sumber gambar: sojo.net |
Di
hatiku, pecel mendapatkan ruang tersendiri, menempati sebuah sudut special, dan hanya ada ia di sana. Pecel
adalah my comfort food. Saat bingung
mau makan apa, dan jika di warung ada menu atau di rumah ada bahan-bahannya,
maka secepat reflek tangan De Gea, saya akan berteriak: “Pecel wae!!!”
Melalui
tangan seorang maestro tiada dua bernama Bu Martono, pecel pertama kali
menjumpaiku. Ia pengusaha kuliner yang benar-benar hidup dari warung kecil yang
menjual pecel dan kawan-kawannya. Warung itu terletak di tepi jalan raya
Purwodadi – Blora, dan berjarak hanya sepelemparan batu dari rumah kami.
Bukan
hanya pecel yang dijual oleh Bu Martono. Di warungnya juga ada tahu campur,
ayam masak bumbu rujak, soto ayam, dan beberapa macam gorengan. Namun dari
semua menu itu, headliner-nya adalah
pecel dan mendoan yang masih panas mongah-mongah.
Pecel dan mendoan adalah dynamic duo
yang tak terpisahkan. Mereka harus disajikan dalam asas dwitunggal. Jika hanya
ada salah satunya, maka lebih baik tidak sama sekali.
Di
masa-masa awal perjumpaan, pecel Bu Martono berharga murah tiada tara. Sekitar
tahun 1993-94, ia menjual pecel yang dibungkus dengan daun pisang dan daun jati
seharga Rp. 100,00. Memang saat itu apa-apa masih sangat murah, tapi harga
seratus rupiah untuk sebungkus nasi pecel sangatlah jauh dari akal sehat. Walhasil,
Bapakku sampai berniat mengirimkan secarik surat kaleng demi agar harga nasi
pecel dinaikkan. Namun belum sampai surat itu tertulis, Bu Martono sudah sadar
lebih dulu.
Bu
Martono menekuni warungnya seharian penuh. Pecel, soto, dan mendoan dijual sejak
pagi sampai tengah hari. Tak sampai usai jam makan siang, semua habis tandas.
Sore hari, ia bersiap untuk berjualan di malam hari. Menu malamnya, ada ayam
masak bumbu rujak, tahu campur, dan gorengan. Usai sholat magrib, warungnya
sudah penuh dengan ibu-ibu yang berjejer menantikan liukan tangan Bu Martono
membungkus pesanan. Di sela ibu-ibu, pasti ada satu dua bapak-bapak yang bosan
dengan masakan istri lalu memilih jajan di situ, dan hampir pasti tersempil Si
Ary, tetangga belakang rumah, seorang pecinta radikal masakan Bu Martono.
Dalam
perkembangannya, Bu Martono –yang berperan sebagai orang tua tunggal-- mengalami
perbaikan ekonomi. Putra-putrinya mentas mampu menghidupi diri sekaligus sang
ibu. Bahkan rumahnya sekarang cukup megah dan mobil MPV Toyota terparkir di
garasi. Sepertinya terdengar membahagiakan ya, tetapi ternyata ada konsekuensi
yang menyedihkan, dan kami-kami pelanggan ini menjadi korban. Bu Martono kehilangan
integritas dan komitmen, ia tak serajin dulu dalam berjualan. Buka tutupnya
warung sungguh sesuka-suka hatinya. Kami jadi tidak bisa menggantungkan diri
lagi pada menu sajiannya. Bu Martono tak seperti dulu lagi.. :(
***
Dalam
jarak sekitar 100 meter arah barat warung Bu Martono, berdiri pula warung
pecel Mbak Bun. Mbak Bun berjualan di
teras rumahnya yang gagah bercat hijau teduh. Cita rasa pecel Mbak Bun berbeda
dengan pecel Bu Martono. Sambal pecel Bu Martono bercita rasa pedas gurih,
sedang Mbak Bun memilih rasa dominan manis.
Mbak
Bun menjajakan pecel, kolak pisang, bihun, dan gorengan. Pecel, kolak pisang,
dan bihun dengan rasa seperti buatan Mbak Bun dapat dengan mudah saya temukan
di tempat lain. Namun, mendoan Mbak Bun sampai saat huruf ini terketik, belum
satu pun bisa menggantikan. Mendoan Mbak Bun adalah sebuah masterpiece. Nampaknya UNESCO harus segera menahbiskan mendoan Mbak
Bun sebagai warisan budaya dunia bidang gorengan. Saya tidak main-main dalam
soal ini.
Mendoan
Mbak Bun, baik menggunakan tempe biasa atau gembus, Yaa Allah enaknya melampaui batas logika. Secara penampilan,
mendoan itu berwarna kuning keemasan bersih menggairahkan. Rasanya gurih,
dengan kadar asin yang pas, seperti dibuat dengan takaran ilmu ukur hingga hitungan
nanogram. Tepungnya saya curigai dipesan dari sebuah kartel yang menjalankan
bisnisnya khusus untuk Mbak Bun. Minyak gorengnya sulit untuk tidak
diprasangkai sebagai minyak goreng yang biasa dibuat untuk menggoreng makanan
raja-raja Skandinavia. Bumbu rempahnya saya yakini sebagai rempah yang selama beratus
tahun dicari rombongan Cornelis de Houtman. Beribu jarak perpindahan kehidupan,
tetap saja tak mampu mengantarkan untuk menemukan standar rasa mendoan seperti
karya Mbak Bun.
Hal
yang membahagiakan kemudian adalah, Mbak Narti yang pecel sayurnya mulai SD
sampai SMA mencukupi kebutuhan gizi sarapan kami, memilih untuk
mensubkontrakkan persediaan mendoan kepada Mbak Bun. Gusti Allah sungguh Maha
Baik. Tiap pagi, rutin saya menikmati mendoan yang lebih dekat kepada karya
seni berselera tinggi daripada hanya sekadar tempe dilumuri tepung.
Semua
ada giliran masing-masing. Termasuk Mbak Bun yang akhirnya pada 2004 mendapat
giliran untuk tidak berjualan lagi karena sakit dan sepuh. Kemudian rumahnya
dijual dan sekarang telah menjadi bangunan baru koperasi simpan pinjam. Musnah
sudah eksistensi mendoan, namun tidak untuk kenangan yang ditinggalkannya.
***
Pecel-pecel
berikutnya menjumpaiku silih berganti. Mulai pecel Mbak Guder, pecel Magetan Bu
Ramelan, Pecel Dhe Sampir, pecel Bu Waji di kantin SMA, sampai pecel depan
Telkom Dramaga Bogor saat saya berkuliah.
Sebelum
beranjak lebih jauh, perlu dijelaskan bahwa pecel dalam konteks ini memiliki
definisi operasional sebagai sebuah sajian makanan yang di dalamnya terdiri
dari kombinasi berbagai macam sayuran yang direbus dan kemudian dalam
penyajiannya disiram dengan sambal kacang. Perlu dijelaskan karena ada pecel
lele dan pecel ayam yang sempat mengecohku habis-habisan. Dulu, saat kecil dan
melihat spanduk warung tertulis pecel lele, yang kukira adalah pecel di atas
tadi dan diberi lauk lele goreng, tapi ternyata hanya lele yang diberi sambal
tomat dan lalapan. PECEL APAAN HIH!
Pecel
tidak berdiri sebagai suatu entitas tunggal dan suci dari modifikasi. Di dalam
pecel terkandung bid’ah, bahkan pecel
adalah bid’ah itu sendiri. Langgam
pecel cukup beraneka. Mulai dari pecel Madiun yang disajikan dengan serundeng,
kemangi, dan rempeyek sampai pical Padang yang di dalamnya ada rebung, jantung
pisang, dan kol. Ada pula yang menggunakan ale, bayam, kangkung, kenikir,
cikra-cikri, dan kembang turi. Teman makannya pun macam-macam, mulai dari
mendoan, rempelo ati, telur ceplok, telur dadar, sampai pacar. Tidak hanya langgam
dan pendampingnya, unsur printhilan-nya
pun sangat plural.
Kangkung,
bayam, atau dhong telo, kecambah,
ale, kacang panjang adalah suku-suku bangsa. Mendoan, bakwan, kerupuk, dan
telur dadar ialah bahasa. Pecel Madiun, pecel Magetan, pecel Yogya, dan pical
Padang merupakan ragam keyakinan. Kemudian, sambal kacang adalah Pancasila yang
menyatukannya. Pecel sangat menjunjung kebhinnekaan, maka pecel adalah
Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar