Sabtu, 21 Maret 2020

Pengalaman Menonton Scorpions di JogjaROCKarta

Foto: Koleksi Pribadi

JogjaROCKarta sudah dihelat sejak 2017. Event musik rock yang diprakarsai Rajawali Indonesia itu pertama kali mendatangkan Dream Theater sebagai bintang pertunjukan. Event kedua (2018), Megadeth yang didirikan mantan personel Metallica, Dave Mustaine, diposisikan sebagai daya tarik utama. Tahun ketiga (2019), Extreme dan Power Trip menjadi andalan.
JogjaROCKarta satu sampai tiga belum cukup mampu menarik saya untuk menyaksikan. Dream Theater saya tahu sebagai grup progresif metal yang kualitasnya tak diragukan. Semua personel dikenal virtuoso di alat musik yang dipegangnya. Lagu-lagunya berteknik tinggi, jauh panggang dari dibuat ala kadarnya.
Tetapi, sejak dulu saya kurang menggemari Dream Theater. Begitu pula dengan Megadeth, Extreme, dan Power Trip. Tahu, tentu tahu kelas mereka. Namun entah mengapa karya-karya dan pesona mereka belum kuat menaikkan gairah menonton.
Sampai saya mengeluarkan sumber daya untuk menonton sebuah konser, pasti karena si artis mencapai standar nilai tertentu di mata saya. Ada artis yang saya gemari, tapi sampai sekarang saya enggan menonton konsernya.
***
Akhir Oktober 2019, muncul pengumuman di akun Instagram JogjaROCKarta yang membuat saya ternganga. Tak pernah menduga, headliner tahun 2020 tiada lain Scorpions!
Saya langsung kuatkan tekad, itu momen yang haram terlewat. Selain memang Scorpions grup legendaris yang saya gemari, saya juga berpikir, belum tentu para rocker sepuh itu berkesempatan singgah kembali di Indonesia.
Semua personel Scorpions berusia lanjut, probabilitas mereka tak lagi prima atau bahkan tutup usia sangat mungkin terjadi. Terbukti, beberapa hari sebelum ke Indonesia, sang vokalis, Klaus Meine menjalani operasi batu ginjal di Melbourne. Tindakan tersebut membuat beberapa konser Scorpions di Australia batal.
Selain itu, meski Indonesia cukup sering dikunjungi artis kelas dunia, faktanya, kita belum betul-betul menjadi pilihan utama untuk dijadikan destinasi tur. Biasanya, promotor lokal bisa menghadirkan mereka dengan “mencegat” agar bersedia mampir. Misal, Jepang, Singapura, atau Australia dimasukkan artis sebagai kota tujuan, promotor akan melobi agar mereka mau agendakan konser di sini.
Dalam sebuah artikel tertulis, Indonesia belum terlalu seksi untuk dilirik manajemen artis dunia. Banyak band dan artis internasional justru lebih memilih negeri mungil Singapura dibanding kita.
Pasti mereka punya alasan. Seperti, stabilitas politik dan keamanan kita yang fluktuatif. Padahal, jika dinilai dari jumlah penduduk dan minat terhadap musik, Indonesia adalah pasar yang sangat menggiurkan.
Namun, semakin kemari, Indonesia semakin sering dimasukkan list. Perkembangan yang menggembirakan bagi penggiat industri dan insan musik pada umumnya.
***
Saya mengenal Scorpions dari orang-orang terdekat. Pertama, dari bapak yang kasetnya memenuhi lemari jati berpelitur hitam. Om saya berperan dalam pendalaman band dari Hannover itu saat saya SMP. Ia memiliki VCD konser akustik Scorpions di Portugal.
Konser yang kelak menjadi sebuah album live recording itu, sangat berarti dalam kurikulum pendidikan musik saya. Dari sana saya tahu, bagaimana rupa musisi yang selama ini hanya bisa saya dengarkan dan reka-reka melalui fantasi saja.
Guru besar gitar saya, Mas Agus Vogel juga turut andil sebagai support system yang membuat saya semakin menggemari Scorpions. Teringat pada suatu sore, ia bergitar lagu You and I, hits terbaru Scorpions kala itu.
Di belakang hari, saya tahu lagu itu berasal dari album Pure Instinct (1996). Di album yang sama, terdapat lagu When You Came Into My Life, dimana terdapat nama James F. Sundah dan Titiek Puspa tertulis sebagai penciptanya. Jika Titiek Puspa semua tahu tentangnya, James F. Sundah sebenarnya juga bukan orang anyar dalam musik Indonesia. Ia pencipta lagu Lilin-Lilin Kecil yang dibawakan Chrisye.
Pada lingkup cerita yang lain, Lilin-Lilin Kecil bersejarah bagi saya, karena menjadi lagu yang dinyanyikan oleh semua siswa dan guru saat perpisahan SMP. Atas inisiatif Bu Anton, siswa diperintah siapkan lilin beserta kertas karton. Ketika nyanyikan Lilin-Lilin Kecil, semua hadirin mengangkat lilin, dan karton menjadi penahan lelehan panasnya.
Saat membicarakan Scorpions, saya akan berdosa jika tidak mengingat dan menyebut sebuah nama dari masa lalu. Ia pernah menghadiahi saya sebuah kaset Scorpions bersampul perak. Album itu berisi lagu-lagu terbaik Scorpions. Saya menduga, ia memberi kaset itu setelah melihat coretan Scorpions di buku catatan saya.
Kembali ke Lilin-Lilin Kecil. Selain menjadi theme song perpisahan SMP, lagu itu juga menjadi penanda perpisahan dengan si pemberi kaset tadi. Sepulang dari perpisahan, kami berjalan beriringan dan berjanji akan bertemu beberapa hari lagi. Tapi nasib tak pernah lagi mempertemukan kami sejak perjumpaan terakhir itu wqwqwq.
***
Tibalah tanggal 1 Maret, hari keramat, hari Scorpions akan berada tak jauh dari mata. Minggu itu menjadi rangkaian hari saat Yogya tak henti-hentinya diguyur hujan. Sejak pagi sampai menjelang asar, hujan enggan memutus debit air.
Saya cemas, bagaimana jika hujan masih terus saja. Teringat, andai waktu itu beli tiket yang bertempat duduk dan berpeneduh, hujan tak akan menjadi hal yang dikhawatirkan. Tiket itu tak jadi dibeli karena ucapan teman: “Mosok nonton rock kok duduk manis?!
Pukul 16.00 kurang sedikit, saya bergegas menuju Kridosono. Hujan masih ngeriwis. Sesampainya di sana, hujan tersisa rinai kecil. Kendaraan saya parkir dan berjalan sendiri menuju depan venue sambil menunggu Mbak Heny - Mas Kris dan Mbak Monic tiba di titik temu yang disepakati.
Saya bahagia sekali karena hari itu betul-betul tiba. Tapi sebagaimana hukum kehidupan, tak ada kebahagiaan yang mencapai angka sempurna. Pasti ada satu atau beberapa hal yang menjadi harga yang harus dibayar.
Baik, hari itu saya bahagia, tapi tak sempurna karena tak berhasil mengajak Bu Ryan untuk ikut bersama. Saya sudah membujuk setengah mati. Tapi ia tetap menolak karena yakin tak akan bisa menikmati musik rock yang ia sebut gedombrangan. Ia memang bukan penikmat rock. Musik dia musik khas cewek yang lembut dan mendayu.
Setelah bertemu ketiga teman tadi, kami langsung menuju depan panggung. Kami memilih sisi kiri yang kami rasa strategis. Saat berjalan menuju lokasi, God Bless sedang tampil. Lamat-lamat, terdengar Kehidupan sedang dibawakan Ahmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah, Abadi Soesman, dan Fajar Satritama. Lagu yang masih kontekstual karya almarhum Yockie Suryoprayogo itu persis berhenti saat kami tiba.
Berikutnya, Semut Hitam, Panggung Sandiwara, dan Rumah Kita diperdengarkan. Kita tahu, selain Fajar, personel God Bless sudah berusia senja. Tapi stamina beliau-beliau masih oke. Sekalipun Om Iyek terlihat kewalahan dalam menjangkau nada tinggi.
Sebelum God Bless tampil, sebenarnya ada Death Vomit, Kelompok Penerbang Roket, dan Navicula. Tapi saya memilih untuk berangkat sore saja. Toh, saya kurang memantau kiprah ketiga band itu.
God Bless menutup aksi tepat ketika azan magrib berkumandang. Saat panggung jeda istirahat dan salat, gerimis turun. Kekhawatiran muncul kembali. Bagaimana kalau tidak reda, bagaimana kalau lapangan makin becek, bagaimana kalau masuk angin padahal besok Senin. Sementara akutu tidak boleh main ujan sama mamah gitu~
Saat band Mongolia, The HU, naik panggung, hujan total berhenti. The HU tampil bagus. Tapi karena lagu-lagunya belum banyak dikenal, penonton hanya berdiri mematung sambil sesekali berteriak HUUUUUU atau bertepuk tangan sebagai simbol apresiasi. Band ini cukup berkarakter karena memainkan alat musik khas Mongolia yang dimainkan dengan digesek. Modelnya semacam Cello begitu.
***
Malam semakin tua, tapi penonton justru semakin berjiwa muda. Powerslaves hadir sebagai penampil selanjutnya. Band asal Semarang itu beraksi keren sekali. Seluruh personel bahu-membahu hidupkan suasana. Apalagi saat Malam Ini, Impian, dan Jika Kau Mengerti dinyanyikan. Pecah!
Sehabis menunggu panggung ditata sekitar 40 menit, Whitesnake muncul. Band bentukan mantan vokalis Deep Purple, David Coverdale, tampil sangat rancak memesona. Hampir seluruh lagu bertempo tinggi digeber tanpa ampun. Stamina para rocker gaek itu mengagumkan.
Bagi Coverdale, tahun ini adalah kunjungan keduanya. Pada 1975 ia konser di Jakarta bersama Deep Purple. Kala itu, God Bless dipilih menjadi band pembuka. Tak terduga, mereka kembali berada di panggung yang sama setelah empat puluh lima tahun.
Meski terus terang saya tak hafal lirik-liriknya, Whitesnake berhasil membuat saya berdecak dan tak bosan. Mereka berlari ke sana ke mari. Memamerkan skill gitar, bass, dan drum secara bergantian. Coverdale yang tampan dan flamboyan berhasil mengomandani grupnya untuk menghibur penonton secara paripurna. Memuaskan.
Whitesnake rampung, dan itu berarti pertunjukan mencapai puncaknya. Scorpions sekejap lagi akan tampil. Yaa Tuhan, apakah ini betulan?
Sambil menunggu panggung diset, kami duduk beralaskan jas hujan. Sembari ndheprok, saya berbincang dengan penonton yang berasal dari beragam kota. Ada pria muda kelahiran 1996 yang motoran hujan-hujan dari Solo. Ada pula mas-mas murah senyum dari Cilacap. Terlihat Roy Jeconiah berdiri tak jauh dari saya. Ada Pak Ganjar Pranowo dan Eross So7.
Paling lama, saya mengobrol dengan pria paruh baya asal Surabaya yang hadir bersama istri dan putrinya yang masih SMA. Ia bercerita panjang lebar tentang petualangannya menonton konser rock. Mereka tak pernah absen menonton JogjaROCKarta. Empat tahun berturut-turut selalu ke Yogya. Sayang, si putra pertama yang kuliah di Jakarta tahun ini tak bisa ikut.
Di Jakarta, mereka juga tak pernah ketinggalan konser rock. Usai JogjaROCKarta, sudah diprogramkan akan menonton Hammersonic yang datangkan Slip Knot. Ia bahkan sudah memesan tiket pesawat dan reservasi hotel.
Ditegaskan berkali-kali, ia sekeluarga hanya ingin nyeneng-nyenengke awak, ingin bahagiakan diri dan keluarga, dengan nonton konser sampai ke luar kota.  Memang, kalau sudah senang apa saja ditempuh, apalagi kalau ada duitnya. Info terakhir, Hammersonic yang sedianya akan diadakan tanggal 27 s.d. 28 Maret ditunda karena Corona.
***
Layar besar tampilkan helikopter hitam yang berhenti di atas sebuah pencakar langit. Tak lama, panggung yang gelap menjadi berpendar terang dan musik cadas menghantam telinga. Bersamaan dengan itu, Rudolf Schenker, Matthias Jabs, Pawel Maciwoda berlarian dengan trengginas, disusul Klaus Meine yang terlihat paling berumur dan tergopoh-gopoh. Mikkey Dee, drummer (eks-Motorhead), sudah duduk dengan tertib di belakang sana.
Going Out with A Bang dipilih menjadi pembuka repertoar. Berikutnya, beberapa hits bertempo cepat dan berdistorsi bertubi-tubi menabuh gendang telinga kencang-kencang.
Setelah membara, panggung kembali sunyi. Tiba-tiba para kru membawa kursi ke lidah panggung sepanjang sembilan meter. Untuk diketahui, panggung JogjaROCKarta diberi tambahan lidah atas permintaan khusus Scorpions. Di tempat itulah, Scorpions membawakan hits besar Send Me An Angel dan Wind of Change.
Saya ikut dalam gelombang sing-along sambil senyum-senyum. Suasana yang sebelumnya panas, kontan menjadi sakral. Selain nuansa lagu itu memang magis, pun karena suasana hati yang mengalami apa yang bahkan tak pernah diimpi-impi.
Usai dua lagu itu, deretan lagu kembali mencadas. Sebut saja Delicate Dance, Blackout, dan Big City Nights. Setelahnya, Scorpions berpamitan. Apa pula, baru berapa lagu sudah mau pulang saja. Always Somewhere, White Dove, When The Smoke is Going Down, Under Same Sun, dan Is There Anybody There belum juga dinyanyikan.
Tapi saya yakin, itu hanya gimmick. Sebuah usaha klise tapi masih berhasil di tiap konser. Akhirnya encore bergema. WE WANT MORE! WE WANT MORE! WE WANT MORE!
Usaha penonton untuk memohon belas kasihan berhasil. Personel Scorpions kembali lagi setelah sebelumnya berpamitan sambil membagikan pick gitar dan stick drum.
Still Loving You dan Rock You Like A Hurricane dimainkan sekaligus menutup penampilan selama satu jam setengah. Sedikit kecewa karena beberapa lagu favorit tidak dinyanyikan. Tapi apapun itu, konser tidak akan terlupakan di sepanjang usia saya.
Konser itu akan sulit terulang dan sangat berpotensi menjadi once in a lifetime moment. Saya merasa sangat beruntung menjadi saksi hidup datangnya Scorpions ke Yogyakarta, kota yang sangat saya cintai. Terima kasih kepada Mbak Heny – Mas Kris dan Mbak Monic yang memberikan banyak kemudahan dan menjadi teman yang asyik untuk menonton konser. Terima kasih, matur sembah nuwun..
Terima kasih harus saya haturkan pula ke Rajawali Indonesia yang berhasil menghelat konser besar dengan sukses, tepat waktu, aman, dan nyaman. Ditunggu events berikutnya. Berharap melalui JogjaROCKarta, saya bisa menonton Queen, Led Zeppelin, Metallica, Guns N’ Roses, dan Bon Jovi.
Terakhir, segala puji bagi Tuhan yang memilih saya menjadi salah satu dari 17.000-an penonton yang hadir malam itu.

2 komentar:

  1. Wektu kui aku Ming liwat Kridosono..

    BalasHapus
  2. Warbiyasaah bisa nonton scorpions....bisa nonton sama anak yg suka juga scorpions...banyak yang bawa anak juga suka..samping saya anak 22 tahun gilee bneer suka hapal lagu scorpions nyanyi terus...anak saya juga jigkkrak2 apalagi bokapnya..pas rock u like a huricane....saya kalau liat foto mas dekatan kita ada foto saya juga persis posisi itu.. saya bareng ama orang2 bangladesh dokter2 khusus datang buat nonton scorpions senang juga dapat kawan2 dari bangladesh...kalau ada konser pasti ng lewat .bon jovi simple plan brayan adams europe juga di boyolali kami datang dari manado hobynya nonton konser ..PUASNYAAH WARBIYASAH THANK GOD...salam kenal viva rock n roll

    BalasHapus