Kamis, 03 Januari 2013

Kisah Pak Jamin dan mBabarsari

(sumber gambar: krjogja.com)

Setelah membaca judul tulisan ini, tak berlebihan rasanya jika kawan pembaca akan mempersepsikan tulisan ini sebagai semacam hikayat perjuangan seorang lelaki bernama Jamin dan lokasi dimana kisah tersebut berlangsung. Namun sebaiknya penyimpulan konten tulisan ini dengan hanya berdasar dari beberapa kata yang bernama “judul” tersebut, segera dihentikan. Karena sejatinya antara “Jamin” dan “mBabarsari” secara langsung tak terdapat korelasi diantara keduanya. Mungkin satu-satunya korelasi diantara keduanya, jika dipaksakan untuk ada, adalah karena di dalamnya saya terlibat secara pasif maupun aktif. Lebih tepatnya saya saksi hidup dan subjek utama (halah).
Adapun tulisan ini berisi dua kisah yang sebetulnya adalah pengalaman pribadi saya. Dua kisah tersebut memiliki alur berbeda dan terpisah, namun memiliki nafas dan jiwa yang sama. Kisah-kisah nyata tersebut, belakangan saya sadari menjadi semacam mozaik berharga dalam jalan hidup saya. Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud untuk menceritakannya kepada kawan pembaca sekalian. Setelah itu, akan diapakan tulisan ini, sepenuhnya menjadi hak prerogatif kawan sekalian. Entah akan hanya dibaca sepintas lalu atau diseriusi atau diceritakan kembali, monggo saja.
Sebelum masuk sepenuhnya kepada alur kisahnya, maka akan saya jelaskan, siapa sebenarnya Pak Jamin itu. Bagi penduduk asli Kota Megapolitan Purwodadi (Megapolitan? Iya, emang kenapa? Masalah?), Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, nama Pak Jamin bisa dikatakan tak asing. Jika saja masih asing, maka akan ada keyword yang saya yakini akan membuat sebagian besar penduduk asli Purwodadi akan mengenalnya. Jadi Pak Jamin ini adalah pemilik Rumah Makan Ayam Goreng dan Bakar Noroyono. Ya, keyword-nya ya Noroyono itu. Sebuah rumah makan yang sangat terkenal karena cita rasanya di kabupaten dengan wilayah terluas kedua di Jawa Tengah setelah Cilacap itu.
Pak Jamin sehari-hari, selain sebagai pemilik Noroyono, juga berprofesi sebagai guru di SMA Negeri 1 Purwodadi, SMA favorit di sana (ihiiir). SMA dimana saya menempuh sekolah antara tahun 2003-2006. Beliau mengampu mata pelajaran Fisika. Seingat saya, beliau mengajar saya selama dua tahun, yaitu ketika saya kelas 1 dan kelas 3. Nah, cerita tentang Pak Jamin ini, saya dapatkan secara langsung dari beliau ketika mengajar di kelas ketika saya kelas 1 SMA, dan sesekali juga pernah disinggungnya ketika mengajar saya di kelas 3.
Pak Jamin bercerita bahwa beliau lumayan sering bersantap di Soto Gading di Kota Solo. Warung Soto yang terletak di Jl. Brigadir Jenderal Sudiarta Solo itu sangat terkenal. Lokasi Soto Gading berjarak sekitar 0,5 km dari Keraton Solo. Gading yang digunakan sebagai nama dagang soto tersebut sebenarnya berasal dari nama gapura masuk kawasan tersebut, yang bernama Gapura Gading. Inti dari kisah yang dituturkan Pak Jamin bukanlah tentang citarasa Soto Gading, tapi justru tentang minuman pendampingnya, yaitu es teh. Ketika itu, Pak Jamin bercerita dengan semangat, dan berkata dalam Bahasa Jawa, kira-kira seperti ini:
Saya ini, kalau pas makan di Soto ngGading Solo, pasti habis es teh sebanyak dua gelas. Es tehnya enak sekali pokoknya..”
Berawal dari kalimat itulah, kemudian Pak Jamin bercerita betapa beliau sangat menggemari es teh Soto Gading Solo. Ternyata kegemaran meminum es teh tersebut tidak hanya berhenti menjadi sekadar menggemari. Pak Jamin justru penasaran, bagaimana es teh kok bisa seenak itu. Karena dirasa es teh tersebut sungguh nikmat, Pak Jamin mempunyai keinginan untuk bisa mengonsumsinya setiap saat di rumah, daripada harus menempuh jarak Purwodadi – Solo sejauh 60 km untuk menikmatinya. Maka, Pak Jamin memutuskan untuk mencari berbagai merk teh yang beredar di Purwodadi. Dan alhamdulillah, (JENG JENG!! *backsound lagu Jump – Van Halen*) rasa senikmat es teh Soto Gading tetap belum bisa disamai oleh beberapa merk teh yang dibeli Pak Jamin. Pak Jamin pun sebal. Hiks.
Pencarian berbagai merk teh tetap diteruskan sampai beberapa lama, namun tetap saja rasa es teh Soto Gading belum bisa disamai. Pak Jamin terus berusaha, bahkan sampai bertanya secara langsung kepada pengelola Soto Gading. Namun, pengelola tersebut keberatan untuk membocorkannya kepada Pak Jamin. Sambil terus berusaha mencari pelbagai merk teh, Pak Jamin tetap mencari informasi ke pengelola Soto Gading tanpa putus asa.
Sampai pada suatu saat, ketika Pak Jamin pulang dari mengajar dan mengurus rumah makan. Beliau merebus air panas untuk membuat teh. Maka dituangkanlah teh panas tersebut di gelas dan langsung dicemplungi es batu, dalam keadaan teh masih sangat panas. Lalu, ditutuplah gelas tersebut. Karena masih lelah usai beraktivitas, teh ditinggal leyeh-leyeh dengan begitu saja. Setelah puas rehat barang sebentar, dibukalah gelas teh tadi, diseruputlah pelan-pelan, dan seketika Pak Jamin (sangat mungkin) berujar: “Waiki!!! Iki sing tak goleki!!! HUWOW!! (Ini!!! Inilah yang saya cari!!! –Jawa) *terdengar lagu We Are The Champion – Queen di kejauhan..*
Pencarian Pak Jamin setelah sekian lama terjawab sudah. Bahwa ternyata teknik pembuatan es teh Soto Gading adalah seperti yang dilakukan Pak Jamin. Meski Pak Jamin mendapatkannya secara tak sengaja. Namun teknik sederhana tersebut didapat dalam waktu yang tidak sebentar dan melalui beraneka cara dan usaha. Singkat cerita, Pak Jamin akhirnya juga mendapat info dari pengelola Soto Gading bahwa merk teh yang digunakan adalah merk tertentu dengan seri tertentu. Semakin sempurnalah penemuan Pak Jamin. Beliau bisa menikmati es teh dengan citarasa es teh Soto Gading setiap saat. Bahkan konon, akhirnya resep es teh tersebut juga diaplikasikan ke Rumah Makan Noroyono milik beliau. FYI, jika kawan berkunjung ke Purwodadi, silakan mencoba menu ayam bakar dan goreng di Rumah Makan Noroyono yang terletak di Jl. R. Suprapto Purwodadi (samping Utara Masjid Simpang Lima Purwodadi) atau di Jl. Gadjah Mada Kec. Wirosari Grobogan (21 km arah Timur Purwodadi). Saya jamin rasa ayam goreng dan bakarnya jos dan lheb godheg.. :9
Baiklah, mari sekarang beranjak ke fragmen cerita kedua di tulisan ini. Tentang Kisah mBabarsari. mBabarsari adalah sebuah nama jalan di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terletak tak jauh dari fly over Janti, yaitu di sebelah Timurnya. Kawasan yang cukup tenar di Yogya. Di jalan tersebut juga terdapat beberapa tempat penting, semacam Kampus Universitas Atmajaya, Sekolah Tinggi Nuklir, STT Nasional, Hotel Sahid dan warung nasi kuning yang sungguh tersohor itu.
Kisah ini berawal dari kunjungan saya dan beberapa kawan SMA saya ke Yogyakarta di bulan April tahun 2006. Untuk suatu keperluan, kami pergi dengan menggunakan bus umum. Hari itu Hari Jumat. Berangkat dari Purwodadi sekitar pukul 08.00 WIB pagi dan tiba di Terminal Tirtonadi Solo sekitar pukul 11.00 WIB. Oh iya, ketika itu saya juga bersama pacar saya (dan kami baru jadian sekitar seminggu.. #ihiiir #kiw #kiw) dan harus berpisah dengannya di terminal tersebut karena dia dijemput oleh kakaknya.. #penting (terdengar sayup-sayup lagu Terminal Tirtonadi – Didi Kempot di kejauhan).
Setelah transit di Tirtonadi, kami meneruskan perjalanan dengan bus umum jurusan Solo – Yogya. Tibalah kami di Yogya pukul 14.00 WIB. Kami turun di seberang jalan mBabarsari. Sebenarnya sih Jl. Babarsari tanpa “m”, pengucapan dengan awalan “m” menjadi mBabarsari adalah khas lidah Jowo, seperti ungkapan lain semacam “Yuk dolan ke mBali, yuk mbalik ke mBogor mbla..mbla..mbla..mbla”Gitu deh. Dari ujung Jl. mBabarsari, kami berjalan kaki sekitar setengah kilo menuju ke rumah eyangnya kawanku, Legowo (Hae, Legowo, saiki kowe ning endi, Le? Terakhir ia di mBandung, lulus dari STT Telkom, dan kami lose contact walau tetap berteman di Facebook).
Kami transit di rumah eyangnya Legowo untuk sholat ashar dan rehat sebentar. Setelah itu kami bersiap. (Saya masih ingat, ketika itu saya mengenakan t-shirt warna hijau, dan t-shirt itu sampai sekarang masih saya pakai untuk tidur.. #penting #banget). Setelah siap, kami berjalan kaki sambil menggendong tas yang cukup berat karena berisi baju untuk menginap dua/tiga malam di Yogya. Kami berjalan menuju pojok Janti untuk menunggu mobil jemputan. Setelah selesai acara, pada hari Senin kami pulang.
Itu adalah kunjungan terakhir saya yang terakhir ke Yogya, sebelum kuliah di mBogor sampai tahun 2010 dan sebelum akhirnya berkarya di kota nan berhati nyaman ini. Saya sama sekali tak pernah ke Yogya mulai dari April 2006 sampai kemudian di akhir 2010 saya kembali ke sana, sampai sekarang. Nah, karena saya dalam posisi bertempat tinggal tak jauh dari Jl. mBabarsari (tempat tinggal saya sekarang menuju mBabarsari hanya membutuhkan waktu sekitar 3 menit), maka suatu saat di awal tinggal di Yogya, atau Sleman tepatnya, saya tiba-tiba teringat bahwa sedikit fase hidup saya pernah terukir di mBabarsari. 
Maka, saya putuskan untuk menuju mBabarsari untuk mencari rumah eyangnya Legowo, dimana pada tahun 2006 saya pernah menginap. Tetapi tetap tak saya ketemukan. Mulai dengan bersepeda motor atau dengan sepeda kayuh ketika saya olahraga, saya selalu menengok ke arah Timur, dimana gang kecil rumah eyangnya Legowo berada. Kembali lagi, saya gagal untuk mendapatkannya. Itu tak hanya berlangsung sekali atau dua kali, namun sampai berkali-kali, mungkin puluhan kali (atau ratusan? Hah..yo embuh...). Dengan saya sengaja khusus untuk mencari tempat itu, atau secara tak sengaja ketika lewat Jl. mBabarsari, leher saya secara otomatis menoleh ke arah Timur untuk mencari gang itu. Tapi tetap saja, nihil. Bahkan sempat terpikir jangan-jangan rumah eyangnya Legowo sudah digusur dan berganti menjadi bangunan baru. Sampai kemudian saya letih, tak bergairah, frustasi, berusaha melupakannya sama sekali dan berniat segera menghapusnya dari kenangan hidupku. Halah..
Tetapi, belum lama ini, ketika saya melewati Jl. mBabarsari untuk suatu keperluan, sesuatu terjadi di luar kendali saya. Tanpa sama sekali saya rencanakan. Saya berkendara dari arah Utara menuju arah Selatan. Namun, sampai setelah tikungan STT Nasional, di tengah jalan telah teronggok beberapa unit alat berat yang sedang melakukan perbaikan jalan. Automaticly, otak saya berputar untuk mencari jalan alternatif agar saya tetap bisa meneruskan perjalanan ke arah Selatan. Akhirnya saya putuskan untuk nginthil kendaraan-kendaraan di depan saya. Saya ikuti kemana arah putaran roda ini mengarah. Ketika sampai di tengah gang jalan alternatif, saya galau, saya bimbang, saya seperti terjatuh tak bisa bangkit lagi dan tersesat tak tahu arah jalan pulang, aku tanpamu butiran debu.. (lhah?). Sambil terus mengikuti sepeda motor di depan saya, akhirnya saya memutuskan untuk belok kanan ke sebuah gang kecil. Tanpa berdasar apapun, hanya spekulasi, hanya iseng, hanya ikuti kata hati, tanpa pengetahuan geografis yang memadai, tanpa GPS Garmin, tanpa Google Maps, Tanpa Nokia Maps, tanpa Apple Maps, bahkan saya tak tahu dimana gang kecil itu bermuara, saya tetap jalan terus, entah apapun yang terjadi nanti di depan sana. Tahukah kau apa yang terjadi, kawan? *drum roll*
Saya memutuskan untuk terus memasuki gang itu, dan ketika sampai di tengah gang *JENG-JENG!!* saya pun menoleh ke sebelah kanan, dan itulah RUMAH EYANGNYA LEGOWO YANG KUCARI selama sekitar 1,5 tahun belakangan ini!! Sekonyong, badan machoku bergetar, aku speechless, aku tak berdaya, aku tak percaya, unbelievable dan aku pun salto (ya, ini dramatisasi). Tapi percayalah, kawan, saya senang luar biasa saat itu. Tempat yang sekian lama kucari akhirnya saya temukan dengan cara yang sama sekali tak kuduga. Tempat dimana kisah hidupku dulu pernah tertulis, akhirnya bisa kusaksikan kembali. Senang sekali hati ini. Lalala yeyeye. Bukan masalah hal apa yang kutemukan, tapi ini masalah keinginan yang sekian lama diusahakan dan akhirnya mendapat hasil. Dan cara tercapainya sama sekali tak terduga, surprising pokoknya! Sepektakuler, sodara-sodara!
Setelah merasakan dua peristiwa fenomenal dan unforgettable di atas, maka izinkan saya untuk menarik ibrah atau pelajaran yang kiranya dapat menjadi wacana spiritual dalam hidup yang fana ini.. (ngok!). Jadi, dua kisah di atas dapat ditarik kesimpulan dan dapat dijadikan bukti bahwa Tuhan tak pernah tak mencatat segala amalan makhluknya, sekecil amalan apapun itu. Sebagai bukti bahwa Gusti Allah ora sare (Tuhan tidak tidur). Dia selalu tahu apa yang terbaik buat makhluknya. Terbaik ini terkait dengan proses dan momentum terjadinya hasil dari proses tersebut. Saya beri ilustrasi terkait momentum tersebut. Begini, misal saja ketika pertama kali saya tinggal di Yogya, lalu mencari rumah eyangnya Legowo, dan seketika itu juga langsung menemukannya, tanpa usaha, tanpa pencarian yang berarti, tentu saya tak akan merasakan sensasi hebat ketika dengan tanpa saya duga tiba-tiba saya “tersesat” di jalan alternatif, tetapi justru sebenarnya Tuhan sedang “menggiring” saya ke tempat yang telah lama saya cari. Begitu pun ketika Pak Jamin akhirnya mendapat teknik membuat es teh yang sama dengan es teh Soto Gading dengan cara yang benar-benar tak terduga cara dan waktu tercapainya. Begitulah, Tuhan memang terkadang seneng ngajak guyon dengan caraNya sendiri.. J
Dua kisah di atas juga bukti kalimat “semua indah pada waktunya” itu benar-benar tak pernah menjadi ungkapan yang klise. Ungkapan itu akan selalu relevan dengan konteks jaman dan peristiwa apapun. Di dua kisah di atas, juga terselip hikmah bahwa memang kita hanya diperintahkan oleh Tuhan untuk berusaha dan berusaha. Masalah hasil adalah murni ranahNYA. Kita seolah dilarang untuk masuk ke wilayah “hasil”. Karena Tuhan tak pernah mau diintervensi terkait itu. Tuhan tak suka didului. Tuhan hanya mau kita bergerak dan bergerak untuk menjemput hasil yang kita tunggu-tunggu. Percayalah, Tuhan sudah menyiapkan secara detil dan indah sesuatu akan tercapai dengan eloknya. Masalah dimana dan kapan hasil dari usaha itu kita dapatkan, itu urusanNYA. Karena memang kita akan mendapat hasil pada waktu yang akan membuat kita lebih bahagia, daripada ketika misalnya hasil itu kita dapatkan saat kita inginkan dulu. Itu. Salam puser!

NB: Jika Pak Jamin atau seseorang yang mengenal beliau membaca tulisan ini, mohon jika ada kekeliruan alur cerita terkait “es teh Soto Gading”, dengan kerendahan hati kami mohon untuk dikoreksi. Karena sangat mungkin alur cerita yang saya ungkapkan di atas terdapat kekeliruan karena keterbatasan ingatan saya. Matur nuwun.. J






10 komentar:

  1. Aku jadi penasaran dengan citarasa es teh Soto Gading itu Yan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hih! Mosok komenne mung ngono thok. Gak kreatip. #RyanAnakYangTakTahuTerimaKasih
      Ayo Mbake dolan Solo terus nyeruput es teh itu.. :))
      Mamacih.. ^.^

      Hapus
  2. Kali Perdana buka dan baca blog-nya Kang Mas Ryan Perdana.. dan rasanya langsung jatuh cinta sama tulisannya..tulisannya eaaa...bukan orangnya..hidung indahnya..apalagi badan machonya.. #dijelasin

    keren loh kaka asprakku ini tulisannya, jadi refleksi buat ku juga setahun belakangan ini. Kekeuh mengejar sesuatu, cari sana-sini kok ya ngga dapet2.. yaudahlah pasrah ajah.. gak lama ternyata dikasih yang kita mau, jauh lebih baik malahan.. #CurhatBuk

    "memang kita hanya diperintahkan oleh Tuhan untuk berusaha dan berusaha. Masalah hasil adalah murni ranahNYA" :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh.. eh.. ah.. gimana ya.. *sisiran dulu*

      Jiye jatuh cinta jiye. FYI aja Ira, jatuh cinta biasanya dimulai dari tulisannya dulu lho. Inget jaman dulu kan ortu kita pacarannya aja lewat surat-surattan. Yah jaman sekarang kan bisa lewat blog kan? #dibahas

      By the way, mamacih ya Ira sudah rela mampir ke sini dan sudi menorehkan goresan komen. Aku senang sekali.. *kedip-kedip* *diculek*

      Eh jangan lupa, masih ada enam tulisan lain lho. Mampir ya.. *promosi teteup*

      Hapus
  3. Dahsyaatttt!!!

    Menarik... Aku senyum senyum sendiri bacanya.

    Lucu ceritanya, dalem ibrahnya, aneh penulisnya.

    Salam blogger durjana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lalala yeyeye.
      Makasih Wina. Semoga amal kebaikanmu rela komen di sini segera dibales dengan membanjirnya komen di blog-mu MUAHAHAHA

      Hapus
  4. Terima kasih atas tulisan yang sarat makna,,,hihihihi
    Jadi penasaran pengen bikin teh ala soto gading,,,
    Anyway, terima kasih sudah meyakinkan saya bahwa semua itu indah pada waktunya,,,

    Salam terhangat ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam hangat terdahsyat untuk seluruh keluarga Indonesia.
      Makasih dek. Semoga aku selalu bergairah menulis. Syalalalala...

      Hapus
  5. aduuuhhh pak jamin , guru semasa sma .
    jadi kangen cckckc .
    mas angkatan tahun brapaaa??

    BalasHapus
  6. Saya sahabat lama anak bungsunya Pak Jamin, sahabat saya itu memang sering cerita kalau dia sekeluarga suka makan di soto gading. Tapi saya ga nyangka kalau Pak Jamin gemar sekali sama es tehnya, cukup unik :D btw saya SMA di daerah Babarsari juga :D

    BalasHapus