(sumber: bbc.co.uk) |
Entah
mengapa sejak kecil saya sangat tertarik pada gitar. Padahal, di rumah tidak
ada yang punya dan tidak ada yang bisa memainkannya. Gitar pertama saya adalah
gitar plastik mainan yang saya pasangi tali agar bisa dimainkan sambil berdiri.
Foto saya bergitar, berkaca mata, dan bertopi sampai sekarang masih tersimpan
di album foto keluarga. Di situ saya sangat mirip Eric Clapton cilik usia empat
tahun.
Bapak
saya, satu-satunya lelaki di rumah, bukanlah pemusik. Tapi, beliau penikmat
musik lintas genre dengan koleksi kaset bertumpuk-tumpuk.
Koleksi
beliau mulai Queen, Beatles, Deep Purple, The Who, Cream, Led Zeppelin,
Scorpions, dan Michael Jackson. Ada pula kaset lawak Basiyo dan Warkop. Untuk
pop dalam negeri, Bapak punya edisi lengkap kaset Koes Plus seri Nusantara,
Chrisye, LCLR Prambors, Ebiet G. Ade dengan Seri Camelia, Iwan Fals, Hari
Mukti, The Rollies, OST. Badai Pasti Berlalu dan lainnya.
Dari
sudut dangdut ada Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, Iis Dahlia, Meggy Z. Muchsin
Alatas, Leo Waldy, dan Mansyur S. Ada pula murottal Muammar
ZA, Maria Ulfa, kaset ceramah Zainuddin MZ, dan KH Qosim Nurseha. Tentu masih
banyak kaset lain dan saya lupa apa saja.
Pokoknya,
sebatas pengetahuan selama ini, Bapak saya ini paling luas referensi musiknya
dibanding bapak-bapak lain yang saya kenal dan tahu. Maka, jangan heran jika
kemudian beliau ini merangkap juga sebagai idola saya.
Suatu
ketika, saat saya pulang ke rumah di masa liburan kuliah, daftar putar
memainkan lagu Cintaku Tertinggal di Malaysia yang dinyanyikan Dewa 19. Bapak
mendengar lalu berkata: “Lho iki ‘kan lagu Barat lawas, Bapak ana kuwi
kasete!” Beliau pun bergegas ke lemari dan mengambil sebuah kaset dan lalu
menyetelnya.
Terdengarlah
lagu Ruthless Queen milik Kayak. “Piye, Le? Bener
to lagune kuwi?” begitu sahut Bapak. Benar saja, belakangan
diketahui Ahmad Dhani membeli lagu tersebut dan diganti liriknya.
Kembali
ke gitar. Saya pertama bisa berhasil memegangnya secara langsung saat
bertandang ke rumah kakak sepupu di Semarang. Saya langsung terpikat, memegang,
dan menggenjreng senarnya. Tentu tanpa chord.
***
SD
saya memiliki inventaris sebuah gitar akustik yang jika sedang tidak digunakan
Pak Nur Ahsan (guru paling lucu, sekaligus galak, dan pandai bermain musik), ia
digantung di dinding kantor guru. Saat saya memasuki kantor karena diperintah
mengambil sesuatu, hampir dipastikan tangan saya menggapai gitar untuk sekadar
merasakan sensasi menggenjreng. Sekali lagi, tanpa chord.
Hidup
terus berlanjut dan musik senantiasa menghiasi. Kaset-kaset Bapak terus disetel
dan menambah khazanah perbendaharaan musik saya. Sekadar info, saat TK, saya
sudah pandai menyetel sendiri album Dangerous milik Michael
Jackson. Jika saja kaset itu mampu berbicara, pasti ia akan protes karena
lagu Black or White saya ulang tiada lelah.
Meski
muncul dan hilang, impian untuk bisa bergitar terus terbangun. Hanya saja saya
bingung, bagaimana cara dan dari mana saya bisa. Paman saya yang tinggal di
sebelah rumah konon bisa, tapi gitarnya tak ada. Terus piye ‘kan.
Impian
bisa bergitar seringkali redup bahkan sirna menghadapi realita yang tidak
mendukung. Namun rupanya Tuhan mendengar ada setitik hambaNya yang mempunyai
hajat estetis itu. Selain mendengar, Tuhan ternyata tidak tega.
Di
belakang rumah, terdapat rumah mungil yang telah sekian lama kosong. Tak
dinyana, entah darimana datangnya, tiba-tiba tiga lelaki bersaudara
mengontraknya. Mereka tak terdeteksi asal muasalnya dan tidak diketahui nasab
atau garis keturunannya. Sekonyong-konyong muncul menjadi tetangga.
Karena
rumah kontrakan tidak memiliki sumber air yang layak, mereka menggantungkan
kebutuhan pada sumur milik Mbah Kakung saya, yang sebenarnya menyumberkan air
berwarna kuning dan agak berbau. Konon, ini karena tanah tempat rumah Mbah
Kakung dan rumah kami yang bersebelahan, pada jaman dahulu adalah sebidang
rawa. Oleh karena itu, sejak PDAM lahir, sumur kami pensiunkan.
Lokasi
sumur persis di sudut belakang rumah kami. Karena Mas Wignyo, Mas Malik, dan
Mas Joko sering melewati halaman belakang saat menimba, otomatis perkenalan dan
lalu keakraban terjalin.
Rumah
kontrakan, tiga lelaki bersaudara, dan sumur adalah mozaik yang menuju pada
lengkapnya gambar yang disusun Tuhan. Mozaik itu membentuk gambar utuh yang
menampilkan kabar bahwa Mas Wignyo punya gitar!
***
Tahun
itu tahun 2001, saya duduk di kelas 2 SMP. Jaman itu jaman dimana musik
Indonesia sedang ganteng-gantengnya. Dewa 19 baru saja bangkit dari mati suri
dan merilis album Bintang Lima. Once dengan timbre suara dari antah
berantah mengantar Dewa 19 meraih puncak kesuksesan. Seketika Ari Lasso
terlupakan. Tio Nugros yang tampan itu paten pula sebagai penjaga tempo
lagu-lagu dahsyat Ahmad Dhani --yang saat itu belum kenal politik dan Mulan
Jameela.
Sheila
on 7 baru selesai merilis album Kisah Klasik untuk Masa Depan, album kedua yang
juga laku di atas satu juta keping. Padi juga sedang di kulminasi popularitas
dan musikalitas. Album Sesuatu yang Tertunda membuat mereka semakin
diperhitungkan dalam skena musik Indonesia.
Single
hits Mahadewi (album Lain Dunia)
yang meledak disusul tanpa ampun dengan dirilisnya Sesuatu yang Indah dan Semua
Tak Sama (album Sesuatu yang Tertunda). Padi kontan
mereguk kesuksesan besar dan masuk dalam jajaran band elite Indonesia, sejajar
dengan Dewa 19, Slank, GIGI, Sheila on 7, dan jangan lupakan Jamrud yang
setahun sebelumnya menggila lewat album Ningrat.
Indonesia
saat itu masih punya MTV sebagai barometer musik berkualitas. Publik otomatis
mendapat asupan musik-musik nutrisi tinggi hingga telinga menjadi sehat dan
berkelas. Publik sebagai penikmat pun bergairah menyambut atmosfer musikalitas
yang meletup-letup. Atmosfer itu pula yang terhirup oleh kami remaja-remaja
tanggung yang hanya bermodalkan gaya.
Saya
yang di awal SMP sudah memiliki selera musik sendiri, mulai merengek untuk
dibelikan kaset. Berangkat dari pergumulan dengan kaset-kaset itu, juga MTV
yang terus menampilkan musik bagus, gairah bisa bergitar semakin bergelora.
Apalagi, gitar Mas Wignyo tersedia kapan saja untuk dijadikan sarana.
Meski
si empu gitar adalah Mas Wignyo, sosok yang kemudian tampil mengajar saya gitar
adalah Mas Agus Bogel, tetangga sebelah kontrakan Mas Wignyo. Mas Agus ini
diketahui lama bergaul dengan kawan-kawannya yang anak band, hingga ia pun bisa
bermain musik.
***
Setiap
pulang sekolah, saya bertandang ke kontrakan Mas Wignyo, yang biasanya telah
diisi juga oleh Mas Ganang dan Mas Agus. Mas Ganang ini saudara jauh kami asal
Bekasi yang dipindahkan sekolah ke Purwodadi karena tiap minggu ada saja
temannya yang tewas karena tawuran antar STM.
Mas
Ganang juga pintar bergitar dan saat saya mulai belajar gitar, ia sedang
gandrung memainkan Minority-nya Green Day dan Ketaman Asmara-nya Didi Kempot.
Masih teringat bagaimana ia menyanyikan lagu Jawa itu dengan logat anak gaul
Jakarte yang kental.
Awal
belajar gitar, Mas Agus dengan telaten menuliskan chord-chord dasar
di secarik kertas. Kemudian, jari saya dituntun untuk memencet titik-titik
senar hingga sebuah chord terbangun dan menghasilkan
bunyi.
Karena
saya senang, maka tiap hari saya ke Mas Wignyo untuk meminjam gitarnya. Tak
berapa lama, penguasaan bergitar saya sudah lumayan. Lagu pertama yang bisa
dengan lancar saya mainkan adalah Mahadewi (Padi).
(Bersambung ke tulisan kedua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar