya dijual dan sekarang telah menjadi bangunan baru koperasi simpan pinjam. Musnah sudah eksistensi mendoan, namun tidak untuk kenangan yang ditinggalkannya.
***
Pecel-pecel berikutnya menjumpaiku silih berganti. Mulai pecel Mbak Guder, pecel Magetan Bu Ramelan, Pecel Dhe Sampir, pecel Bu Waji di kantin SMA, sampai pecel depan Telkom Dramaga Bogor saat saya berkuliah.
Sebelum beranjak lebih jauh, perlu dijelaskan bahwa pecel dalam konteks ini memiliki definisi operasional sebagai sebuah sajian makanan yang di dalamnya terdiri dari kombinasi berbagai macam sayuran yang direbus dan kemudian dalam penyajiannya disiram dengan sambal kacang. Perlu dijelaskan karena ada pecel lele dan pecel ayam yang sempat mengecohku habis-habisan. Dulu, saat kecil dan melihat spanduk warung tertulis pecel lele, yang kukira adalah pecel di atas tadi dan diberi lauk lele goreng, tapi ternyata hanya lele yang diberi sambal tomat dan lalapan. PECEL APAAN HIH!
Pecel tidak berdiri sebagai suatu entitas tunggal dan suci dari modifikasi. Di dalam pecel terkandung bid’ah, bahkan pecel adalah bid’ah itu sendiri. Langgam pecel cukup beraneka. Mulai dari pecel Madiun yang disajikan dengan serundeng, kemangi, dan rempeyek sampai pical Padang yang di dalamnya ada rebung, jantung pisang, dan kol. Ada pula yang menggunakan ale, bayam, kangkung, kenikir, cikra-cikri, dan kembang turi. Teman makannya pun macam-macam, mulai dari mendoan, rempelo ati, telur ceplok, telur dadar, sampai pacar. Tidak hanya langgam dan pendampingnya, unsur printhilan-nya pun sangat plural.

Kangkung, bayam, atau dhong telo, kecambah, ale, kacang panjang adalah suku-suku bangsa. Mendoan, bakwan, kerupuk, dan telur dadar ialah bahasa. Pecel Madiun, pecel Magetan, pecel Yogya, dan pical Padang merupakan ragam keyakinan. Kemudian, sambal kacang adalah Pancasila yang menyatukannya. Pecel sangat menjunjung kebhinnekaan, maka pecel adalah Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar