Sabtu, 29 Juni 2019

Kualitas Netizen dan Minat Baca Kita

(sumber gambar: edutopia.org)

Selain bekerja, beribadah, dan beristirahat, rasanya sebagian besar waktu yang dimiliki manusia era ini banyak dihabiskan di depan layar gawai. Gawai lebih sering kita pegang dan usap daripada kitab suci, handle pintu rumah ibadah, dan tangan pasangan.
Salah satu penyebab gawai menjadi genggaman wajib karena adanya entitas virtual bernama media sosial (medsos). Berbagai macam platform medsos dapat kita pilih sesuai minat dan kebutuhan. Bahkan, niat awal medsos yang muncul karena kebutuhan interaksi sosial, sekarang sudah bergeser dan melebar sampai lingkup bisnis dengan nilai yang tidak main-main.
Karena masifnya konten beragam jenis medsos, pengguna menjadi semakin gandrung untuk menekurinya. Hingga, mayoritas pengguna ialah pengguna multi platform, sebab dirasa satu jenis medsos tidak cukup untuk memuaskan keinginan.
***
Saya rasa kita harus sepakat, medsos sekadar alat yang berposisi netral. Tergantung bagaimana pengguna dapat memaksimalkan potensi yang ada. Yang kemudian menjadi masalah, beberapa pengguna justru menggunakan medsos dengan tidak sebagaimana mestinya.
Seringkali terlihat, pengguna medsos bukannya mengajak berdiskusi namun mencaci, bukan menyapa tapi mencela. Lalu tampaklah tulisan yang dibuat tanpa cita rasa keilmuan yang mencerahkan. Alih-alih menyejukkan, yang ada cuma kata-kata kasar nan menyesakkan.
Sebuah tema dilempar dan sekonyong disambut berpuluh-beratus netizen menyerang dengan kata-kata tak beradab. Jangankan melayani tema, yang diserang justru si pelontar. Lalu muncul logical fallacy berjenis ad hominem. Jelas, yang terjadi bukan diskusi, tapi perundungan. Tak mampu melayani rembukan, maka orangnya yang dihantam.
Padahal, tema yang dilontarkan acapkali tema yang menggairahkan untuk ditanggapi dengan intelektualitas jernih dan nalar yang sehat. Tentu, masih banyak yang mampu mengedepankan logika rasional yang waras. Namun, tidak sedikit yang menangkap tema sepakbola dengan MotoGP, tema pecel ditanggapi sebagai bulgogi, atau tema sandal jepit dengan dasi kupu-kupu. Jangankan nyambung, bersentuhan saja tidak.
Meminjam istilah Sujiwo Tejo, “twit tentang A, ditangkap jadi B, dan diajak debat soal C”. Bukan tanpa alasan Mbah Tejo men-twit seperti itu. Karena ia sendiri seringkali menjadi korban keganasan netizen yang entah ikut kursus medsos dimana.
Jika pikiran dan hati sedang cerah ceria, saya mampu menjadikan twit-twit seperti itu sebagai lelucon yang menggembirakan. Tapi jika sedang bunek, sambil menahan hati, saya hanya bisa bergumam: “oh, mengapa mereka begitu Yaa Rabb..
***
Sesuatu hal pasti memiliki musabab. Untuk kasus kualitas netizen yang seperti itu, saya menduga rendahnya minat baca menjadi akar penyebabnya. Membaca, walau terdengar sederhana, memiliki efek yang besar terhadap orang yang menjadikannya kebiasaan. Dua orang yang berasal dari lingkungan yang sama, tetapi berbeda dalam frekuensi dan intensitas membaca, niscaya akan membuatnya menjadi dua orang yang sama sekali berbeda.
Membaca membuat seseorang mampu mengalirkan alur berpikir yang runut. Urutan berpikirnya akan rapi dan terstruktur. Akal terbangun sejalan dengan koherensi antar kalimat yang tertulis.
Karena terbiasa dengan tulisan-tulisan yang terbangun utuh, maka pembaca kuat daya nalarnya. Ia akan terbentuk menjadi sosok yang skeptis sekaligus analitis. Ia akan haus argumentasi-argumentasi logis. Taklid bakal jauh dari kamus hidup.
Pembaca kuat dalam memegang prinsip-prinsip ilmiah. Ia sulit percaya pada narasi-narasi murahan yang dibuat tanpa rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Netizen yang bermain medsos tanpa dibekali sangu dari kebiasaan membaca bacaan yang proper lebih gemar berdebat kusir daripada berdiskusi secara produktif. Mereka sedang mengalami gegar budaya. Belum mengalami peradaban buku, tiba-tiba harus dihadapkan pada jaman internet yang mengagungkan kecepatan dan keringkasan.
Belum kenal tulisan yang menghidupkan nalar, mereka dipaksa bertemu konten-konten pendek yang bombastis dan beraroma clickbait. Maka yang dilahirkan kemudian ialah netizen sumbu pendek yang reaktif dan jauh dari kreatif.
***
Soal rendahnya minat baca, terdapat dua survei kelas dunia yang telah mengkonfirmasi. Pertama,  Program for International Student Assessment (PISA), sebuah program yang dilahirkan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2015 yang menyatakan minat baca Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei.
Kemudian, dalam World's Most Literate Nations yang diumumkan pada Maret 2016, sebuah rilisan dari Central Connecticut State University (CCSU), peringkat literasi Indonesia berada di nomor 60 dari 61 negara yang disurvei. Kita hanya menang dari Botswana, sebuah negara di Afrika bagian selatan sana.
Menurut Prof. Bambang Sugiharto, Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) Bandung, budaya baca tulis kita sangatlah jauh tertinggal dari Jepang, apalagi negara-negara Barat. Apabila Barat sudah berbudaya baca tulis sejak 500 tahun silam dan Jepang pada abad 19, Indonesia –menurut istilah Prof. Bambang—baru “bangun” setelah reformasi 1998.
Ketika budaya baca tulis kita, lanjut Prof. Bambang, masih di tahap icip-icip, budaya visual dan gadget menerjang dengan deras. Kita belum kenyang mengenyam budaya baca tulis, lalu budaya yang benar-benar baru datang. Maka tidak heran, kita terhenyak sambil gelagapan.

2 komentar: