Minggu, 20 Januari 2019

Orang Tua Kita dan Lagu-Lagu Favoritnya

(sumber: medicaldaily)

Musik ialah perkara yang tidak akan pernah dapat dijauhkan dari hidup kita. Lagu-lagu selalu menghiasi setiap aktivitas sehari-hari, baik yang sengaja dimainkan atau terdengar sepintas dari segenap sudut sekitar.
Bahkan, jika definisi musik diperluas sampai ke wilayah apapun bunyi-bunyian, maka derap kaki, desau angin, dan ketukan di pintu akan termasuk di dalamnya. Semakin susahlah kita menghindar.
Musik memang tidak untuk dihindari. Musik ada untuk dinikmati, dihayati, dan dikaji. Baru-baru ini terdapat artikel di tirto.id yang mengkaji hasil survei yang dilakukan oleh penyedia layanan streaming musik, Deezer. Survei tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa pendengar musik berhenti mencari musik baru rata-rata di usia 30 tahun.
Berhentinya pencarian terhadap musik baru disebut sebagai paralisis musikal, atau dalam istilah awam disebut kelumpuhan musikal. Fenomena itu disebabkan oleh beberapa hal.
***
Saya penikmat musik yang sudah sampai pada taraf “can’t live without”. Saya bekerja harus diiringi musik. Tulisan ini pun saya ketik dengan latar lagu Rendy Pandugo, Bryan Adams, dan Voodoo.
Seperti terbahas di tulisan sebelumnya (Perjalanan Karierku sebagai Gitaris), saya dibesarkan oleh orang tua penikmat musik. Maka saya pun tumbuh sebagai sosok yang sangat tertarik pada musik dan terus berusaha mengikuti kebaruan musik yang beredar.
Balita bernama ryan akan langsung bangun makjenggirat saat menangkap lagu Untukmu milik Tito Sumarsono di telinganya. Pun, Cintamu T’lah Berlalu-nya Koes Plus yang di-recycle Chrisye sampai sekarang masih terkenang sebagai penanda kenangan saat Bapak lari-lari menuju mobil pertamanya yang terparkir di pusat perbelanjaan di Semarang yang terbakar pada awal 90-an.
Yang ingin saya katakan, sejak kecil, selain diberi bubur Promina dan Sun, saya juga dijejali beragam jenis musik. Alhasil, tingkat kepentingan musik bagi saya sudah setingkat di bawah udara, air, dan mendoan.
Mulai SMP sampai awal kuliah, saya rutin membeli kaset, baik dengan menabung atau mengharap belas kasihan Bapak. Setelah era mp3 mulai merajalela di sekitar 2007, kegiatan memperbarui referensi musik berubah menjadi beli mp3 bajakan, meng-copy dari teman, dan mengunduh dari internet secara ilegal.
Saat era internet semakin menelusup ke tiap titik terkecil hidup kita, musik dapat terus terbarukan melalui aplikasi streaming seperti Joox, Spotify, Deezer, dan sebagainya. Di ponsel pintar saya terpasang Joox dan Spotify.
Selain itu, YouTube telah menjadi kanal tanpa batas untuk terus mencari musik baru yang kita sukai. Ia saat ini termasuk dalam tiga besar aplikasi yang menghabiskan kuota internet saya di setiap harinya.  
***
Dengan profil era internet yang tanpa batas seperti saat ini, sebenarnya mencari musik-musik terbaru bukanlah menjadi pekerjaan yang sukar. Genre apapun, dari manapun, solo, duo atau grup dapat kita cari dengan satu ketukan jari. Tetapi rupanya, paralisis musikal tetap melanda sebagian manusia.
Hasil survei Deezer tidak benar-benar salah tetapi juga tidak 100% benar bagi saya. Sampai hari ini, saya masih penasaran jenis musik apa yang sedang tren dan siapa saja artis yang sedang hype. Tetapi, jika dibandingkan dengan saat masih SMP, SMA, dan kuliah, saya sudah tidak sebergairah jaman itu dalam mencari musik baru.
Saya masih tahu nama-nama seperti Brisia Jodi, HiVi, Marion Jola, Rendy Pandugo, Barasuara, Silampukau, Pusakata, FourTwnty, pun lagu-lagunya juga masih masuk ke telinga. Artinya, saya belum terlampau usang untuk mencerna musik-musik dari musisi yang terhitung gres itu.
Untuk musisi asing, saya masih kenal Ed Sheeran, Anne Marie, Dua Lipa, Khalid, dan Calum Scott. Lagu-lagunya pun tak jarang masuk ke dalam daftar putar di aplikasi streaming.
Meskipun saya seolah paham lalu pamer soal nama dan lagu musisi-musisi baru, tetap saja mereka tidak dapat membuat saya menggilai dan lalu mengerahkan serangkaian usaha untuk “mendekat” ke mereka. Misal, semacam mencari profil kehidupannya, mendatangi konsernya, lalu membeli karya-karya mereka.
Mereka tetap belum bisa mengalahkan kelas Sheila on 7, PadI, Slank, Dewa 19, Gigi, Red Hot Chili Peppers, Coldplay, Santana, Queen, dan sebangsanya di hati saya. Mungkin saya telah memasuki masa-masa awal kelumpuhan musikal.
Saya terkategori dalam tetap mencari musik-musik baru. Tapi, setelah ketemu dan didengarkan, ya sudah begitu saja. Belum bisa menancap erat seperti musik di masa-masa dulu saat masih sekolah, kuliah, dan mengecap indahnya kasmaran.
Saya sudah di tahap cukup dengan musik-musik yang telah lama saya kenal. Justru, saat ini saya tertarik pada musik-musik lawas era 50an-70an. Jadi susah ini pengkategoriannya, karena saya mencari musik baru tetapi lawas. Saya tetap mencari musik-musik yang belum pernah saya dengarkan, tapi bukan dari musisi yang muncul baru-baru ini. Mungkin begitu deskripsi gamblangnya.
***
Deezer, dalam surveinya, sebenarnya ingin menyatakan bahwa orang-orang berhenti mencari musik baru bukan disebabkan sudah tak lagi menggemari musik, tapi karena sudah kehabisan waktu. Habisnya waktu ini muara dari beragam alasan. Mulai dari kesibukan kerja, merawat anak, sampai kewalahan mengikuti banyaknya pilihan musik sekarang ini.
Artikel juga menuliskan, hasil riset menunjukkan lagu-lagu favorit di masa remaja mampu merangsang respons kesenangan di otak. Dari sana, otak melepaskan dopamine, serotonin, oksitosin, dan unsur kimia lain yang dapat membuat kita bahagia. Maka, lagu-lagu yang kita sukai akan lebih lama melekat dalam diri kita.
Itulah jawaban mengapa orang tua kita berhenti di lagu-lagu jaman mudanya. Lagu-lagu Koes Plus, Panbers, D’Lloyd, dan Rinto Harahap selalu dibawakan di forum-forum reuni. Lagu-lagu Obbie Messakh yang melankolis masih sering dibawakan pakdhe dan budhe dalam karaoke dengan penuh penghayatan sambil terbayang masa lalu. Lagu Ratih Purwasih dan Endang S. Taurina pun selalu mendapat tempat dalam bus pariwisata yang membawa bapak ibu kita ke tempat dimana mereka pernah merenda janji..
Yang~ hujan~ tuuurun~ lhaagiii~ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar