Kamis, 25 Agustus 2011

Alam Sedang Tidak Bersandiwara

(sumber gambar: miriadna.com)
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa….. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita… Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang…. (Berita Kepada Kawan - Cipt. Ebiet G. Ade)
Ebiet G. Ade sedang berhipotesis dalam lagunya bahwa semua kejadian yang tidak mengenakkan dan menyedihkan sebenarnya dikarenakan tingkah laku kita yang semena-mena terhadap alam. Sehingga Sang Pencipta yang rahman dan rahim sampai-sampai digambarkan “bosan” melihat tingkah kita. Alam pun dimetaforakan menjadi malas bersahabat dengan kita. Syair lagu ditutup dengan ungkapan kebingungan yang luar biasa atau bahkan dapat ditafsirkan sebagai ekspresi keputusasaan yang berbunyi “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
Memang rasanya sah-sah saja jika kita mulai pesimis melihat fenomena ekologis yang ada di sekeliling kita. Tanah longsor lumrah, kekeringan wajar, dan banjir menjadi suatu agenda rutin tahunan di beberapa wilayah. Semuanya menjadi biasa, sehingga manusia mulai mencoba berkompromi (baca: menyerah) dengan situasi tersebut. Pertanyaannya adalah bijakkah jika kita menyerah menghadapi fenomena alam yang merupakan efek turunan dari gejala pemanasan global tersebut.
Terminologi pemanasan global beberapa tahun ini menjadi trend perbincangan di segenap penjuru dunia. Tetapi sebenarnya fenomena tersebut sudah mendapat perhatian yang besar sejak diselenggarakannya United Nations Conference on Human Environment di Stockholm Swedia pada tahun 1972. Konferensi tersebut merupakan momentum penting diangkatnya masalah lingkungan sebagai isu global. Lingkungan hidup semakin dianggap sebagai pemegang peranan bagi keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di muka bumi.
Permasalahan lingkungan dewasa ini seperti mendapatkan legitimasi bahwa itu semua disebabkan oleh satu gejala yang disebut pemanasan global.  Rasanya tidak salah jika dikatakan bahwa fenomena pemanasan global dianalogikan sebagai kotak pandora yang semakin lama semakin lebar terbuka dan memberikan impact yang luar biasa besarnya terhadap kehidupan di planet ini. Semakin lama bumi menjadi semakin tidak bersahabat terhadap penghuninya. Diberitakan bahwa bumi dalam beberapa tahun mendatang sedang mengalami ancaman peningkatan suhu sebesar empat derajat celcius. Peningkatan suhu tersebut membawa pengaruh mengerikan yaitu permukaan es Greenland mencair dan 60% kehidupan dunia diperkirakan musnah akibat naiknya permukaan air laut hingga lebih tujuh meter secara global. Kemudian es Antartika Barat juga mencair yang menyebabkan naiknya air laut sampai 3,3 meter secara global.
Sebenarnya tidak usahlah kita jauh-jauh berpikir efek yang akan datang di masa yang akan datang tersebut, karena sekarang pun kita sudah mulai merasakan efek pemanasan global tersebut. Desember yang katanya singkatan dari gede-gedenya sumber (air), saat ini sangat jarang terjadi hujan, Bogor yang katanya kota hujan sekarang lebih pantas disemati julukan kota macet atau kota angkot karena intensitas turunnya hujan tidak sesering beberapa tahun yang lalu. Hal tersebut terjadi karena terjadinya perubahan iklim dan musim. Musim panas dan musim penghujan sudah tidak jelas perbedaannya atau bahkan mungkin telah bertukar waktu operasi. Pengaruh yang paling massive adalah beberapa yang waktu lalu diberitakan, yaitu bongkahan es dari Antartika yang berdiameter satu kilometer sudah mulai mendekat di kepulauan Selandia Baru.. What a horrible phenomenon!! Bukankah Selandia Baru tidak jauh dari Indonesia? Kemudian, yang belum lama ini terjadi adalah pecahnya bongkahan es di Antartika yang disebabkan oleh gempa di Jepang pada beberapa bulan yang lalu. Pecahan es tersebut memiliki ukuran dua kali lipat dari Kota Manhattan di Amerika Serikat. Betapa mengerikannya. Walau ini bukan efek yang ditimbulkan secara langsung oleh pemanasan global, tapi ini dengan jelas memberikan efek yang tidak kecil pada kehidupan di bumi.
Pemanasan global datang tidak dengan tiba-tiba. Gejala tersebut datang karena terdapatnya paham antroposentris atau paham yang menjelaskan bahwa semua yang ada di muka bumi terpusat pada kepentingan manusia. Parahnya, manusia yang dijadikan subjek justru manusia yang semakin pragmatis, konsumtif, dan oportunis. Manusia seperti telah menjadi monster bagi bumi, manusia telah menjelma sebagai lintah yang mengisap potensi alam tanpa kenal puas sampai alam benar-benar tidak menyisakan sesuatu untuk dihisap. Manusia menjadi semakin tidak peduli dan pura-pura tidak peduli dengan carrying capacity alam yang semakin tidak mendukung apa yang sedang menjadi impian semua manusia yaitu modernisasi dan globalisasi tanpa sadar bahwa hal itu membawa efek negatif yang menjadi turunannya.
Beberapa negara di dunia sebenarnya telah mulai sadar akan fenomena pemanasan global. Hal tersebut terlihat dari berbagai konferensi yang khusus diadakan untuk membahas perubahan iklim dan pemanasan global. Selain itu juga dikeluarkannya beberapa policy yang terkait dengan batasan emisi gas buang knalpot kendaraan bermotor. Tetapi negara-negara yang memproduksi polusi udara paling tinggi di dunia seperti China, Amerika Serikat, dan India belum memiliki niat tulus dan itikad baik untuk turut berperan serta dalam menurunkan emisi gas polutan di negaranya. Karena dengan menurunkan emisi gas buang yang berpolusi tersebut berarti ekuivalen dengan penurunan pendapatan dari sektor industri. Hal itu sudah terbukti di Linfen (China), kota berpolusi tertinggi di dunia, yang pendapatan brutonya berkurang USD 300 juta karena menutup 3700 pusat penambangan tradisional serta ratusan pabrik baja dan besi sebagai usaha untuk mengurangi polusi di kota tersebut. Maka dari itu negara-negara tersebut menjadi enggan untuk mengeluarkan suatu kebijakan konkret untuk turut serta mengurangi polusi udara di dunia.
Bulan Desember ini Indonesia menjadi salah satu negara yang mengirimkan delegasinya ke Denmark untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Kota Kopenhagen. Sekadar informasi, negara-negara macam Amerika Serikat, China, dan India sebagai negara dengan emisi gas polutan tertinggi di dunia masih setengah hati untuk mengurangi polusi udara yang diproduksinya. Tetapi terdapat sedikit angin segar yang bertiup, yaitu Indonesia mampu menggolkan lima pasal dalam draft kesepakatan KTT tersebut yang intinya semua negara di dunia harus bersedia untuk berperan serta mengurangi emisi gas buang dan menjaga “kesehatan” lingkungannya. Tetapi peran Indonesia yang menonjol tersebut hanya akan menjadi hal yang absurd jika kita sebagai manusia yang hidup di dalamnya tidak melakukan sesuatu untuk merealisasikan apa yang diamanatkan oleh KTT tersebut. Karena menurut hadist kullukum ra’yun wa kullu kum mas’ulunan ra’yatikum atau setiap dari kalian adalah pemimpin dan kalian bertanggung jawab atas yang kalian pimpin. Maka segeralah kita pimpin diri kita masing-masing untuk segera melakukan hal sekecil apapun untuk memberikan suatu efek yang besar bagi kelangsungan hidup kita sebagai manusia, agar Bumi tidak segera menjadi pembahasan dalam teks sejarah peradaban lain, di kehidupan yang lain, di planet lain dan di galaksi lain. Karena alam sedang sangat serius dengan ancaman yang sebenarnya merupakan efek balik dari apa yang kita lakukan padanya. Iya, alam sedang tidak bersandiwara dengan kita!


5 komentar:

  1. Ya.. Alam memang tidak bersandiwara karena sesungguhnya ia penyanyi. *ditengkas vety vera* *nyusruk*

    welcome to blogworld kangmas! :D
    Happy posting, can't wait for your gombal post!

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Yyuuxxx, mulai dari yang sederhana dari diri kita ^_^ Misal : membuang sampah pada tempatnya dan juga membawa kantong belanja sendiri untuk mengurangi konsumsi kantong kresek/plastik

    BalasHapus
  4. Cuma mau ralat Stockholm Conference : United Nations Conference on THE Human Environment :)

    BalasHapus
  5. Maap, semangat ngeblog masih naik turun. tunggu postingan berikutnya ya. Bwek \O_+/

    BalasHapus