(sumber gambar: holobis.net) |
Seperti beberapa tulisan saya
sebelumnya, tulisan ini lahir diawali dari percakapan santai. Kala itu saat
istirahat dengan kawan-kawan kantor. Beberapa diantara kawan kantor, terdapat
beberapa yang sudah berusia setengah baya. Sekitar usia 40-50 tahun, walau
banyak pula yang masih kinyis-kinyis, seusia saya dan bapak atau
ibu muda.
Percakapan siang itu, entah
bagaimana awal mulanya, tiba-tiba masuk ke dalam bahasan tentang permainan
tradisional. Kawan-kawan kantor mengenang bagaimana masa kecilnya dulu yang
selalu lekat dengan permainan (dolanan) tradisional. Mereka berkata
bahwa hari-harinya selalu dihiasi dengan permainan-permainan yang menyenangkan.
Rata-rata jenis permainan yang dimainkan oleh anak-anak dalam jumlah banyak dan
membutuhkan ruang terbuka untuk memainkannya.
Saya akhirnya ikut nimbrung dan
seketika itu juga urun rembug tentang bagaimana serunya masa
kecil saya karena seringnya ikut serta dalam permainan tradisional. Uniknya,
ternyata jaman kawan kantor kecil (estimasi di jaman tahun 70-80an) dan jaman
kecil saya, permainan tradisional yang kami alami relatif sama. Perbedaan
terjadi rata-rata hanya pada nama permainan.
Saya masih ingat, ketika saya
TK dan SD, sering sekali saya bermain jethungan, sepak tekong, setinan (kelereng), benthik, embok
embred, betengan, cek-cek mek, muk-muk'an, lompat
karet (sounds wrong ya?), kasti dan lain sebagainya. Banyak sekali.
Permainan dengan nama-nama unik di atas, jelas mensyaratkan untuk dimainkan
secara kolektif. Mustahil untuk dimainkan secara tunggal. Baiklah, ijinkan saya
untuk menenggelamkan diri ke masa lalu..
Saya juga ingat ada jenis
permainan bernama donggleng. Saya ingat saya tak pernah
memainkannya. Karena itu jenis permainan “kelas berat”. Donggleng ini
semacam permainan kejar-kejaran dan bersembunyi. Seringkali harus melewati
sawah-sawah dan lintas kampung. Ketika itu di era pertengahan 90-an. Saya masih
ingat permainan itu hanya dimainkan oleh kawan-kawan saya yang sudah
besar-besar, dan berusia jauh di atas saya. Mereka rata-rata lahir di awal
80an, dan saya lahir tahun 1988. Tapi merekalah kawan sepermainan saya. Saya
memang paling kecil di dalam lingkungan sepermainan. Otomatis saya menjadi yang
paling cute. Diantara mereka ada Mas Agus Bogel, Wawan, Budi Kopok,
Arip, Heni, Didik, Boy, Solikin dan Eko Pace. Ada juga yang relatif sepantaran,
yaitu Mas Kemal, Mas Erwin, Mas Pungkas dan Ary. Mereka sekarang rata-rata
sudah berkeluarga dan sebagian sudah pergi entah kemana. Saya rindu mereka dan
masa-masa itu.
Di jaman itu, ada jenis
permainan usuman atau musiman. Jadi ada jenis- jenis permainan
yang memiliki periode tertentu untuk dimainkan. Permainan musiman itu bakal
ramai ketika musim dan hampir sama sekali tak ada yang memainkan ketika memang
sedang tidak memasuki musimnya. Jenis permainan musiman diantaranya ada layangan,
tembak-tembakkan dari bambu yang diisi kertas bekas, kelereng dan lainnya. Yang
jadi pertanyaan saya ketika itu, bahkan sampai sekarang adalah: “Kira-kira
sistem apa dan siapa tokoh intelektual di balik skenario pengaturan musim untuk
permainan-permainan itu?” Saya bayangkan betapa hebatnya sosok itu, karena
bisa menggiring anak-anak untuk memainkan dan tidak memainkan suatu permainan.
Pasti ia tokoh yang memiliki banyak sumber daya, baik dana maupun jaringan
untuk mengatur hegemoni itu. Betapa hebatnya ia. Halah..
Permainan-permainan itu lestari,
seingat saya sampai saya lulus SD di tahun 2000. Selepas itu saya SMP, masih
ada generasi penerus yang memainkan beberapa permainan musiman seperti layangan dan
kelereng. Generasi Anto, Endra, Evan dan Didit adalah tokoh-tokohnya. Rata-rata
mereka kelahiran awal tahun 90. Setelah itu diisi oleh generasi Hafidz, Aksal,
Fisal dan Zidan (mereka kelahiran akhir 90an – awal 2000an), nah sejauh
pengamatan saya, mereka sudah tidak memainkan permainan-permainan itu. Mereka
adalah generasi play station, sepeda motor dan handphone.
Layangan sesekali masih terlihat dimainkan, namun sudah tidak seramai dulu.
Dulu ketika musim layangan, di
langit kampung saya (tentu saja di Megapolitan Purwodadi Grobogan), waduh ramai
sekali. Di jaman saya kecil, gengsi tidak didapat dari keren-kerenan handphone yang
dimiliki, tapi dari pemenang tarung layangan di angkasa. Layangan di sini
adalah layang-layang bentuk segitiga yang berbahan dasar bambu dan kertas. Para
petarung layangan ini, mengupayakan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan
di angkasa dengan musuh yang biasanya tidak diketahui siapa sosoknya. Karena
memang tarung layangan adalah momen insidental yang tidak direncanakan
sebelumnya. Mereka para pemain layangan, ketika sore hari menerbangkan layangan
dan ketika ada prospek untuk tarung, ya ayo. Momen tarung layangan di kampung
saya disebut dengan sangkutan.
Nah, untuk memainkan sangkutan
layangan itu, berbagai upaya dilakukan. Mulai dari membeli benang gilasan atau
bagi mereka yang tak suka membeli jadi benang gilasan, mereka lebih
memilih untuk menggilas benang sendiri dengan menyampur beberapa komponen
ramuan dan mengoleskannya di benang yang digunakan untuk menerbangkan layangan.
Seingat saya di dalamnya terdapat pecahan kaca yang dihaluskan, pewarna dan
putih telur ayam. Benang itulah yang akan digunakan untuk sangkutan. Sangkutan
layangan ini akan diakhiri putusnya layangan dengan benang yang lemah dan
teknik sangkutan yang kurang mahir. Dan momen layangan putus adalah momen yang
ditunggu sampai kejar-kejaran ke pelosok kampung dan sawah. Harga layangan
memang tak seberapa, tapi kepuasan rebutan dan lari-larian mengejar layangan
putus dan kemudian mendapatkannya adalah suatu hal yang tak terdeskripsikan..
:”
Permainan-permainan tradisional
di atas, membutuhkan gerakan fisik, ruangan terbuka dan pertemuan beberapa
orang. Tiga poin itulah yang sebagian besar tidak dibutuhkan oleh permainan
modern seperti video game Nintendo, Sega, Play
Station, X-Box dan jenis permainan virtual atau online
lainnya. Jenis permainan modern itu bisa dimainkan secara individu, di dalam
ruangan dan minim gerakan fisik. Dari tiga variabel perbedaan antara permainan
tradisional dan modern di atas, jelas kita dapat simpulkan, bahwa permainan
tradisional menang telak dalam segi kepositivannya.
Pertama, permainan tradisional
untuk memainkannya membutuhkan gerakan fisik dan ruangan terbuka . Otomatis si
pemain, akan bergerak dan ini ekuivalen dengan olah raga. Para penikmat
permainan tradisional rata-rata memang diisi oleh anak-anak berfisik dan
bermental kuat. Ini imbas sekaligus syarat untuk memainkan permainan
tradisional. Mereka rata-rata menjadi anak-anak yang jarang sakit, tidak
kegemukan dan sehat. Kebalikannya, permainan modern bisa dimainkan dengan cara
tiduran atau duduk di dalam ruangan. Tentu ini akan berimbas pada kesehatan si
anak.
Anak produk permainan modern
akan sangat berbeda jika kita bandingkan secara head to head dengan
anak pemain permainan tradisional. Kesimpulan saya sebagai awam, anak permainan
modern tidak secekatan dan sepemberani anak permainan tradisional. Karena anak
permainan tradisional terbiasa dengan tantangan fisik. Mereka menyentuh
permasalahan secara langsung. Berbeda dengan anak permainan modern, mereka
menemui masalah hanya di layar komputer atau tablet PC mereka. Masalah mereka
hanya masalah virtual dan maya belaka.
Kedua, permainan tradisional
pun mensyaratkan agar permainan dilakukan secara kolektif atau membutuhkan
keikutsertaan banyak orang. Dari situ terlihat, bahwa permainan tradisional
akan berefek positif pada aspek sosialisasi si anak. Anak akan belajar bergaul
dan berteman. Mereka akan selalu berkomunikasi dan berinteraksi dengan
teman-teman sepermainan. Anak akan belajar memecahkan solusi secara
bersama-sama. Anak akan belajar memposisikan diri dalam suatu lingkup kelompok
yang otomatis memiliki latar belakang, pandangan dan pendapat yang
berbeda-beda. Mereka akan banyak bertemu dengan banyak orang yang akan berperan
pada perkembangan kesehatan emosional mereka.
Adalah suatu keniscayaan bahwa
perubahan zaman membawa turunan yang demikian banyak dan masif. Jika sudah
berbicara tentang zaman, tentu akan muncul dikotomi zaman sekarang dan zaman
dahulu, zaman kuno dan zaman modern. Selalu seperti itu. Jika saja hal tersebut
tidak kita bawa-bawa, maka permainan tradisional dan produk masa lalu lainnya
tidak akan menjadi korban tergerusnya masa lalu oleh masa sekarang. Permainan
tradisional tidak akan terpinggirkan dan hilang karena kalah bersaing dengan
permainan modern zaman komputer ini.
Alangkah indahnya jika
permainan tradisional bisa menjadi pilihan di samping permainan modern.
Alangkah menyenangkannya jika permainan tradisional tetap terjaga eksistensinya
diantara arus utama permainan modern. Permainan tradisional memiliki banyak kelebihan
yang tidak dimiliki oleh permainan modern. Sudah sewajarnya kita berusaha
bersama-sama untuk nguri-uri permainan tradisional sebagai
produk kebudayaan masa lalu.
Celakanya, kebanyakan anjuran
untuk merevitalisasi permainan tradisional kebanyakan hanya berhenti pada
tataran wacana. Mayoritas belum ada usaha dalam tahap realisasi. Pemerintah dan
masyarakat sebaiknya bersinergi untuk mewujudkannya. Karena permainan
tradisional tidak hanya sekadar permainan belaka, karena di dalamnya terkandung
nilai-nilai moral dan filosofis yang seharusnya tetap terjaga keutuhannya.
Syukurlah, di tengah sepi dan gersangnya upaya untuk melestarikan
permainan tradisional, ternyata masih terdapat oase yang diharap-harap itu. Ya,
di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Dusun Pandes, Desa
Panggungharjo, Kecamatan Sewon, terdapat Kampung Dolanan. Kampung Dolanan
tersebut diinisiasi oleh Komunitas Pojok Budaya pada tahun 2008 (situs
National Geographic Indonesia). Di Kampung Dolanan tersebut terdapat
beraneka ragam jenis permainan tradisional yang dewasa ini sudah sangat jarang
kita temui dan dimainkan oleh anak-anak.
Koordinator Komunitas Pojok
Budaya yang bernama Wahyudi Anggoro Hadi menyatakan bahwa diperkirakan sekitar
sepuluh tahun lagi berbagai jenis permainan tradisional akan benar-benar punah.
Suatu hal yang jangan sampai terjadi. Semoga melalui Kampung Dolanan tersebut,
tergugahlah semangat komunitas-komunitas dan tokoh-tokoh lain untuk
menyelamatkan permainan tradisional. Semoga permainan tradisional tetap selalu
ada dan bahkan menjadi jenis permainan yang dibanggakan oleh generasi sekarang
dan masa yang akan datang..
Ah nostalgia,, ternyata saya punya kenangan masa lalu... benar-benar kenangan, di desa saja sekarang sudah susah ditemui :(
BalasHapusIya, sedih karena itu hanya akan menjadi kenangan, kecuali ada perubahan sosial secara sirkuler yang akan membawa kita kembali ke sana.. semoga.. :"
HapusHehehe..."Mesam-mesem dewe" baca tulisan mas Ryan kali ini. Ada jg permainan yg menguras tenaga hanya dgn duduk berjejer. "Suk-suk peng, sing tengah gepeng". Jd, cara mainnya adl yg duduk di kanan dan kiri hrs sm2 saling mendorong utk menekan yg duduk di tengah. Kangen masa-masa itu hehehe...
BalasHapusSuk-Suk peng oh iya. Mainnya dempet-dempettan, betapa indahnya kalau itu dimainkan di masa dewasa ini bersama dedek-dedek mahasiswi.. :"
Hapus