Selasa, 16 Oktober 2018

Sepeda Motor dan Kebanggaan yang Keliru

(sumber: universalmct.co.uk)

Bukanlah pemandangan aneh menyaksikan sepeda motor dikendarai anak-anak usia SD dan SMP. Meski tidak aneh, tetap saja badan sepeda motor nampak terlalu besar ditunggangi bocah-bocah ingusan yang bisa jadi belum sunat itu. Mereka terlihat belum sigap kendalikan motor, karena memang masih lebih pantas membonceng bapaknya.
Saya sering melihat anak-anak belum cukup umur berkeliling kampung bersama teman-temannya. Bahkan ada yang berani memboncengkan teman, ibunya, atau teman ibunya. Saya sungguh prihatin tapi tak bisa apa-apa, karena anak tetangga. Malas ribut.
Beberapa hari lalu, saat bapak saya hendak memasukkan mobil ke halaman depan garasi, tiba-tiba ngueeeeng anak SMP berboncengan memotong di depan jalur bapak. Hanya kurang beberapa milimeter menggesek bemper dan lampu sein. Untung saja beliau masih sempat mengerem, walau kaget bukan kepalang, mengklakson keras-keras, dan lalu naik pitam.
Dua anak SMP itu pasti merasa tenang karena bisa melenggang aman. Tapi ternyata ibu saya yang waktu itu semobil dengan bapak, masih sempat melakukan scanning. Penampilan, baju, dan sepeda motornya telah mengendap dalam sistem memori ibu. Saat beliau masih di luar rumah, dua anak kurang ajar itu melintas lagi. Kontan saja ibu mendekati dan memarahinya tanpa ampun. Rasakan!
***
Bagaimanapun, anak-anak usia di bawah 17 tahun belum diperkenankan untuk mengendarai sepeda motor. Di samping menurut regulasi mereka belum dapat memiliki SIM, secara fisik dan emosional belum saatnya mengendarai kendaraan bermesin, yang tentu memerlukan keterampilan dan kesiapan tertentu.
Karena memang belum saatnya, maka konsekuensi yang mungkin timbul adalah terjadinya kecelakaan. Data 2016 yang dimiliki Polres Sleman mencatat terjadinya 330 kecelakaan lalu lintas anak di bawah umur dengan rincian luka ringan 314, luka berat 1, dan meninggal dunia 15 jiwa. Lima belas meninggal itu manusia, Gaes.
Itu baru data di Sleman. Belum di daerah lain dan angka statistik nasional. Nyawa melayang sia-sia karena kecerobohan dan tidak taatnya pada aturan.
***
Melihat anak-anak di bawah umur mengendarai sepeda motor, selalu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana bisa mereka mengakses kendaraan yang sebenarnya belum sah mereka gunakan? Apakah sepengetahuan orang tua? Jika memang sepengetahuan, apa yang melatarbelakangi mereka mengijinkan?
Pada praktiknya, kebanyakan anak-anak mengendarai sepeda motor sebenarnya telah mendapat ijin dari orang tua. Bahkan, ada yang memang karena melaksanakan perintah ayah ibu. Alasannya macam-macam, mulai dari terpepet kebutuhan, misal karena tidak ada yang mengantar, sampai sang orang tua justru merasa bangga dan diuntungkan karena dapat diberdayakan ke sana ke mari.
Jadi, alur sepeda motor sampai dapat diakses oleh anak di bawah umur, sebenarnya tidak sesederhana yang kita duga. Terdapat kompleksitas yang melingkupinya. Di sana ada relasi kondisi yang dihadapi sampai konsep kebanggaan yang keliru.
Khusus masalah kebanggaan, saya rasa berangkat dari kurangnya pemahaman atau ketidakacuhan orang tua bahwa terdapat batasan usia yang harus dipenuhi sebelum anak diperbolehkan berkendara. Batasan usia tentu terkait dengan aspek fisik dan emosional. Jika tidak dipenuhi, maka tentu ada risiko yang mungkin muncul. Pada poin inilah, orang tua tidak tahu atau tidak mau tahu.
Padahal, jika risiko yang mungkin muncul benar-benar terjadi, maka akan banyak efek yang harus ditanggung. Mulai luka tubuh yang dapat menyebabkan kecacatan hingga hilangnya nyawa. Belum lagi jika kecelakaan melibatkan pengguna jalan lain, yang pasti akan membuat berurusan dengan hukum.
***
Kecelakaan yang terjadi karena sepeda motor dikendarai anak di bawah umur bukanlah fiksi atau sekadar data. Belum lama, anak tetangga usia kelas 5 SD, sebut saja Warso, diboncengkan temannya dan keduanya terjatuh. Tubuh mereka luka-luka di beberapa titik.
Karena sehari-hari Warso ditinggal kedua orang tuanya bekerja, maka sang kakeklah yang mengasuh dan mengawasi. Tahu cucu satu-satunya terjatuh dan babak bundhas, si kakek terkejut setengah mati. Perlahan ia mendekati Warso, saya pun membatin: “habis ini Warso disemprot mbahe..” Ternyata yang terucap dari mulut kakek adalah: “Sudah ngga papa, besok kakek ajari naik motor ya   -__-“
Dan Warso sekarang tiap sore memboncengkan ibunya dengan jarak belasan kilometer saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar