Belum lama ini, saya, kakak dan
kawan-kawan lain terlibat dalam suatu diskusi ngalor-ngidul tak
tentu arah. Hingga kemudian mata kami tertuju pada sepeda motor jenis automatic yang
terparkir di depan teras tempat kami berbincang. Mulai dari sanalah, bola
diskusi bergulir.
Entah siapa yang memulainya,
tiba-tiba tercetus ungkapan bahwa sepeda motor matic itu
adalah salah satu derivat dari suatu sebutan maha penting di kehidupan kita
yaitu teknologi. Tersampaikan di obrolan itu pula bahwa sepeda motor matic memiliki
tingkat kesulitan dua tingkat di bawah sepeda motor berkopling dan satu tingkat
di bawah sepeda motor bertransmisi manual tanpa kopling. Maksudnya, ketika kita
mengendarai sepeda motor berkopling, fisik dan konsentrasi kita diharuskan
untuk berkoordinasi untuk menyelaraskan jalannya sepeda motor dengan menarik
tuas kopling, menginjak pedal transmisi dan mengatur bukaan gas. Kemudian, jika
kita mengendarai sepeda motor bertransmisi manual tanpa kopling, kita sebagai
pengendara hanya diharuskan mengkoordinasikan injakan pada pedal transmisi dan
bukaan gas. Artinya tingkat kesulitan berada satu tingkat di bawah sepeda motor
berkopling.
Mari kita bergeser ke sepeda
motor matic. Sepeda motor matic hanya mensyaratkan kita untuk
mengatur bukaan gas dan weeeerrrrr, sepeda motor meluncur kemana
arah hati kita menuju. Mudah sekali bukan. Kita laksana menaiki setrika
bermesin. Mondar-mandir kesana-kemari dengan usaha yang sangat minim (kecuali
belinya kredit.. #lho?). Yup, sepeda motor matic identik
dengan kemudahan dalam mengoperasionalkan. Dari keyword “kemudahan”
itulah akhirnya ada salah satu kawan yang berucap bahwa “kemudahan itu identik
dengan kemalasan.” Tapi, opo iyo? Nah, korelasi antara
kemudahan dan kemalasan inilah yang membuat obrolan menjadi gayeng bahkan
sampai lupa bayar utang bakwan di angkringan Pak Ratman. Tapi tak sampai lupa
kamu kok, Sayangku.. (tarakdungcessss..~)
Mari kita kaji korelasi antara
teknologi, kemudahan dan kemalasan. Teknologi adalah suatu terminologi yang
mustahil kawan sekalian belum pernah mendengarnya. Pun sepertinya telah menjadi
aksioma, bahwa teknologi diciptakan untuk memudahkan segala urusan dan kegiatan
manusia. Namun, di kesempatan kali ini mari coba kita bahas teknologi dari
sudut pandang kebalikannya, yaitu bahwa teknologi tak selamanya membawa
kemaslahatan bagi kehidupan.
Uraian di atas tentang sepeda
motor matic merupakan suatu pijakan awal dari bahasan kita
kali ini. Dari uraian di atas akhirnya muncul tiga kata kunci yaitu teknologi,
kemudahan dan kemalasan. Jika kita formulasikan menjadi satu kalimat, maka akan
berbunyi: “Apakah teknologi yang pada awalnya bertujuan mempermudah justru
menyebabkan kemalasan penggunanya?” Kira-kira seperti itulah. Mbulet ya?
Ya udah pokokmen seperti itu.. :O
Mari kita urai bersama contoh dalam
kehidupan kita sehari-hari dalam pengaplikasian teknologi yang (sepertinya)
justru kontraproduktif dengan tujuan awal ditemukannya teknologi. Contoh
pertama yaitu, Mbah Darno dulu ketika kuliah, untuk mencari referensi tugas dan
skripsinya mengharuskan beliau untuk pergi ke perpustakaan kampus atau perpustakaan
milik daerah. Bahkan sampai meminjam dan mencari buku di loakan.
Perjuangan dalam bentuk aktivitas fisik dibutuhkan untuk mencari bahan-bahan
kuliah.
Sampai pada ditemukannya internet.
Siswa dan mahasiswa tinggal mengetuk keyboard di komputernya,
hanya dari bilik kamarnya, lalu dalam waktu sepersekian detik, bahan-bahan
keilmuan yang diinginkannya terpampang di depan mata dengan segera. Betapa
mudahnya. Betapa cepatnya.
Contoh kedua, baiklah ijinkan saya
untuk bercerita tentang diri saya pribadi. Saya suka sekali bermain gitar.
Walau tentu saja dengan skill yang sangat terbatas dan akan
sangat memalukan jika ditampilkan di muka umum. Yah kira-kira skill saya
tak begitu jauhlah jika dibandingkan Ritchie Blackmore (halah).
Dulu, ketika saya SMP dan SMA,
internet belumlah lazim seperti sekarang ini. Walau saya tinggal di Megapolitan
Purwodadi, ketika itu internet masih suatu hal yang langka. Memang Purwodadi
sebuah megapolitan yang lain daripada megapolitan lainnya (hiks). Nah,
ketika itu, setiap ada lagu baru dan kebetulan saya suka, saya selalu luangkan
waktu untuk mencari sendiri chord-chord gitar dan kemudian
menghafalkannya.
Semua berubah ketika saya kuliah dan
mulai terdedah internet di Bogor sana. Setiap ada lagu menarik, saya tak pernah
lagi mencari sendiri chord lagu. Saya lebih memilih untuk
beranjak ke warnet, sebelum akhirnya memiliki modem sendiri untuk mengakses
internet dan kemudian mencari chord-chord lagu yang saya
inginkan. Alhasil, saya menjadi malas mencari chord lagu lagi,
dan lebih mengandalkan jasa mesin pencarian di internet. Belakangan, saya
akhirnya membandingkan, bahwa memori otak saya ternyata menyimpan ingatan chord lagu
dengan lebih kuat ketika dulu saya mencari chord lagu tersebut tanpa pertolongan
instan internet.
Contoh ketiga; dulu kala, Budhe
Darnowati selalu bersemangat membeli kartu ucapan untuk menyambut datangnya
hari raya lebaran. Itu semata-mata ia lakukan untuk menyambung tali silaturahim
dengan sanak saudara yang tinggal nun jauh di ujung pulau sana. Setiap nama
saudara yang dikirim, ditulis dengan tangannya sendiri. Satu per satu tanpa
terlewat. Dengan penuh rindu dan rasa takzim mendalam. Sebelum kemudian
dikirimkan melalui kantor pos.
Zaman berubah. Adalah si Parjiman,
anak gaul Sleman yang hidup di era informatika. Parjiman bahkan mungkin tak
pernah mengenal, apalagi melihat benda bernama kartu lebaran. Ketika lebaran
datang, hal yang dilakukannya adalah mengisi BlackBerry Internet
Service paket Gaul. Semua nama di contact list BlackBerry
Messenger ia kirim ucapan selamat lebaran dengan fitur broadcast
message. Dengan spesifikasi ucapan yang otomatis SERAGAM, TANPA NAMA YANG
DITUJU, tanpa “sentuhan rasa” dan tanpa harus susah-susah mengayuh sepeda ke
kantor pos. Mudah dan tak berkeringat. Tapi tak ada feel yang
disisipkan di jenis komunikasi virtual itu. Serba instan dan “gersang.”
Ketiga contoh di atas saya rasa
cukup representatif untuk mendeskripsikan kemana arah dari tulisan ini
bermuara. Ya, begitulah ekses yang diberikan oleh teknologi yang identik dengan
kemudahan. Tapi apakah itu serta merta korelatif dengan kemalasan?
Teknologi telah mengubah alur
kehidupan kita sedemikian rupa. Pada satu sisi, teknologi memang sangatlah
mempermudah, tapi di sisi lain teknologi menimbulkan ketergantungan. Manusia
menjadi terdikte dengan kehadirannya. Namun, sejatinya teknologi yang dibahas di
tulisan ini sebaiknya juga dibatasi, atau dibuat definisi operasionalnya. Agar
maksud tulisan ini menjadi tak kabur dan tercipta kesepahaman.
Baiklah, teknologi sebenarnya suatu
terminologi yang demikian luas makna dan lingkupnya. Untuk kali ini akan saya
batasi bahwa teknologi yang menjadi ruh tulisan ini adalah teknologi sebagai
produk budaya manusia modern. Nah, batas masa modern dan kuno oleh
beberapa kalangan ilmuwan adalah munculnya jaman revolusi industri yang
ditandai dengan ditemukannya mesin uap (walau sebenarnya batasan ini masih
diperdebatkan). James Watt telah menancapkan bendera perubahan pada budaya
manusia secara masif. Mulai dari zaman itu, tenaga kerja manusia perlahan mulai
digantikan dengan tenaga mesin. Untuk kemudian perubahan itu memiliki efek
domino yang luar biasa dengan berbagai penemuan-penemuan lain yang sampai detik
ini masih kita rasakan bersama pengaruh dan faedahnya.
Jadi, teknologi di tulisan ini pada
intinya adalah berupa produk jaman pasca-revolusi industri. Yang di dalamnya
terdapat kereta api uap, lampu pijar, motor, mobil sampai kepada computer,
handphone, internet dan kawan-kawan. Itulah batasan “teknologi” di tulisan
ini. Deal? *salaman*
Kembali kepada bahasan tentang
teknologi, kemudahan dan kemalasan. Apakah benar teknologi yang memudahkan pada
gilirannya akan membuat kita menjadi malas? Saya rasa pertanyaan itu tak bisa
dengan mudah untuk dijawab. Pertanyaan itu bukanlah yes no question.
Karena akan membutuhkan banyak sekali variable di dalamnya.
Jawabannya akan sangat bias, subjektif dan kasuistis. Pertanyaan yang akan
memunculkan jawaban yang debatable.
Merujuk kepada tiga contoh yang
telah dipaparkan di atas, kiranya kawan sekalian bisa menarik konklusi sendiri.
Bahwa teknologi pada konteks, situasi dan kondisi tertentu memang memudahkan
dan sekaligus melenakan. Yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa seyogyanya
teknologi tetaplah harus kita jadikan sebagai sarana untuk memudahkan kegiatan
positif dan produktif kita sehari-hari. Jangan sampai teknologi menurunkan dan
bahkan menghilangkan nilai ke-manusiawi-an kita.
Janganlah kita hanya menjadi jasad-jasad
berjalan dengan tatapan mata kosong tak bernyawa hanya karena peran rasa dan
karsa kita telah digantikan oleh produk-produk teknologi. Pada taraf
tertentu screen handphone telah menggantikan kehadiran
rangkulan tangan seorang kawan yang secara jarak berada di dekat kita. Pada
kadar tertentu sepeda motor telah membuat orang berjalan kaki menjadi seseorang
yang sedang melakukan aktivitas tak lazim.
“Kamu tadi ke sini naik apa?” | “Jalan
kaki..” | “Jalan kaki? Bukannya jauh ya?” | “Ah
ngga kok, cuma 1 km ini, sekalian olah raga hehe..” | “Yeee
itu jauh kali, lagian buat apa punya motor?”
Biarlah teknologi terus dan terus
berkembang. Berbagai kemudahan dan kemudahan teruslah terwujud. Tapi janganlah
teknologi melakukan serangan balik kepada manusia sebagai “penciptanya” dengan
membuat kita menjadi robot-robot tanpa rasa.
Obrolan bersama kakak dan kawan sore
itu, akhirnya ditutup dengan kalimat canda bernuansa keputusasaan. Bahwa
teknologi adalah suatu keniscayaan yang tak terbendung lagi kehadirannya ke
segenap kebudayaan manusia. Kalimat celetukan bernada satire itu meluncur
begitu saja: “Yah biarlah teknologi berkembang, asal jangan sampai ada
teknologi yang menggantikan kehadiran istri…”
Menurut Cak Nun, kemudahan berpengaruh pada kesabaran. yng mana ketika kemudahan hilang, orang cenderung untuk marah2 dan kesabarannya diuji.
BalasHapusaku sendiri menambahkan bahwa kemudahan dalam teknologi mempengaruhi kebudayaan. orang jawa mulai mataram kuno hingga mataram pajang dan mataram islam sangat melestarikan budaya Prihatin. namun dengan adanya teknologi2 sekarang, budaya prihatin mulai terkikis...
Aku rasa wacana korelasi antara kemudahan dan kesabaran serta teknologi dan keprihatinan perlu dibuat tulisan tersendiri untuk memperkaya khasanah keilmuan kita. Luar biasa sekali Anda, Cak.. *nyedot samsu*
HapusPertamax daab ! enak dibaca....
BalasHapus"Pada taraf tertentu screen handphone telah menggantikan kehadiran rangkulan tangan seorang kawan yang secara jarak berada di dekat kita", betul sekali.
Dan lebih dari itu, berbagai tindak kejahatan dengan menyalahgunakan kemajuan teknologi pun sangat jamak terjadi. Waspadalah...waspadalah...! *pasang topeng bang napi*
Ini laaaar biasa ini. Teknologi memang durjana kalau yang memakainya adalah sosok yang durjana.. :O
HapusSitimewa, ini sesuatu yg sae. Lanturan tp relevan. Ummm.. Semoga teknologi tdk bnr2 mjd Tuhan baru (krn teknologi jg gak pernah tidur) hehehe.. Ini kurang ajar, aku yes deh :D
BalasHapusSae sae cah bagus. Nasi nopo mie? Ngunjukke nopo?
HapusIya, teknologi itu semacam pisau bermata dua, selain ada pengaruh positif, ada juga pengaruh negatif. Tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya.
BalasHapusTentang teknologi yang membuat malas? Hhhemmmmm ... kembali ke masing-masing orang sih. Kalau aku sebagai pengguna teknologi, prinsinya selagi bisa belajar lewat mbah gugel, ebook, forum online sambil ngopi atau bersantai, kenapa harus repot2 ke perpus yang belum tentu juga materi yang kubutuhkan ada disana. Eh ini semacam bentuk kemalasan gak sih?
Dan kalau untuk mengirim ucapan, walaupun via SMS tapi isinya eksklusif kok, pake nyebut nama dan isi pesan berbeda satu dan lainnya.