(sumber gambar: krjogja.com) |
Setelah membaca judul tulisan ini,
tak berlebihan rasanya jika kawan pembaca akan mempersepsikan tulisan ini
sebagai semacam hikayat perjuangan seorang lelaki bernama Jamin dan lokasi
dimana kisah tersebut berlangsung. Namun sebaiknya penyimpulan konten tulisan
ini dengan hanya berdasar dari beberapa kata yang bernama “judul” tersebut,
segera dihentikan. Karena sejatinya antara “Jamin” dan “mBabarsari” secara langsung
tak terdapat korelasi diantara keduanya. Mungkin satu-satunya korelasi diantara
keduanya, jika dipaksakan untuk ada, adalah karena di dalamnya saya terlibat
secara pasif maupun aktif. Lebih tepatnya saya saksi hidup dan subjek utama (halah).
Adapun tulisan ini berisi dua kisah
yang sebetulnya adalah pengalaman pribadi saya. Dua kisah tersebut memiliki
alur berbeda dan terpisah, namun memiliki nafas dan jiwa yang sama. Kisah-kisah
nyata tersebut, belakangan saya sadari menjadi semacam mozaik berharga dalam
jalan hidup saya. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud untuk menceritakannya
kepada kawan pembaca sekalian. Setelah itu, akan diapakan tulisan ini,
sepenuhnya menjadi hak prerogatif kawan sekalian. Entah akan hanya dibaca
sepintas lalu atau diseriusi atau diceritakan kembali, monggo saja.
Sebelum masuk sepenuhnya kepada alur
kisahnya, maka akan saya jelaskan, siapa sebenarnya Pak Jamin itu. Bagi
penduduk asli Kota Megapolitan Purwodadi (Megapolitan? Iya, emang kenapa?
Masalah?), Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, nama Pak Jamin bisa dikatakan
tak asing. Jika saja masih asing, maka akan ada keyword yang
saya yakini akan membuat sebagian besar penduduk asli Purwodadi akan
mengenalnya. Jadi Pak Jamin ini adalah pemilik Rumah Makan Ayam Goreng dan
Bakar Noroyono. Ya, keyword-nya ya Noroyono itu. Sebuah rumah makan
yang sangat terkenal karena cita rasanya di kabupaten dengan wilayah terluas
kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap itu.
Pak Jamin sehari-hari, selain
sebagai pemilik Noroyono, juga berprofesi sebagai guru di SMA Negeri 1
Purwodadi, SMA favorit di sana (ihiiir). SMA dimana saya menempuh
sekolah antara tahun 2003-2006. Beliau mengampu mata pelajaran Fisika. Seingat
saya, beliau mengajar saya selama dua tahun, yaitu ketika saya kelas 1 dan
kelas 3. Nah, cerita tentang Pak Jamin ini, saya dapatkan secara langsung dari
beliau ketika mengajar di kelas ketika saya kelas 1 SMA, dan sesekali juga
pernah disinggungnya ketika mengajar saya di kelas 3.
Pak Jamin bercerita bahwa beliau lumayan
sering bersantap di Soto Gading di Kota Solo. Warung Soto yang terletak di Jl.
Brigadir Jenderal Sudiarta Solo itu sangat terkenal. Lokasi Soto Gading
berjarak sekitar 0,5 km dari Keraton Solo. Gading yang digunakan sebagai nama
dagang soto tersebut sebenarnya berasal dari nama gapura masuk kawasan
tersebut, yang bernama Gapura Gading. Inti dari kisah yang dituturkan Pak Jamin
bukanlah tentang citarasa Soto Gading, tapi justru tentang minuman
pendampingnya, yaitu es teh. Ketika itu, Pak Jamin bercerita dengan semangat,
dan berkata dalam Bahasa Jawa, kira-kira seperti ini:
“Saya ini, kalau pas makan di
Soto ngGading Solo, pasti habis es teh sebanyak dua gelas. Es tehnya enak
sekali pokoknya..”
Berawal dari kalimat itulah,
kemudian Pak Jamin bercerita betapa beliau sangat menggemari es teh Soto Gading
Solo. Ternyata kegemaran meminum es teh tersebut tidak hanya berhenti menjadi
sekadar menggemari. Pak Jamin justru penasaran, bagaimana es teh kok bisa
seenak itu. Karena dirasa es teh tersebut sungguh nikmat, Pak Jamin mempunyai
keinginan untuk bisa mengonsumsinya setiap saat di rumah, daripada harus
menempuh jarak Purwodadi – Solo sejauh 60 km untuk menikmatinya. Maka, Pak
Jamin memutuskan untuk mencari berbagai merk teh yang beredar di Purwodadi.
Dan alhamdulillah, (JENG JENG!! *backsound lagu Jump – Van
Halen*) rasa senikmat es teh Soto Gading tetap belum bisa disamai oleh
beberapa merk teh yang dibeli Pak Jamin. Pak Jamin pun sebal. Hiks.
Pencarian berbagai merk teh tetap
diteruskan sampai beberapa lama, namun tetap saja rasa es teh Soto Gading belum
bisa disamai. Pak Jamin terus berusaha, bahkan sampai bertanya secara langsung
kepada pengelola Soto Gading. Namun, pengelola tersebut keberatan untuk
membocorkannya kepada Pak Jamin. Sambil terus berusaha mencari pelbagai merk
teh, Pak Jamin tetap mencari informasi ke pengelola Soto Gading tanpa putus
asa.
Sampai pada suatu saat, ketika Pak
Jamin pulang dari mengajar dan mengurus rumah makan. Beliau merebus air panas
untuk membuat teh. Maka dituangkanlah teh panas tersebut di gelas dan
langsung dicemplungi es batu, dalam keadaan teh masih sangat
panas. Lalu, ditutuplah gelas tersebut. Karena masih lelah usai beraktivitas,
teh ditinggal leyeh-leyeh dengan begitu saja. Setelah puas
rehat barang sebentar, dibukalah gelas teh tadi, diseruputlah pelan-pelan, dan
seketika Pak Jamin (sangat mungkin) berujar: “Waiki!!! Iki sing tak
goleki!!! HUWOW!! (Ini!!! Inilah yang saya cari!!! –Jawa) *terdengar
lagu We Are The Champion – Queen di kejauhan..*
Pencarian Pak Jamin setelah sekian
lama terjawab sudah. Bahwa ternyata teknik pembuatan es teh Soto Gading adalah
seperti yang dilakukan Pak Jamin. Meski Pak Jamin mendapatkannya secara tak
sengaja. Namun teknik sederhana tersebut didapat dalam waktu yang tidak
sebentar dan melalui beraneka cara dan usaha. Singkat cerita, Pak Jamin
akhirnya juga mendapat info dari pengelola Soto Gading bahwa merk teh yang
digunakan adalah merk tertentu dengan seri tertentu. Semakin sempurnalah
penemuan Pak Jamin. Beliau bisa menikmati es teh dengan citarasa es teh Soto
Gading setiap saat. Bahkan konon, akhirnya resep es teh tersebut juga
diaplikasikan ke Rumah Makan Noroyono milik beliau. FYI, jika kawan berkunjung
ke Purwodadi, silakan mencoba menu ayam bakar dan goreng di Rumah Makan
Noroyono yang terletak di Jl. R. Suprapto Purwodadi (samping Utara Masjid
Simpang Lima Purwodadi) atau di Jl. Gadjah Mada Kec. Wirosari Grobogan (21 km
arah Timur Purwodadi). Saya jamin rasa ayam goreng dan bakarnya jos dan lheb
godheg.. :9
Baiklah, mari sekarang beranjak ke
fragmen cerita kedua di tulisan ini. Tentang Kisah mBabarsari. mBabarsari
adalah sebuah nama jalan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Terletak tak jauh dari fly over Janti, yaitu di sebelah
Timurnya. Kawasan yang cukup tenar di Yogya. Di jalan tersebut juga terdapat
beberapa tempat penting, semacam Kampus Universitas Atmajaya, Sekolah Tinggi
Nuklir, STT Nasional, Hotel Sahid dan warung nasi kuning yang sungguh tersohor
itu.
Kisah ini berawal dari kunjungan
saya dan beberapa kawan SMA saya ke Yogyakarta di bulan April tahun 2006. Untuk
suatu keperluan, kami pergi dengan menggunakan bus umum. Hari itu Hari Jumat.
Berangkat dari Purwodadi sekitar pukul 08.00 WIB pagi dan tiba di Terminal
Tirtonadi Solo sekitar pukul 11.00 WIB. Oh iya, ketika itu saya juga bersama
pacar saya (dan kami baru jadian sekitar seminggu.. #ihiiir #kiw #kiw) dan
harus berpisah dengannya di terminal tersebut karena dia dijemput oleh kakaknya..
#penting (terdengar sayup-sayup lagu Terminal Tirtonadi – Didi Kempot di
kejauhan).
Setelah transit di Tirtonadi, kami
meneruskan perjalanan dengan bus umum jurusan Solo – Yogya. Tibalah kami di
Yogya pukul 14.00 WIB. Kami turun di seberang jalan mBabarsari.
Sebenarnya sih Jl. Babarsari tanpa “m”, pengucapan dengan
awalan “m” menjadi mBabarsari adalah khas lidah Jowo, seperti ungkapan lain
semacam “Yuk dolan ke mBali, yuk mbalik ke mBogor mbla..mbla..mbla..mbla”. Gitu
deh. Dari ujung Jl. mBabarsari, kami berjalan kaki sekitar setengah kilo
menuju ke rumah eyangnya kawanku, Legowo (Hae, Legowo, saiki kowe ning endi,
Le? Terakhir ia di mBandung, lulus dari STT Telkom, dan kami lose contact walau
tetap berteman di Facebook).
Kami transit di rumah eyangnya
Legowo untuk sholat ashar dan rehat sebentar. Setelah itu kami bersiap. (Saya
masih ingat, ketika itu saya mengenakan t-shirt warna hijau,
dan t-shirt itu sampai sekarang masih saya pakai untuk tidur..
#penting #banget). Setelah siap, kami berjalan kaki sambil menggendong tas yang
cukup berat karena berisi baju untuk menginap dua/tiga malam di Yogya. Kami
berjalan menuju pojok Janti untuk menunggu mobil jemputan. Setelah selesai
acara, pada hari Senin kami pulang.
Itu adalah kunjungan terakhir saya
yang terakhir ke Yogya, sebelum kuliah di mBogor sampai tahun 2010 dan sebelum
akhirnya berkarya di kota nan berhati nyaman ini. Saya sama sekali tak pernah
ke Yogya mulai dari April 2006 sampai kemudian di akhir 2010 saya kembali ke
sana, sampai sekarang. Nah, karena saya dalam posisi bertempat tinggal tak jauh
dari Jl. mBabarsari (tempat tinggal saya sekarang menuju mBabarsari hanya
membutuhkan waktu sekitar 3 menit), maka suatu saat di awal tinggal di Yogya,
atau Sleman tepatnya, saya tiba-tiba teringat bahwa sedikit fase hidup saya
pernah terukir di mBabarsari.
Maka, saya putuskan
untuk menuju mBabarsari untuk mencari rumah eyangnya Legowo, dimana pada tahun
2006 saya pernah menginap. Tetapi tetap tak saya ketemukan. Mulai dengan
bersepeda motor atau dengan sepeda kayuh ketika saya olahraga, saya selalu
menengok ke arah Timur, dimana gang kecil rumah eyangnya Legowo berada. Kembali
lagi, saya gagal untuk mendapatkannya. Itu tak hanya berlangsung sekali atau
dua kali, namun sampai berkali-kali, mungkin puluhan kali (atau ratusan?
Hah..yo embuh...). Dengan saya sengaja khusus untuk mencari tempat itu,
atau secara tak sengaja ketika lewat Jl. mBabarsari, leher saya secara otomatis
menoleh ke arah Timur untuk mencari gang itu. Tapi tetap saja, nihil. Bahkan
sempat terpikir jangan-jangan rumah eyangnya Legowo sudah digusur dan berganti
menjadi bangunan baru. Sampai kemudian saya letih, tak bergairah, frustasi,
berusaha melupakannya sama sekali dan berniat segera menghapusnya dari kenangan
hidupku. Halah..
Tetapi, belum lama ini,
ketika saya melewati Jl. mBabarsari untuk suatu keperluan, sesuatu terjadi di
luar kendali saya. Tanpa sama sekali saya rencanakan. Saya berkendara dari arah
Utara menuju arah Selatan. Namun, sampai setelah tikungan STT Nasional, di
tengah jalan telah teronggok beberapa unit alat berat yang sedang melakukan
perbaikan jalan. Automaticly, otak saya berputar untuk mencari
jalan alternatif agar saya tetap bisa meneruskan perjalanan ke arah Selatan.
Akhirnya saya putuskan untuk nginthil kendaraan-kendaraan di
depan saya. Saya ikuti kemana arah putaran roda ini mengarah. Ketika sampai di
tengah gang jalan alternatif, saya galau, saya bimbang, saya seperti terjatuh
tak bisa bangkit lagi dan tersesat tak tahu arah jalan pulang, aku tanpamu
butiran debu.. (lhah?). Sambil terus mengikuti sepeda motor di depan
saya, akhirnya saya memutuskan untuk belok kanan ke sebuah gang kecil. Tanpa
berdasar apapun, hanya spekulasi, hanya iseng, hanya ikuti kata hati, tanpa
pengetahuan geografis yang memadai, tanpa GPS Garmin, tanpa Google Maps, Tanpa
Nokia Maps, tanpa Apple Maps, bahkan saya tak tahu dimana gang kecil itu
bermuara, saya tetap jalan terus, entah apapun yang terjadi nanti di depan
sana. Tahukah kau apa yang terjadi, kawan? *drum roll*
Saya memutuskan untuk
terus memasuki gang itu, dan ketika sampai di tengah gang *JENG-JENG!!* saya
pun menoleh ke sebelah kanan, dan itulah RUMAH EYANGNYA LEGOWO YANG KUCARI
selama sekitar 1,5 tahun belakangan ini!! Sekonyong, badan machoku bergetar,
aku speechless, aku tak berdaya, aku tak percaya, unbelievable dan
aku pun salto (ya, ini dramatisasi). Tapi percayalah, kawan, saya senang
luar biasa saat itu. Tempat yang sekian lama kucari akhirnya saya temukan
dengan cara yang sama sekali tak kuduga. Tempat dimana kisah hidupku dulu
pernah tertulis, akhirnya bisa kusaksikan kembali. Senang sekali hati
ini. Lalala yeyeye. Bukan masalah hal apa yang kutemukan, tapi ini
masalah keinginan yang sekian lama diusahakan dan akhirnya mendapat hasil. Dan
cara tercapainya sama sekali tak terduga, surprising pokoknya!
Sepektakuler, sodara-sodara!
Setelah merasakan dua
peristiwa fenomenal dan unforgettable di atas, maka izinkan
saya untuk menarik ibrah atau pelajaran yang kiranya dapat
menjadi wacana spiritual dalam hidup yang fana ini.. (ngok!). Jadi, dua
kisah di atas dapat ditarik kesimpulan dan dapat dijadikan bukti bahwa Tuhan
tak pernah tak mencatat segala amalan makhluknya, sekecil amalan apapun itu.
Sebagai bukti bahwa Gusti Allah ora sare (Tuhan tidak tidur).
Dia selalu tahu apa yang terbaik buat makhluknya. Terbaik ini terkait dengan
proses dan momentum terjadinya hasil dari proses tersebut. Saya beri ilustrasi
terkait momentum tersebut. Begini, misal saja ketika pertama kali saya tinggal
di Yogya, lalu mencari rumah eyangnya Legowo, dan seketika itu juga langsung
menemukannya, tanpa usaha, tanpa pencarian yang berarti, tentu saya tak akan
merasakan sensasi hebat ketika dengan tanpa saya duga tiba-tiba saya “tersesat”
di jalan alternatif, tetapi justru sebenarnya Tuhan sedang “menggiring” saya ke
tempat yang telah lama saya cari. Begitu pun ketika Pak Jamin akhirnya mendapat
teknik membuat es teh yang sama dengan es teh Soto Gading dengan cara yang
benar-benar tak terduga cara dan waktu tercapainya. Begitulah, Tuhan memang
terkadang seneng ngajak guyon dengan caraNya sendiri.. J
Dua kisah di atas juga
bukti kalimat “semua indah pada waktunya” itu benar-benar tak pernah menjadi
ungkapan yang klise. Ungkapan itu akan selalu relevan dengan konteks jaman dan
peristiwa apapun. Di dua kisah di atas, juga terselip hikmah bahwa memang kita
hanya diperintahkan oleh Tuhan untuk berusaha dan berusaha. Masalah hasil
adalah murni ranahNYA. Kita seolah dilarang untuk masuk ke wilayah “hasil”.
Karena Tuhan tak pernah mau diintervensi terkait itu. Tuhan tak suka didului.
Tuhan hanya mau kita bergerak dan bergerak untuk menjemput hasil yang kita
tunggu-tunggu. Percayalah, Tuhan sudah menyiapkan secara detil dan indah
sesuatu akan tercapai dengan eloknya. Masalah dimana dan kapan hasil dari usaha
itu kita dapatkan, itu urusanNYA. Karena memang kita akan mendapat hasil pada
waktu yang akan membuat kita lebih bahagia, daripada ketika misalnya hasil itu
kita dapatkan saat kita inginkan dulu. Itu. Salam puser!
NB: Jika Pak Jamin atau
seseorang yang mengenal beliau membaca tulisan ini, mohon jika ada kekeliruan
alur cerita terkait “es teh Soto Gading”, dengan kerendahan hati kami mohon
untuk dikoreksi. Karena sangat mungkin alur cerita yang saya ungkapkan di atas
terdapat kekeliruan karena keterbatasan ingatan saya. Matur nuwun.. J
Aku jadi penasaran dengan citarasa es teh Soto Gading itu Yan :)
BalasHapusHih! Mosok komenne mung ngono thok. Gak kreatip. #RyanAnakYangTakTahuTerimaKasih
HapusAyo Mbake dolan Solo terus nyeruput es teh itu.. :))
Mamacih.. ^.^
Kali Perdana buka dan baca blog-nya Kang Mas Ryan Perdana.. dan rasanya langsung jatuh cinta sama tulisannya..tulisannya eaaa...bukan orangnya..hidung indahnya..apalagi badan machonya.. #dijelasin
BalasHapuskeren loh kaka asprakku ini tulisannya, jadi refleksi buat ku juga setahun belakangan ini. Kekeuh mengejar sesuatu, cari sana-sini kok ya ngga dapet2.. yaudahlah pasrah ajah.. gak lama ternyata dikasih yang kita mau, jauh lebih baik malahan.. #CurhatBuk
"memang kita hanya diperintahkan oleh Tuhan untuk berusaha dan berusaha. Masalah hasil adalah murni ranahNYA" :)
Aduh.. eh.. ah.. gimana ya.. *sisiran dulu*
HapusJiye jatuh cinta jiye. FYI aja Ira, jatuh cinta biasanya dimulai dari tulisannya dulu lho. Inget jaman dulu kan ortu kita pacarannya aja lewat surat-surattan. Yah jaman sekarang kan bisa lewat blog kan? #dibahas
By the way, mamacih ya Ira sudah rela mampir ke sini dan sudi menorehkan goresan komen. Aku senang sekali.. *kedip-kedip* *diculek*
Eh jangan lupa, masih ada enam tulisan lain lho. Mampir ya.. *promosi teteup*
Dahsyaatttt!!!
BalasHapusMenarik... Aku senyum senyum sendiri bacanya.
Lucu ceritanya, dalem ibrahnya, aneh penulisnya.
Salam blogger durjana :)
Lalala yeyeye.
HapusMakasih Wina. Semoga amal kebaikanmu rela komen di sini segera dibales dengan membanjirnya komen di blog-mu MUAHAHAHA
Terima kasih atas tulisan yang sarat makna,,,hihihihi
BalasHapusJadi penasaran pengen bikin teh ala soto gading,,,
Anyway, terima kasih sudah meyakinkan saya bahwa semua itu indah pada waktunya,,,
Salam terhangat ^^
Salam hangat terdahsyat untuk seluruh keluarga Indonesia.
HapusMakasih dek. Semoga aku selalu bergairah menulis. Syalalalala...
aduuuhhh pak jamin , guru semasa sma .
BalasHapusjadi kangen cckckc .
mas angkatan tahun brapaaa??
Saya sahabat lama anak bungsunya Pak Jamin, sahabat saya itu memang sering cerita kalau dia sekeluarga suka makan di soto gading. Tapi saya ga nyangka kalau Pak Jamin gemar sekali sama es tehnya, cukup unik :D btw saya SMA di daerah Babarsari juga :D
BalasHapus