Rabu, 29 Juli 2020

Perjalanan Karierku sebagai Gitaris (Bagian 2)

Foto: Koleksi Pribadi

Setelah disela beberapa tulisan bertema lain, tulisan Perjalanan Karierku sebagai Gitaris akhirnya mendapat alasan dan momentum untuk dilanjutkan. Silakan menuju tulisan pertama agar mendapat alur yang utuh.
Jadi, usai lancar memainkan Mahadewi, Semua Tak Sama menjadi destinasi berikutnya. Lagi-lagi lagu PadI. Saat itu, lewat album Sesuatu yang Tertunda, PadI berada di puncak ketenaran dan kreativitas. Hits-nya wira-wiri di televisi, radio, pusat belanja elit, dan lapak kaset bajakan di pasar yang kumuh.
Di masa melancarkan genjrengan Semua Tak Sama bersama Mas Agus Bogel, pada suatu Sabtu yang libur, Bapak pamit ke Semarang. Tak ada yang patut dicurigai, karena hal biasa. Beliau beli apa-apa di sana.
Sore hari, ditentenglah sebuah kardus yang secara konstruksi asing di mata. Bentuknya belum pernah tersapu pandangan. Ganjil dan tak teridentifikasi.
Kardus berbentuk segitiga berujung tumpul. Saya menerka-nerka dan tak menemukan jawaban apa rupanya.
Sesampai di ruangan, tanpa sabar menunggu, kardus langsung dibuka. Dan, Yaaa Tuhan seru sekalian alam, sebuah gitar!
Saya belum pernah meminta, tiba-tiba apa yang didamba sudah ada di depan mata. Sebuah kejutan mengharukan.  
***
Seingat saya, Bapak Ibu tak pernah menyinggung kebiasaan saya saban hari menyambangi kontrakan Mas Wignyo. Pun dengan aktivitas di sana yang tak jauh dari memegang dan diajari gitar.
Tapi ternyata, diam-diam beliau berdua mengamati dan menyusun rencana. Rasa-rasanya mereka iba pada anak lelakinya. Di samping mengasihani, mungkin dari sorot mata dan bahasa tubuh, terlihat antusiasme saya yang meletup-letup.
Gitar itu berwarna cokelat berkilau. Bau kayu dan catnya masih terendus. Sangat tajam dan tercium bau-bau barang baru. Sungguh tampan dan elok. Perwujudan karya seni prestisius.
Setelah memilikinya, gairah pada gitar semakin tidak terbendung. Penguasaan lagu baru semakin cepat. Bertambah banyak pula lagu yang bisa saya mainkan. Jika sebelumnya hanya bisa rhythm, naik kelas sedikit, saya jadi mampu memetik. Saat itu saya merasa keren sekali.
Naik kelas 3 SMP, gitar masih menduduki puncak perhatian. Ia masih rekat dalam pelukan. Bahkan, sampai muncul keyakinan, saya ini The Next Brian May.
Langkah menuju pencapaian itu nampak semakin terang. Keyakinan semakin membulat dan terlihat tak berpenghalang.
Entah bagaimana mulanya, muncul tawaran les privat gitar. Pengajarnya seorang warga baru --menantu tetangga yang rumahnya hanya selisih empat rumah di belakang kami.
Ia Mas Andi. Berambut gondrong tergerai, memakai gelang logam, dan berkemeja flanel. Tampilan yang sudah penuhi detail starter-pack seorang rocker. Tongkrongannya angker. Membuat saya ngeri.
Tetapi, dari Mas Andi, saya mendapat pelajaran mendasar. Saat ia mulai bertutur, luntur semua kekakuan dan keseraman yang menyelimuti. Ia ternyata bersuara lembut dan pelan dalam berkata. Casing-nya membuat salah duga.
***
Oleh Mas Andi, saya diajar gitar klasik. Ia datang sekali seminggu. Di Sabtu sepulang sekolah atau Minggu. Tergantung kapan bisanya. Karena ia masih berdomisili sekitar 30 menit dari rumah mertua.
Mas Andi bukan musisi karbitan. Ia lahir dari keluarga yang kuat tradisi musiknya. Persewaan audio system menjadi usaha keluarga sejak dua generasi lalu. Saat itu, selain seorang anak band dan pengajar musik, Mas Andi mengelola sebuah studio musik dengan alat-alat terbaik.
Mas Andi berkuliah di jurusan musik. Latar belakang pendidikannya terlihat saat ia menampilkan kemampuan. Lincah gerak jari tangannya membuat terpukau. Baru kali itu melihat secara langsung gitaris ber-skill menakutkan. Saya makin yakin tak salah memilih guru.
Jarinya seolah bermata. Dawai-dawai tak dibiarkan luput. Itu pun dilakukannya tanpa menunduk untuk melihat. Ia begitu sambil bicara demi mengajari saya.
Setelah menghabiskan dua buku gitar klasik, Mas Andi minta waktu bicara dengan Bapak. Mas Andi menyampaikan, jika ingin terus menekuni gitar klasik, tidak akan ada habisnya. Buku pelajaran gitar klasik menurutnya tersedia sampai ribuan seri.
Usai khatamkan dua buku, dirasa cukup oleh Mas Andi. Ia berkata, saya bisa mengikuti dengan baik dan pantas digiring ke tahap berikutnya. Mas Andi bilang, lebih baik saya bergeser ke gitar elektrik, dan menyarankan Bapak membelikan gitar elektrik sebagai sarana belajar.
Gitar elektrik disarankan dipelajari karena lebih lazim digunakan di dunia pertunjukan. Sederhananya, kalau mau ngeband ya pakai gitar elektrik. Kemudian, dua buku gitar klasik sudah pas menjadi dasar. Memang betul, dari dua buku, saya  terbiasa membaca not balok. Telah bisa pula mainkan beberapa komposisi klasik dengan lumayan.
Saat Mas Andi meminta Bapak untuk belikan gitar, darah saya berdesir kencang. Impian menjadi The Next Brian May hanya berjarak sekian inchi di depan mata.
***
Ada jeda beberapa detik antara permohonan Mas Andi dan jawaban Bapak. Terjadi keheningan yang mencekam. Bapak menjawab dengan bercerita. Jika bermain musik tidak disertai dengan kesadaran dan kepandaian membagi waktu, akan merusak segala rencana.
Maksud Bapak, musik bisa membuat sekolah tak menjadi prioritas. Masalahnya, ada contoh nyata. Anak seorang temannya kuliah terhenti di tengah jalan.
Langsung, les privat dihentikan. Tak pernah ada cerita punya gitar elektrik.
Tentu keputusan Bapak mengecewakan. Sebagai anak SMP yang sedang semangat-semangatnya, lalu harapan pupus karena keputusan orang tua, tentu ada nggerundel dalam hati. Mimpi harus dikubur.
Setelahnya, gitar sekadar menjadi penghibur di sela sekolah. Tetap, saya tetap senang bergitar, tapi tidak semenggebu sebelumnya. Kekecewaan perlahan luntur, sedikit demi sedikit keputusan Bapak bisa diterima. Pasti beliau inginkan yang terbaik bagi anaknya.
Melompat ke kelas 2 SMA, terdengar ada sebuah studio musik baru dibuka. Ada juga les gitar elektrik di sana. Saya langsung tertarik dan mengunjunginya. Secara letak hanya 500 meter dari rumah.
Komunitas yang berkumpul di sana, rata-rata saya sudah mengenalnya. Si empunya juga orang yang asik diajak interaksi. Tinggal bertanya soal sosok yang mengajar gitar.
Ternyata, sang pengajar bukan orang yang sama sekali baru. Sejak kecil ia sudah sering dolan ke rumah. Ia lahir di rumah yang hanya berselang satu rumah dari rumah kami. Ia Mas Arif, putra Pak Badrun. Ia sohor sebagai Arip Badrun. Namanya mentereng di jajaran gitaris kelas kabupaten.  
Memang, ia tumbuh menjadi gitaris ulung. Terakhir, saya mendengarnya berkiprah di sebuah grup musik yang cukup laris ditanggap.
Ringkas kata, saya benar-benar jadi murid Mas Arif. Kesampaian juga belajar gitar elektrik.
***
Studio musik dan les gitar tak cukup lama bertahan. Risiko bermusik di sebuah kota kecil; segala fasilitas, event, dan industrinya sangat cupet. Tak cukup kuat menahan hambatan, kandaslah akhirnya.
Saya naik kelas 3 SMA. Disibukkan dengan persiapan ujian akhir kelulusan. Ditambah memikirkan akan kuliah apa dan dimana.
Gitar semakin dikesampingkan. Walau sesekali tetap dipegang.
Penghujung SMA, di event perpisahan kelas 3, di sanalah puncak karier saya sebagai gitaris. Kami tampil ngeband. Saya bernyanyi Kita (Sheila on 7) sambil bergitar. Setelah itu, saya bergeser ke full gitaris saat memainkan Ku Tak Bisa (Slank). Sayang, penampilan itu tak terdokumentasi.
Justru, tingkat kekerapan bergitar jauh meningkat saat kuliah di Bogor. Di asrama dan kosan, bergitar dan bernyanyi bersama menjadi rutinitas.
Para perantau yang kesepian terhibur hanya dengan gitar dan nyanyi ala kadarnya. Gitar masih sama, gitar kejutan berumur lima tahun.
Saat tinggal dan bekerja di Yogya, gitar tetap menemani. Meski usia tak bisa berdusta. Ia terluka di segenap bagian. Bahkan, sudah timbul lubang-lubang karya rayap yang tak punya tata krama.
Gitar semakin menua dan bunyinya terdengar merana. Sudah ada keinginan menggantinya dengan yang baru. Tempat membeli ditetapkan. Merk dan nomor seri telah dipastikan.  
Sampai kemudian, pada suatu minggu seseorang mengirim pesan WhatsApp: “Yan, minta alamat lengkapmu..
Untuk apa, ia tak mau mengaku. Ia bilang tunggu wae. Membuat kesal saja. Tapi penasaran juga.
Keesokan harinya, saat berposisi di kantor, saya ditelpon kurir. Ia mengkonfirmasi alamat dan ternyata ia sudah di depan.
Dari kejauhan, terlihat sebentuk kardus yang tak lagi asing, seperti saat pertama melihatnya belasan tahun lalu. Jelas, itu sebuah gitar.
Gitar berwarna cokelat muda. Berspesifikasi di atas gitar yang direncanakan dibeli. Kokoh dan bersinar. Sangat impresif. Membuat jatuh cinta pada lirikan pertama.  
Saat dipegang, terasa antep. Suara yang dihasilkannya jernih tanpa cela.
Desainnya ergonomis di rengkuhan. Ia enggan diletakkan. Langsung tercipta chemistry di antara kami.
Saya ketiban rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Baik betul si pengirim. Mana ia tak mau namanya di-share di manapun. Sungguh seorang yang mencapai taraf sufi.
Pokokmen, matur nuwun sanget. Lemah teles, Allah sing mbales..

Kamis, 09 Juli 2020

Sepeda-sepedaku dan Cerita yang Mengitarinya

[sumber: clipartkey.com]

Bersepeda akhir-akhir ini menjadi gaya hidup semua lapisan masyarakat. Tua muda, besar kecil, pria wanita ramai-ramai gowes. Entah dengan sepeda baru atau perbaiki barang lama yang terbengkalai.
Berdasar pengamatan saya, sepeda kembali menjadi tren menjelang akhir 2019. Ada yang bilang, tren bertonggak pada Jambore Sepeda Lipat Nasional (Jamselinas) ke-9 di Palembang, September 2019. Lalu pada Desember, diperbesar dengan kasus penyelundupan Brompton oleh petinggi Garuda Indonesia.
Mulai dari sana, sepeda makin dilirik. Ditambah embel-embel harga selangit sepeda handmade Inggris itu, orang semakin penasaran dan antusias.
Sepeda kian mendapat tempat saat pandemi Corona menyebabkan aktivitas tidak berjalan sebagaimana biasa. Waktu kosong semakin banyak tersedia. Sepeda dianggap sebagai pelarian positif.
***
Saya bisa kendarai sepeda saat masih TK. Sepeda pertama yang saya punya berjenama Triumph. Gagah dan bercat oranye menyilaukan.
Guru bersepeda saya tentu Bapak. Saat sudah bisa, tengah hari bolong yang terik tak saya pedulikan. Ibu berteriak mencegah tak saya hiraukan. Rute saya sebenarnya tak jauh. Hanya di gang sebelah rumah sampai gang sebelah sananya. Euforia dan sensasinya masih terasa.
Sepeda kedua dibelikan Bapak saat kelas dua SD. Berukuran lebih besar daripada sebelumnya. Merk Mustang. Berwarna ungu tua. Sangat elegan dan menggetarkan.
Seingat saya, Mustang saya pakai tak sampai dua tahun. Saat kelas tiga, Bapak menggantinya dengan sepeda yang saat itu sangat hype. Sebuah merk yang lekat dengan karakter domba heeebooh~
Ya betul, sepeda saya berikutnya Wim Cycle BMX dengan sadel melayang. Lagi-lagi berwarna ungu tua. Kali ini lebih glossy dan mevvah.
Wim Cycle seri itu menjadi standar kekerenan bocah SD di masanya. Saya dan kakak sepupu beruntung bisa memiliki. Sadelnya dipasang di atas sebuah besi diagonal dan benar-benar diposisikan melayang. Untuk menjaga kenyamanan, di bawahnya dipasang karet kerucut sebagai tumpuan. Mirip bentuk suspensi Brompton.
Saat dinaiki, pasti membuat bocah-bocah lain menoleh. Saya jadi merasa piye begitu. Tapi, sepeda itu tak lama saya miliki.
Entah karena saya merengek, atau Bapak berkomitmen menjaga kekerenan anaknya, saya lupa. Setelah setahun, ia dilego dan ditukar dengan sepeda nge-hits berikutnya.
Generasi 90-an selain mengenal Wim Cycle seri ungu, pasti akan mengingat sepeda Tiger. Itulah sepeda saya selanjutnya. Bergenre BMX (Bicycle Motor Cross), bercat hijau berpadu ungu terang. Sangat eye-catching.
Tapi, daya tarik Tiger bukanlah warna. Selling-point-nya berada di peredam kejut (shock-breaker) yang dipasang mendatar, persis di bawah rangka utama. Setahu saya, saat itu, Tiger sepeda pertama yang memiliki ide untuk mengawinkan model BMX dengan shock-breaker.
Dengan Tiger, kekerenan berhasil dipertahankan, bahkan naik setingkat di atas Wim Cycle. Tapi, masa bulan madu bersama Tiger hanya sekejap.
Rupanya, ia miliki kelemahan di bagian pengelasan. Sambungan antara rangka belakang dan rangka yang menopang sadel retak. Terpampang nyata dan meresahkan. Membuat galau bukan kepalang.
Sepeda, bagi bocah laki-laki, merupakan benda kesayangan. Pikiran belum terpecah dalam bermacam kebutuhan dan keinginan. Walhasil, sepeda mendapat porsi perhatian teratas. Saya langsung over-thinking.
Bayangkan, sepeda terkeren di jamannya, yang punya pun hanya dua anak sesekolahan. Tiba-tiba, dipaksa keadaan harus rusak. Kecewa tiada tara.
Karena rumah terletak tak jauh dari Pak Wawan, maestro las karbit, tak ambil tempo panjang, Tiger yang retak tulang dibedah. Tak sampai hitungan hari, sepeda berhasil kembali ke pelukan.
Sebagaimana layaknya luka, pasti timbulkan bekas. Demikian juga bagi Tiger, bekas las merenggut ketampanannya. Tiger yang mempesona dengan warna cemerlangnya, harus tampil muram dan beraura kelam.
Karena pernah retak, rasa mengendarainya tak lagi sama. Kecemasan selalu menyertai. Tiap usai menaikinya, mata langsung terarah ke bekas pengelasan. Saya ngeri tiba-tiba patah, pun khawatir retakan muncul lagi. 
Secara tampilan dan rasa, Tiger sudah berbeda. Ia menjelma seekor macan tua. Mengembalikan seperti sebelumnya tentu tak bisa. Pilihan jatuh pada mengubah menjadi wujud anyar. Tiger dicat ulang dengan warna berbeda.
***
Sepeda sama sekali bukan barang baru bagi saya. Saya dibesarkan oleh Bapak yang pecinta olahraga. Mulai karate, silat, lari, badminton, dan tentu saja sepeda semua pernah ditekuni beliau. Saat saya usia balita, Bapak sedang gandrung bersepeda.
Di penghujung akhir 80-an, harga minyak naik. Pemerintah merespon dengan galakkan bersepeda. Dengan bersepeda, konsumsi bahan bakar minimal dapat sedikit dihemat. Acara fun bike banyak dihelat.
Bapak menjadi satu dari sekian ribu peserta fun bike. Beliau memilih sepeda buatan merk ban tenar asal Jepang, Bridgestone. Berkelir hitam dengan variasi tulisan hijau tosca.
Tak tahu mengapa beliau memilihnya. Yang saya ingat, sahabatnya, seorang pengusaha beretnis Tionghoa, juga memiliki sepeda bermerk sama. Hanya saja berbeda seri dan warna.
Di akhir 2010, sepeda itu dijual ke saudara dengan harga yang terhitung masih tinggi. Beliau menggantinya dengan merk Merida. Sepeda asal Taiwan perpaduan hitam dan hijau stabilo. Segar sekali. Sampai sekarang masih dipertahankan.
***
Indonesia pernah berbangga melalui sepeda merk Federal. Astra yang dikenal sebagai produsen motor dan pemegang banyak merk mobil, pada 1983 tergoda memproduksi sepeda. Sempat sangat berjaya, bahkan diekspor ke beberapa negara.
Federal, pada awal masa edarnya sempat alami kesulitan pemasaran. Lalu, sampai menumpang jual pada agen motor Honda, dan dibantu trik marketing dengan adakan acara-acara bersepeda. Kontan, penjualan Federal meledak.
Bukti ketenaran dan kekuatannya, di awal 90-an orang menyebut sepeda gunung merk apapun dengan sepeda Federal. Macam orang menyebut pompa air dengan Sanyo, mengucap air mineral dengan Aqua. Bukti kemasyhuran merk yang melekat kuat di kepala.
Federal harus meregang nyawa di 1996. Mereka menyerah dan tak berproduksi lagi. Dikabarkan, produsen sepeda Indonesia mendapat sanksi dari Eropa karena lakukan praktik dumping. Sejak itu, Federal tamat riwayat, sebelum akhirnya bangkit tahun ini lewat proses restorasi para pecinta dan pewarisnya.
Sejatinya, Indonesia bukan negara sembarangan dalam memproduksi sepeda. Indonesia patut berbangga karena memiliki merk dalam negeri yang bisa diandalkan. Sebut saja Wijaya Indonesia Makmur (Wim) Cycle, Polygon, United (PT. Terang Dunia Internusa), Element, Thrill, dan Pacific.
Selain berhasil menjual dengan jumlah angka yang tinggi di dalam negeri, mereka telah sanggup mengekspor ke banyak negara. Bahkan, Polygon sempat menjuarai beberapa event kelas dunia.
Cerita termutakhir (setidaknya sampai akhir 2019), Wim Cycle alami kesulitan keuangan dan berhenti produksi. Mereka tak mampu bersaing dengan merk lain dan sepeda impor asal China. Polygon, melalui PT. Insera Sena, disebut-sebut ingin tampil menyelamatkan.
Menurut sebuah sumber, jika memang Wim Cycle benar-benar mati, sebenarnya kita tak betul-betul kehilangan. Karena merk yang lahir dari rahimnya sampai sekarang masih eksis yaitu Thrill, Tabibitho, dan Adrenaline. Hanya, ketiga merk tersebut saat ini sudah diproduksi PT. Indonesia Bike Works, sebuah perusahaan yang berdiri terpisah dari PT. Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries, pabrik Wim Cycle.
Sekadar info, merk-merk yang sering terlihat lalu lalang baru-baru ini sebenarnya anak dari merk yang sudah mapan. Sebut saja Exotic, Turanza, dan Aviator diinduki oleh Pacific (PT. Roda Pasifik Mandiri). Police, Alton, FoldX, dan RMB, anak dari Element (PT. Roda Maju Bahagia) dengan pabrik di Kaliwungu, Kendal.
Selain menelurkan berbagai merk, Element juga menjalin kerja sama dengan merk kelas dunia seperti Dahon dan Camp. Dahon, pemimpin pasar sepeda lipat dunia asal Amerika, memberi lisensi pada Element untuk memproduksi merk Dahon Ion, dengan seri Madison, Denver, Eugene, dan Chicago.
Element juga memiliki lisensi merk yang bermarkas di California, Camp. Camp sedang laris menjual seri Hazy.
***
Tiger yang bercat hijau-ungu berubah menjadi merah-silver. Ganteng betul. Saya jatuh cinta lagi. Hasil karya Mr. Maridun sungguh ciamik!
Sepeda saya jadi Tiger satu-satunya di dunia yang berwarna itu. Ia menjadi rare dan collector item. Jika saja YouTube sudah ada, pasti berpuluh content creator berebut me-review dan langsung trending.
Tiger saya rawat sampai SMP kelas 2. Merasa sudah remaja, perlahan merasa malu memakainya. Saya minta dibelikan sepeda yang saat itu banyak dipakai bapak bapak, Phoenix hijau buatan Tiongkok yang kerap disebut Phoenix RRT. Sepeda klasik yang modelnya tak lekang ditelan waktu.
Sepeda itu saya pakai sampai pertengahan SMP kelas 3. Setelahnya, motor menjadi benda yang lebih menggoda. Walaupun belum dibolehkan bermotor, saya kerap curi-curi kesempatan.
SMA sampai kuliah, sepeda tak lagi mendapat tempat. Meski sesekali masih meminjam Bridgestone Bapak, sepeda terhitung sangat jarang tersentuh. Teman bersepeda sudah tak ada, motor lebih didamba.
Sepeda hadir lagi saat tren fixie melanda Indonesia antara 2010 s.d. pertengahan 2011. Saya yang mulai bermukim di Yogya, ikut tersetrum tren. Karena sudah berpenghasilan, saya gatal ingin punya.
Merasa fixie hanya tren sekejap, saya lebih memilih MTB. Pilihan jatuh pada Polygon --yang serinya sekarang sudah discontinue. Desainnya cakep. Berwarna hitam doff. Sangat macho.
Celakanya, usai terbeli, tren fixie meredup dan lenyap. Teman saya bersepeda satu-satu berguguran. Fixie kakak sepupu pun entah dimana. Sepeda saya pun mangkrak di garasi. Bersepeda hanya sesekali, pernah dengan teman kantor, tapi lebih sering berkawan sepi.
November tanggal 12 tahun 2014, saya ketiban rejeki. Ikut jalan santai dan dapat hadiah utama sepeda MTB. Meski hanya sebuah seri entry-level, tetap saja yang namanya hadiah ‘kan, aduh senang bukan buatan.
Sepeda kami jadi dua. Lumayan, jadi bisa bersepeda bersama bu ryan. Tapi tetap saja keduanya jarang terpakai. Bu ryan memilih olah raga lain, saya giat berfutsal. Sepeda hanya sibuk dipajang. Kabar terakhir, sepeda hadiah kami hibahkan ke keponakan.
Tren akik, tanaman hias, dan ikan hias, sedikit pun saya tak melirik. Blas ngga pengen. Tapi, tren sepeda ini berbeda. Saya menyerah dan terbawa arus. Mungkin karena sepeda pernah menjadi romantisme masa lalu.
Polygon kembali saya rawat. Beberapa komponen saya ganti. Sekarang lebih nyaman lagi loncer daripada saat baru keluar dari toko. Teman bersepeda pun mulai banyak lagi.
Video tentang sepeda menjadi penyedot terbesar kuota internet saya. Apa-apa semua tentang sepeda.
Jika dulu sepeda lipat tidak menarik minat, saya sekarang kok kesengsem. Apalagi ada alasan sepeda tinggal satu, jadi bu ryan harus punya. Padahal yang pingin saya.
***
Saat servis sepeda beberapa hari lalu, tukang servis akui sekarang ini adalah tren sepeda teramai sepanjang ia buka usaha. Saat fixie merebak, bengkelnya tak sepadat sekarang.
Saat saya mengantre hingga sepeda saya ditangani, banyak calon konsumen bermotor-bermobil hilir mudik bertanya kapan sepedanya bisa didandani. Nyatanya, semua ditolak. Tukang servis janjikan paling tidak seminggu ke depan.
Sepeda saya langsung disentuh karena datang langsung bersepeda dan saya tunggui. Itu pun tukang servis menolak servis total. Ia hanya sanggup servis keluhan part tertentu saja.
Bengkel langganan Bapak di luar kota pun heran. Sebelum tren, tak jarang ia duduk berpangku tangan seharian. Sekarang, istirahat menjadi momen asing. Rejeki sedang diguyurkan deras-deras.
Keadaan seperti itu terjadi menyeluruh di segenap daerah. Semua toko-toko sepeda alami hal sama. Sepeda yang seakan hampir ditinggalkan, tiba-tiba dikejar lagi penuh nafsu.
Beberapa toko terpantau sampai meliburkan karyawan dan menutup toko. Toh dibuka pun mau jualan apa. Semua barang ludes. Gila.