Kamis, 25 Agustus 2011

Korelasi Zikir, Syukur, dan Korupsi

(sumber gambar: isn1.net)

“ ....Jika ia berzikir kepada-Ku dalam hatinya, Aku ingat kepadanya dalam Diriku. Dan jika ia zikir kepada-Ku dalam majelis orang banyak, niscaya Aku ingat dia dalam kumpulan yang lebih banyak dalam kumpulannya. Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku mendekat kepadanya satu depa. Jika ia  datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil.” 
Dalam hadist Qudsi di atas, jelas termaktub bahwa zikir dapat menjadi sarana agar Allah selalu dekat dengan kita. Hakikat zikir adalah mengingat Allah, bahkan sholat yang setiap hari kita laksanakan adalah sarana untuk selalu mengingatNya. Allah azza wa jalla, seperti dalam hadist di atas, menjanjikan Ia akan lebih dekat kepada hambaNya jika sang hamba selalu mengingatNya. Secara nalar, sangat mudah kita simpulkan jika Allah sudah menjanjikan akan dekat dengan hambaNya, maka insya Allah sang hamba akan selalu berada dalam naungan lindungan dan petunjukNya. Sehingga sang hamba akan selalu berada pada jalur kehidupan Ilahiah yang teduh dan menentramkan hati, karena jauh dari perbuatan dosa yang akan merusak kemurnian jiwa.
“....Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim:7)
Dalam surah Ibrahim ayat 7, Allah berjanji akan menambah nikmat selama hambaNya selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan. Mengenai nikmat Allah, alangkah sangat kufurnya jika kita sampai kita tidak mensyukurinya. Mudah bagi kita untuk bersyukur jika kita menyadari bahwa banyak sekali alasan yang dapat dijadikan sarana untuk bersyukur. Nafas, mata, kaki, tangan, anak, istri, keluarga, dan sehatnya jiwa raga kita adalah secuil dari sekian banyak nikmat yang Allah berikan. Seringkali kita tidak bisa bersyukur karena kepala kita selalu menengadah ke atas dan membiarkan diri kita dengki atas nikmat yang diberikan Allah kepada sejawat kita. Kita sangat jarang berusaha untuk “melihat ke bawah” dan menyadari bahwa banyak sekali ibrah yang terserak di dalam penderitaan kaum papa. Kita sakit kepala kalau tetangga kita membeli mesin cuci baru dan akan sesak nafas jika teman kita membeli handphone baru. Tetapi kita tak sudi membantu (sebagai bentuk rasa syukur) pada kawan yang terlilit hutang, padahal jelas-jelas kita baru saja mendapat arisan.
Terkait dengan zikir dan syukur, dapat ditarik benang merah dari fenomena yang menjadi penyakit kronis bangsa kita, yaitu korupsi. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima masyarakat dan itu ditujukan untuk memenuhi kepentingan pribadi. Menurut pengajar Universitas Indonesia, Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan korupsi adalah adanya faktor dorongan dalam diri sendiri yaitu adanya hasrat, keinginan dan kehendak dari dalam diri. Kemudian ada pula faktor rangsangan dari luar, misalnya dorongan dari teman, adanya kesempatan dan kurangnya kontrol diri.
Jika kita menilik kasus korupsi di Indonesia, maka kita akan miris dan prihatin dengan suburnya praktik haram tersebut. Korupsi telah dilakukan secara berjamaah dimana-mana. Dalam situs portal berita Kompas.com dilaporkan bahwa 17 dari 33 orang kepala daerah (provinsi) di Indonesia sedang bermasalah dengan kasus korupsi dan tengah menghadap proses hukum. Yang paling hangat dan mungkin membuat kita paling jengah adalah kasus Gayus H. Tambunan dan Nazaruddin yang menyita perhatian karena menjadi headline di media massa. Dari kasus-kasus itu, timbul kelakar dari penggiat jejaring sosial twitter yang mengatakan bahwa, “benar kita ini adalah negara hukum, karena pemimpin kita adalah orang yang gemar berurusan dengan hukum.” Tentu sebuah kelakar yang tidak untuk ditertawakan, tapi untuk kita resapi. Sungguh memprihatinkan.
Fenomena korupsi sejatinya sangat korelatif dengan esensi syukur dan zikir. Para pelaku korupsi, niscaya adalah orang-orang yang dalam kesehariannya kurang berzikir, jika ia berzikir, maka zikir yang adanya hanya di ujung bibir, tak sampai ke relung jiwanya. Zikir dan sholatnya hanya sekadar ritual rutin semata. Sehingga zikir dan sholatnya tak membuat perilakunya menjadi perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Terkait rasa syukur, para pelaku korupsi dapat dipastikan adalah orang-orang yang tidak bersyukur. Ia adalah orang yang tidak pernah puas atas rezeki dari Allah dan rela menggunakan cara-cara haram untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Korupsi seyogyanya kita hindari dari setiap alur kegiatan dan kehidupan kita. Jelas-jelas bahwa korupsi sama dengan menggarong uang yang bukan hak kita. Cara paling ampuh untuk mencegahnya adalah kita senantiasa mengingatNya dalam setiap langkah kita (zikir) dan bersyukur atas nikmat dariNya. Insya Allah kita akan terhindar dari perbuatan keji itu. Wallahu’alam bishowab...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar