Sabtu, 25 Januari 2014

Bencana Alam dan Azab dari Tuhan

(sumber gambar: cynaradixie.blogspot.com)
Bencana jika diibaratkan mungkin seperti mantan kekasih yang dibenci, karena dulu pernah menyakiti. Kedatangannya tak pernah diharapkan, karena pasti akan menorehkan hal-hal yang tidak mengenakkan. Ia identik dengan kesusahan dan kerepotan.
Oleh sebab efek negatif yang ditimbulkan bencana itulah, beragam asumsi, dugaan dan hipotesis ramai-ramai dilontarkan. Bencana acapkali disebut sebagai teguran, pelajaran atau hukuman (azab). Sebagai manusia, memang hanya dugaan yang mampu kita jangkau, tanpa pernah tahu bagaimana standar operasional pengukuran kebenarannya.
Dalam konsep hukum agama, sesungguhnya apapun yang terjadi dalam hidup kita adalah ujian, baik itu gelimang harta atau bencana. Tergantung bagaimana penyikapan kita terhadapnya. Kembali kepada cara memandangnya.
Jika bencana alam diposisikan sebagai azab, maka tanpa perlu berpikir njelimet, sebagian orang telah menganggap para korban sebagai kaum yang pantas untuk dihukum. Dari sudut pandang sosial, cara pikir seperti itu haruslah dihindari, karena di dalamnya terkandung prasangka buruk.  Kesombongan pun telah menyelinap di hati si pemvonis, karena merasa diselamatkanNya.
Prasangka-prasangka seperti itu jika dibiarkan akan tumbuh dan menjalar ke lini kehidupan lain. Tidak menutup kemungkinan dari sana akan timbul konflik sosial yang lebih dalam dan sukar diurai. Memang, diperlukan kesantunan dan kepekaan dalam memandang sesuatu.
Cara terbaik dalam memandang bencana adalah selalu berprasangka baik terhadap Tuhan. Komponen masyarakat yang dapat kita jadikan suri tauladan adalah warga lereng Gunung Merapi. Mereka terkenal sebagai orang-orang yang bisa menyelaraskan hidupnya dengan alam. Mereka tidak pernah marah ke Tuhan, juga tidak pernah mengira Tuhan marah kepada mereka. Saat Merapi meletus, memuntahkan jutaan kubik material dan menerjang apa saja yang dilewatinya, warga yang terimbas memilih untuk berkata Merapi lagi nduwe gawe, Merapi baru punya kerja. Tak heran, berkali terkena letusan, mereka tetap enggan untuk direlokasi.
Dengan paradigma seperti itu, segala kepedihan akibat bencana bisa terminimalisasi. Bencana dianggap sebagai sebuah keniscayaan, sunnatullah dan cara alam menyeimbangkan diri. Berkah juga siap menunggu di hari depan. 
Banjir sebagai jenis bencana yang bisa dicegah, sesungguhnya lebih jauh jaraknya dari terminologi azab. Di dalamnya terdapat banyak potensi untuk memetik pelajaran. Daripada memvonis Tuhan telah menghukum melalui azab banjir kepada mereka yang berdosa, alangkah lebih baik jika banjir kita pandang sebagai akibat dari kesalahan manajemen tata kelola manusia terhadap alam. Dari titik itu, justru kita dituntut untuk berpikir bagaimana memproduksi teknik yang solutif. Lebih elok berfokus pada solusi teknis dan penguatan modal sosial daripada saling menyalahkan.
Lalu, dimanakah kita seharusnya meletakkan konsep azab?

Azab biarlah ada di ranah hati dan pikiran. Janganlah ia dijadikan pisau untuk melukai orang lain. Biarlah azab ada untuk kita jadikan alat introspeksi dan media berdialektika dengan Tuhan. Tempatkan azab sebagai harga yang harus kita bayar dari kesalahan pribadi masing-masing. Posisikan ia di ranah kalbu tersendiri sebagai kontrol amalan. Letakkan ia sebagai akibat dari kebobrokan per individu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar