(sumber gambar: isn1.net) |
“ ....Jika ia berzikir kepada-Ku dalam
hatinya, Aku ingat kepadanya dalam Diriku. Dan jika ia zikir kepada-Ku dalam
majelis orang banyak, niscaya Aku ingat dia dalam kumpulan yang lebih banyak
dalam kumpulannya. Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal, maka Aku
mendekat kepadanya satu hasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta, maka
Aku mendekat kepadanya satu depa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya
dengan berlari kecil.”
Dalam
hadist Qudsi di atas, jelas termaktub bahwa zikir dapat menjadi sarana agar
Allah selalu dekat dengan kita. Hakikat zikir adalah mengingat Allah, bahkan
sholat yang setiap hari kita laksanakan adalah sarana untuk selalu
mengingatNya. Allah azza wa jalla, seperti dalam hadist di atas, menjanjikan Ia
akan lebih dekat kepada hambaNya jika sang hamba selalu mengingatNya. Secara
nalar, sangat mudah kita simpulkan jika Allah sudah menjanjikan akan dekat
dengan hambaNya, maka insya Allah sang hamba akan selalu berada dalam naungan
lindungan dan petunjukNya. Sehingga sang hamba akan selalu berada pada
jalur kehidupan Ilahiah yang teduh dan menentramkan hati, karena jauh dari
perbuatan dosa yang akan merusak kemurnian jiwa.
“....Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim:7)
Dalam surah Ibrahim ayat 7, Allah berjanji
akan menambah nikmat selama hambaNya selalu bersyukur atas segala nikmat yang
telah diberikan. Mengenai nikmat Allah, alangkah sangat kufurnya jika kita
sampai kita tidak mensyukurinya. Mudah bagi kita untuk bersyukur jika kita
menyadari bahwa banyak sekali alasan yang dapat dijadikan sarana untuk
bersyukur. Nafas, mata, kaki, tangan, anak, istri, keluarga, dan sehatnya jiwa
raga kita adalah secuil dari sekian banyak nikmat yang Allah berikan. Seringkali
kita tidak bisa bersyukur karena kepala kita selalu menengadah ke atas dan
membiarkan diri kita dengki atas nikmat yang diberikan Allah kepada sejawat
kita. Kita sangat jarang berusaha untuk “melihat ke bawah” dan menyadari bahwa
banyak sekali ibrah yang terserak di dalam penderitaan kaum papa. Kita sakit
kepala kalau tetangga kita membeli mesin cuci baru dan akan sesak nafas jika
teman kita membeli handphone baru. Tetapi kita tak sudi membantu (sebagai bentuk
rasa syukur) pada kawan yang terlilit hutang, padahal
jelas-jelas kita baru saja mendapat arisan.
Terkait dengan zikir dan syukur, dapat ditarik benang merah dari
fenomena yang menjadi penyakit kronis bangsa kita, yaitu korupsi. Korupsi
menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima masyarakat dan itu ditujukan untuk memenuhi
kepentingan pribadi. Menurut pengajar Universitas Indonesia, Dr. Sarlito W.
Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan korupsi adalah adanya faktor
dorongan dalam diri sendiri yaitu adanya hasrat, keinginan dan kehendak dari
dalam diri. Kemudian ada pula faktor rangsangan dari luar, misalnya dorongan
dari teman, adanya kesempatan dan kurangnya kontrol diri.
Jika
kita menilik kasus korupsi di Indonesia, maka kita akan miris dan prihatin
dengan suburnya praktik haram tersebut. Korupsi telah dilakukan secara
berjamaah dimana-mana. Dalam situs portal berita Kompas.com dilaporkan bahwa 17
dari 33 orang kepala daerah (provinsi) di Indonesia sedang bermasalah dengan
kasus korupsi dan tengah menghadap proses hukum. Yang paling hangat dan mungkin
membuat kita paling jengah adalah kasus Gayus H. Tambunan dan
Nazaruddin yang menyita perhatian karena menjadi
headline di media massa. Dari kasus-kasus itu, timbul kelakar dari penggiat
jejaring sosial twitter yang mengatakan bahwa, “benar kita ini adalah negara
hukum, karena pemimpin kita adalah orang yang gemar berurusan dengan hukum.” Tentu
sebuah kelakar yang tidak untuk ditertawakan, tapi untuk kita resapi. Sungguh
memprihatinkan.
Fenomena
korupsi sejatinya sangat korelatif dengan esensi syukur dan zikir. Para pelaku
korupsi, niscaya adalah orang-orang yang dalam kesehariannya kurang berzikir,
jika ia berzikir, maka zikir yang adanya hanya di ujung bibir, tak sampai ke
relung jiwanya. Zikir dan sholatnya hanya sekadar ritual rutin
semata. Sehingga zikir dan sholatnya tak membuat perilakunya menjadi perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Terkait rasa syukur, para pelaku korupsi
dapat dipastikan adalah orang-orang yang tidak bersyukur. Ia adalah orang yang
tidak pernah puas atas rezeki dari Allah dan rela menggunakan cara-cara haram
untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Korupsi seyogyanya kita hindari dari setiap alur kegiatan dan
kehidupan kita. Jelas-jelas bahwa korupsi sama dengan menggarong uang yang
bukan hak kita. Cara paling ampuh untuk mencegahnya adalah kita senantiasa
mengingatNya dalam setiap langkah kita (zikir) dan bersyukur atas nikmat
dariNya. Insya Allah kita akan terhindar dari perbuatan keji itu. Wallahu’alam
bishowab...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar