Senin, 04 Februari 2013

Berhenti dan Nikmati

(sumber gambar: kekunoan.com)

Seringkali tersisihkan dan tak teracuhkan oleh kita, bahwa di sekeliling kita terdapat sosok-sosok tangguh. Ketangguhan itu tersamarkan oleh pakaian lusuh dan ekspresi kelelahan yang sukar tertutupi. Mereka itu adalah pejuang kehidupan. Kehidupan mereka sendiri dan orang-orang yang mereka hidupi.
Banyak yang menyebut mereka sebagai orang kecil, orang miskin, rakyat jelata atau sebutan-sebutan lain yang sekiranya pantas merepresentasikan  penampakan dan penampilan mereka. Mereka inilah yang sehari-hari dapat kita lihat di tepi-tepi jalan mendirikan lapak sederhana (jika tak boleh dikatakan lapak yang sangat tak bagus), mereka yang sehari-hari mengayuh sepeda bututnya, mereka yang berjalan berpuluh kilo untuk menjajakan dagangannya
Pun mereka yang dengan (maaf) kekurangan kelengkapan organ tubuhnya masih tak lelah berjuang demi kehidupan. Pernah saya menyaksikan dengan mata (indah dan tajam #huek) kepala saya sendiri, yaitu seorang lelaki paruh baya, dengan kaki yang tak lengkap. Arti tak lengkap di sini tubuhnya hanya ditopang dengan satu kaki dengan bantuan kruk. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, lelaki tersebut setiap hari mencari nafkah dengan menjadi tukang parkir. Tentu saja jelas kita ketahui bahwa pekerjaan tukang parkir membutuhkan kecekatan dan kejelian untuk mengatur posisi kendaraan. Namun dengan keterbatasan itu, lelaki itu tetap menjalaninya dengan baik. Bapak tukang parkir itu masih bisa dijumpai di halaman salah satu toko di Jl. Adi Sucipto Sleman. Lelaki hebat.
Saya termasuk jenis remaja (remaja sepuh tepatnya) yang akan dengan mudahnya keluar sisi melankolisnya jika melihat sosok-sosok seperti yang  diungkap di atas. Sisi cengeng saya akan segera mengudara dan merajalela. Saya akan sangat bahagia jika melihat suatu warung kecil di pinggir jalan ramai dikunjungi pembeli. Sebaliknya, jika saya melihat warung kecil (dan sangat sederhana) sepi pembeli, hati saya teriris pilu, Sodara-SodaraCiyus. Walau saya menggemari musik rock semacam Metallica, Led Zeppelin, Queen dan sebagainya, tapi sesungguhnya hati saya berwarna pink. Nonton film India saja ikut njoged.. (opo hubungane?)
Oleh para "orang kecil", panas hujan tak mereka gubris. Tak ada istilahnya “nggak mood” untuk menjalani hidup hari ini. Fighting spirit mereka terjaga dengan baik. Baiklah, mungkin mereka melakukan itu dengan terpaksa. Tapi ini bukan tentang keterpaksaan. Terlepas dari terpaksa atau tidak, yang jelas mereka tetap berkarya.
Teramatikah oleh kawan semua, bahwa di tepi-tepi jalan protokol di kota besar terselip lapak-lapak kotor, sangat sederhana dan kecil. Teramatikah oleh kawan di Sleman bahwa di depan Kampus UPN terdapat lapak kecil tukang reparasi sepatu? Teramatikah oleh kawan di Semarang bahwa di tepi jalan kawasan Penggaron terdapat lapak kecil penjual buah musiman? Teramatikah kawan di Jakarta, bahwa di separator lajur jalan Sudirman duduk seorang pedagang yang menjajakan tahu sumedang? Terpantaukah oleh pengguna jalan di pinggiran Grobogan bahwa tiap malam terdapat lelaki-lelaki pencari kodok dengan lampu rakitan yang terpasang di keningnya?
Yang sering terpikir oleh saya adalah, dengan kerja keras dan beratnya perjuangan, apakah mereka menerima hasil yang setimpal. Tetapi saya juga sering mengamati bahwa di wajah mereka tetap saja tersungging senyum ceria dan wajah optimis. Saya lega melihatnya. Tak mustahil justru mereka lebih bahagia dari mereka yang kemana-mana mengendarai mobil mewah dan menenteng gadget terbaru. Kata orang Jawa, urip iku wang-sinawang. Hidup itu tak seperti yang terlihat dari luar.
Ukuran kebahagiaan memang sungguh relatif. Saya asumsikan pengakses tulisan ini adalah kawan yang berasal dari kaum berada. Karena jelas mampu mengakses internet dan urusan makanan sudah tak menjadi beban lagi. Begini, setiap hari kawan pembaca pastilah dengan mudah membeli makanan dengan hanya mengambil uang dari dompet tanpa harus bersusah payah. Setiap hari kawan tinggal mengakses di aplikasi mobile banking untuk membeli pulsa. Kemanapun pergi tinggal menghidupkan motor dan mobil. Piranti komunikasi yang sebenarnya masih baik dan berfungsi normal pun dicampakkan dan beralih ke seri terbaru, hanya demi kepentingan gaya dalam pergaulan.
Sangat mungkin lho, "orang kecil" justru lebih bahagia daripada kaum berada dan berkecukupan. Karena kebahagiaan memang memiliki standar yang berbeda-beda. Dan "orang kecil" niscaya memiliki standar kebahagiaan yang lebih sederhana dari kaum berada. Mereka yang serba kekurangan akan menyambut makan sebagai ritual yang sungguh membahagiakan. Ritual yang sungguh nikmat. Acara yang sedemikian ditunggu-tunggu kedatangannya. Karena memerlukan perjuangan yang tidak ringan. Dengan berjalan kaki dan berpeluh sampai dleweran. Sedangkan kita, bahkan makanan sering dibuang-buang. Klewo-klewo dan mubadzir. Betapa nistanya kita (kita? lu aja kali, yan.. )
Kita dengan mudahnya membeli makanan, bahkan bisa sesuai keinginan kita dengan variasi jenis menu dan harga. Syukur pun acapkali lupa terselip di hati, bahkan hanya untuk terucap. Ah, betapa sungguh durjana..
Kita yang (alhamdulillah) serba cukup, seringkali memasang standar yang tinggi untuk mencapai makna kebahagiaan. Dalam perjalanan mencapai "kebahagiaan" itu, jelas sekali akan banyak terlewat hal sederhana yang sebenarnya di sana terkandung kebahagiaan hakiki. Kita lupa bahwa makan nasi kucing di angkringan dan bercengkerama bersama teman-teman itu ekuivalen dengan kebahagiaan itu sendiri. Tapi kebahagiaan menjadi sirna jika dalam berkumpul bersama kawan tersebut kita malah memikirkan: “Kapan ya bisa punya pacar secantik pacar si Darno itu?”. Analoginya begitu. Dong opo ora?
Kita seringkali melewatkan kesempatan untuk bahagia karena kita tak pernah meluangkan waktu untuk “berhenti” sejenak, saat ini, di titik ini, untuk mencoba menelisik kebahagiaan yang tersimpan di "fase ini.” Alih-alih kita justru menginginkan, mencari, tak berhenti memikirkan dan menggapai yang belum tersaji di depan kita. Kalau begitu, njuk kapan kita bisa bahagia? #selfnote
Naik sepeda Polygon tak ternikmati karena sudah menginginkan sepeda merk Scott. Memiliki BlackBerry Onyx belum teroptimalkan fungsinya sudah kepincut Xperia Z. Naik Supra X belum ternikmati karena sudah iri dengan tetangga yang baru beli V-Ixion. Punya Gran Max belum merasakan kenyamanannya sudah ngeces lihat Outlander. Punya kekasih mirip Artika Sari Devi tak bersyukur, sudah tergoda dengan mahasiswi montok seperti Rahma Azhari. Gitu terus. Tak ada berhentinya.
Bahagia itu pilihan. Ryan keren itu keniscayaan.. *digajul*
Oke, bye..



9 komentar:

  1. Ciptakan kebahagiaanmu menurut caramu sendiri. Sedikit rekayasa pun tak apa. (Quote angkring) hahaha.. Maju terus dek, pancal! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Quote yang sungguh laaaaar biasa, Mas. Mari kita memancalkan sinar aura positif diri kita. Oh itu memencarkan ding... #krik #krik

      Hapus
  2. Aku pernah jumpa seorang ibu yang menjadi buruh cuci. Dan beliau bilang gini: 'saya tau Tuhan sayang sama saya, saya dikasih badan yg sehat sehingga saya bisa bekerja jadi buruh cuci, bukannya ngemis-ngemis. Dikasih kesempatan makan 3 kali sehari, walaupun cuma lauk tempe dan seadanya, saya udh bagahia banget, mba. Syukur alhamdulillah'.. That time, I felt like a big hand was slap me on face. Pikirku: 'njir, ini gw kemana aja sampe lupa mensyukuri nafas yg masih bs dihirup hari ini? Makanan yg masih bs di makan hari ini? Kesehatan yg masih diberi hari ini?'.. Pernah juga beli jambu biji di bapak yg jualan keliling, 3rb dapet 6 buah. Lalu aku ksh uang 10rb, dan kubilang kembaliannya buat bapak saja, tp si bapak kekeuh ksh 14 buah jambu bijinya, alih-alih ngambil gitu aja uang kembalian 7rbku. Mereka itu orang-orang hebat.. :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sungguh komentar yang juooos. Bahkan berpotensi untuk dibuat tulisan tersendiri. hihihihi. makasih Indah. sangat inspiratif.. :)

      Hapus
  3. kalo kata bapak2 di tempat magang...,"bahagia itu kita yang menentukan dan merasakan...,bukan orang lain..., jadi lakukan apa yang menurutmu bisa membuat mu bahagia kelak...,asal tidak melanggar norma2 yang sudah ada le"...,ngomong2 tambah dewasa aja ni tulisan hahaha

    BalasHapus