Sabtu, 16 Februari 2013

Teknologi dan Kemanusiawian

(sumber gambar: fbi.gov)

Belum lama ini, saya, kakak dan kawan-kawan lain terlibat dalam suatu diskusi ngalor-ngidul tak tentu arah. Hingga kemudian mata kami tertuju pada sepeda motor jenis automatic yang terparkir di depan teras tempat kami berbincang. Mulai dari sanalah, bola diskusi bergulir.
Entah siapa yang memulainya, tiba-tiba tercetus ungkapan bahwa sepeda motor matic itu adalah salah satu derivat dari suatu sebutan maha penting di kehidupan kita yaitu teknologi. Tersampaikan di obrolan itu pula bahwa sepeda motor matic memiliki tingkat kesulitan dua tingkat di bawah sepeda motor berkopling dan satu tingkat di bawah sepeda motor bertransmisi manual tanpa kopling. Maksudnya, ketika kita mengendarai sepeda motor berkopling, fisik dan konsentrasi kita diharuskan untuk berkoordinasi untuk menyelaraskan jalannya sepeda motor dengan menarik tuas kopling, menginjak pedal transmisi dan mengatur bukaan gas. Kemudian, jika kita mengendarai sepeda motor bertransmisi manual tanpa kopling, kita sebagai pengendara hanya diharuskan mengkoordinasikan injakan pada pedal transmisi dan bukaan gas. Artinya tingkat kesulitan berada satu tingkat di bawah sepeda motor berkopling.
Mari kita bergeser ke sepeda motor matic. Sepeda motor matic hanya mensyaratkan kita untuk mengatur bukaan gas dan weeeerrrrr, sepeda motor meluncur kemana arah hati kita menuju. Mudah sekali bukan. Kita laksana menaiki setrika bermesin. Mondar-mandir kesana-kemari dengan usaha yang sangat minim (kecuali belinya kredit.. #lho?). Yup, sepeda motor matic identik dengan kemudahan dalam mengoperasionalkan. Dari keyword “kemudahan” itulah akhirnya ada salah satu kawan yang berucap bahwa “kemudahan itu identik dengan kemalasan.” Tapi, opo iyo? Nah, korelasi antara kemudahan dan kemalasan inilah yang membuat obrolan menjadi gayeng bahkan sampai lupa bayar utang bakwan di angkringan Pak Ratman. Tapi tak sampai lupa kamu kok, Sayangku.. (tarakdungcessss..~)
Mari kita kaji korelasi antara teknologi, kemudahan dan kemalasan. Teknologi adalah suatu terminologi yang mustahil kawan sekalian belum pernah mendengarnya. Pun sepertinya telah menjadi aksioma, bahwa teknologi diciptakan untuk memudahkan segala urusan dan kegiatan manusia. Namun, di kesempatan kali ini mari coba kita bahas teknologi dari sudut pandang kebalikannya, yaitu bahwa teknologi tak selamanya membawa kemaslahatan bagi kehidupan.
Uraian di atas tentang sepeda motor matic merupakan suatu pijakan awal dari bahasan kita kali ini. Dari uraian di atas akhirnya muncul tiga kata kunci yaitu teknologi, kemudahan dan kemalasan. Jika kita formulasikan menjadi satu kalimat, maka akan berbunyi: “Apakah teknologi yang pada awalnya bertujuan mempermudah justru menyebabkan kemalasan penggunanya?” Kira-kira seperti itulah. Mbulet ya? Ya udah pokokmen seperti itu.. :O
Mari kita urai bersama contoh dalam kehidupan kita sehari-hari dalam pengaplikasian teknologi yang (sepertinya) justru kontraproduktif dengan tujuan awal ditemukannya teknologi. Contoh pertama yaitu, Mbah Darno dulu ketika kuliah, untuk mencari referensi tugas dan skripsinya mengharuskan beliau untuk pergi ke perpustakaan kampus atau perpustakaan milik daerah. Bahkan sampai meminjam dan mencari buku di loakan. Perjuangan dalam bentuk aktivitas fisik dibutuhkan untuk mencari bahan-bahan kuliah.
Sampai pada ditemukannya internet. Siswa dan mahasiswa tinggal mengetuk keyboard di komputernya, hanya dari bilik kamarnya, lalu dalam waktu sepersekian detik, bahan-bahan keilmuan yang diinginkannya terpampang di depan mata dengan segera. Betapa mudahnya. Betapa cepatnya. 
Contoh kedua, baiklah ijinkan saya untuk bercerita tentang diri saya pribadi. Saya suka sekali bermain gitar. Walau tentu saja dengan skill yang sangat terbatas dan akan sangat memalukan jika ditampilkan di muka umum. Yah kira-kira skill saya tak begitu jauhlah jika dibandingkan Ritchie Blackmore (halah).
Dulu, ketika saya SMP dan SMA, internet belumlah lazim seperti sekarang ini. Walau saya tinggal di Megapolitan Purwodadi, ketika itu internet masih suatu hal yang langka. Memang Purwodadi sebuah megapolitan yang lain daripada megapolitan lainnya (hiks). Nah, ketika itu, setiap ada lagu baru dan kebetulan saya suka, saya selalu luangkan waktu untuk mencari sendiri chord-chord gitar dan kemudian menghafalkannya.
Semua berubah ketika saya kuliah dan mulai terdedah internet di Bogor sana. Setiap ada lagu menarik, saya tak pernah lagi mencari sendiri chord lagu. Saya lebih memilih untuk beranjak ke warnet, sebelum akhirnya memiliki modem sendiri untuk mengakses internet dan kemudian mencari chord-chord lagu yang saya inginkan. Alhasil, saya menjadi malas mencari chord lagu lagi, dan lebih mengandalkan jasa mesin pencarian di internet. Belakangan, saya akhirnya membandingkan, bahwa memori otak saya ternyata menyimpan ingatan chord lagu dengan lebih kuat ketika dulu saya mencari chord lagu tersebut tanpa pertolongan instan internet.
Contoh ketiga; dulu kala, Budhe Darnowati selalu bersemangat membeli kartu ucapan untuk menyambut datangnya hari raya lebaran. Itu semata-mata ia lakukan untuk menyambung tali silaturahim dengan sanak saudara yang tinggal nun jauh di ujung pulau sana. Setiap nama saudara yang dikirim, ditulis dengan tangannya sendiri. Satu per satu tanpa terlewat. Dengan penuh rindu dan rasa takzim mendalam. Sebelum kemudian dikirimkan melalui kantor pos.
Zaman berubah. Adalah si Parjiman, anak gaul Sleman yang hidup di era informatika. Parjiman bahkan mungkin tak pernah mengenal, apalagi melihat benda bernama kartu lebaran. Ketika lebaran datang, hal yang dilakukannya adalah mengisi BlackBerry Internet Service paket Gaul. Semua nama di contact list BlackBerry Messenger ia kirim ucapan selamat lebaran dengan fitur broadcast message. Dengan spesifikasi ucapan yang otomatis SERAGAM, TANPA NAMA YANG DITUJU, tanpa “sentuhan rasa” dan tanpa harus susah-susah mengayuh sepeda ke kantor pos. Mudah dan tak berkeringat. Tapi tak ada feel yang disisipkan di jenis komunikasi virtual itu. Serba instan dan “gersang.”
Ketiga contoh di atas saya rasa cukup representatif untuk mendeskripsikan kemana arah dari tulisan ini bermuara. Ya, begitulah ekses yang diberikan oleh teknologi yang identik dengan kemudahan. Tapi apakah itu serta merta korelatif dengan kemalasan?
Teknologi telah mengubah alur kehidupan kita sedemikian rupa. Pada satu sisi, teknologi memang sangatlah mempermudah, tapi di sisi lain teknologi menimbulkan ketergantungan. Manusia menjadi terdikte dengan kehadirannya. Namun, sejatinya teknologi yang dibahas di tulisan ini sebaiknya juga dibatasi, atau dibuat definisi operasionalnya. Agar maksud tulisan ini menjadi tak kabur dan tercipta kesepahaman.
Baiklah, teknologi sebenarnya suatu terminologi yang demikian luas makna dan lingkupnya. Untuk kali ini akan saya batasi bahwa teknologi yang menjadi ruh tulisan ini adalah teknologi sebagai produk budaya manusia modern. Nah, batas masa modern dan kuno oleh beberapa kalangan ilmuwan adalah munculnya jaman revolusi industri yang ditandai dengan ditemukannya mesin uap (walau sebenarnya batasan ini masih diperdebatkan). James Watt telah menancapkan bendera perubahan pada budaya manusia secara masif. Mulai dari zaman itu, tenaga kerja manusia perlahan mulai digantikan dengan tenaga mesin. Untuk kemudian perubahan itu memiliki efek domino yang luar biasa dengan berbagai penemuan-penemuan lain yang sampai detik ini masih kita rasakan bersama pengaruh dan faedahnya.
Jadi, teknologi di tulisan ini pada intinya adalah berupa produk jaman pasca-revolusi industri. Yang di dalamnya terdapat kereta api uap, lampu pijar, motor, mobil sampai kepada computer, handphone, internet dan kawan-kawan. Itulah batasan “teknologi” di tulisan ini. Deal? *salaman*
Kembali kepada bahasan tentang teknologi, kemudahan dan kemalasan. Apakah benar teknologi yang memudahkan pada gilirannya akan membuat kita menjadi malas? Saya rasa pertanyaan itu tak bisa dengan mudah untuk dijawab. Pertanyaan itu bukanlah yes no question. Karena akan membutuhkan banyak sekali variable di dalamnya. Jawabannya akan sangat bias, subjektif dan kasuistis. Pertanyaan yang akan memunculkan jawaban yang debatable.
Merujuk kepada tiga contoh yang telah dipaparkan di atas, kiranya kawan sekalian bisa menarik konklusi sendiri. Bahwa teknologi pada konteks, situasi dan kondisi tertentu memang memudahkan dan sekaligus melenakan. Yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa seyogyanya teknologi tetaplah harus kita jadikan sebagai sarana untuk memudahkan kegiatan positif dan produktif kita sehari-hari. Jangan sampai teknologi menurunkan dan bahkan menghilangkan nilai ke-manusiawi-an kita.
Janganlah kita hanya menjadi jasad-jasad berjalan dengan tatapan mata kosong tak bernyawa hanya karena peran rasa dan karsa kita telah digantikan oleh produk-produk teknologi. Pada taraf tertentu screen handphone telah menggantikan kehadiran rangkulan tangan seorang kawan yang secara jarak berada di dekat kita. Pada kadar tertentu sepeda motor telah membuat orang berjalan kaki menjadi seseorang yang sedang melakukan aktivitas tak lazim.
Kamu tadi ke sini naik apa?” | “Jalan kaki..” | “Jalan kaki? Bukannya jauh ya?” “Ah ngga kok, cuma 1 km ini, sekalian olah raga hehe..” | “Yeee itu jauh kali, lagian buat apa punya motor?”
Biarlah teknologi terus dan terus berkembang. Berbagai kemudahan dan kemudahan teruslah terwujud. Tapi janganlah teknologi melakukan serangan balik kepada manusia sebagai “penciptanya” dengan membuat kita menjadi robot-robot tanpa rasa.
Obrolan bersama kakak dan kawan sore itu, akhirnya ditutup dengan kalimat canda bernuansa keputusasaan. Bahwa teknologi adalah suatu keniscayaan yang tak terbendung lagi kehadirannya ke segenap kebudayaan manusia. Kalimat celetukan bernada satire itu meluncur begitu saja: “Yah biarlah teknologi berkembang, asal jangan sampai ada teknologi yang menggantikan kehadiran istri…

7 komentar:

  1. Menurut Cak Nun, kemudahan berpengaruh pada kesabaran. yng mana ketika kemudahan hilang, orang cenderung untuk marah2 dan kesabarannya diuji.
    aku sendiri menambahkan bahwa kemudahan dalam teknologi mempengaruhi kebudayaan. orang jawa mulai mataram kuno hingga mataram pajang dan mataram islam sangat melestarikan budaya Prihatin. namun dengan adanya teknologi2 sekarang, budaya prihatin mulai terkikis...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku rasa wacana korelasi antara kemudahan dan kesabaran serta teknologi dan keprihatinan perlu dibuat tulisan tersendiri untuk memperkaya khasanah keilmuan kita. Luar biasa sekali Anda, Cak.. *nyedot samsu*

      Hapus
  2. Pertamax daab ! enak dibaca....
    "Pada taraf tertentu screen handphone telah menggantikan kehadiran rangkulan tangan seorang kawan yang secara jarak berada di dekat kita", betul sekali.
    Dan lebih dari itu, berbagai tindak kejahatan dengan menyalahgunakan kemajuan teknologi pun sangat jamak terjadi. Waspadalah...waspadalah...! *pasang topeng bang napi*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini laaaar biasa ini. Teknologi memang durjana kalau yang memakainya adalah sosok yang durjana.. :O

      Hapus
  3. Sitimewa, ini sesuatu yg sae. Lanturan tp relevan. Ummm.. Semoga teknologi tdk bnr2 mjd Tuhan baru (krn teknologi jg gak pernah tidur) hehehe.. Ini kurang ajar, aku yes deh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sae sae cah bagus. Nasi nopo mie? Ngunjukke nopo?

      Hapus
  4. Iya, teknologi itu semacam pisau bermata dua, selain ada pengaruh positif, ada juga pengaruh negatif. Tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya.
    Tentang teknologi yang membuat malas? Hhhemmmmm ... kembali ke masing-masing orang sih. Kalau aku sebagai pengguna teknologi, prinsinya selagi bisa belajar lewat mbah gugel, ebook, forum online sambil ngopi atau bersantai, kenapa harus repot2 ke perpus yang belum tentu juga materi yang kubutuhkan ada disana. Eh ini semacam bentuk kemalasan gak sih?
    Dan kalau untuk mengirim ucapan, walaupun via SMS tapi isinya eksklusif kok, pake nyebut nama dan isi pesan berbeda satu dan lainnya.

    BalasHapus