Minggu, 02 Februari 2014

Pak Harto Penjahat atau Pahlawan?

(sumber gambar: masboi.com)
Di tanggal 27 Januari 2008, presiden kedua Indonesia, Pak Harto, berpulang. Tepat enam tahun lalu peristiwa itu sudah berlalu. Pak Harto yang terkenal sebagai jenderal besar, panglima angkatan perang dan berkuasa selama 32 tahun akhirnya harus menyerah pada jatah hidup dariNya.
Bisa dikatakan, Pak Harto wafat dalam suasana yang menyedihkan. Sampai menjelang akhir hayatnya, beliau masih mendapat cercaan dari berbagai pihak. Beliau dianggap sosok yang paling berdosa dan harus bertanggung jawab atas segala kebobrokan bangsa Indonesia dewasa ini. Krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak 1997 disebut sebagai imbas cara memerintah Pak Harto selama tiga dekade lebih.
Pak Harto sempat diadili, walau secara in absentia, karena alasan kesehatan. Kemudian pengadilan dihentikan tanpa pernah memutuskan apakah Pak Harto bersalah atau tidak dalam beragam kasus mulai korupsi sampai pelanggaran hak asasi manusia. Sampai ujung usianya, Pak Harto ditempatkan di pojok gelap ruang pesakitan benak sebagian rakyat Indonesia. Bahkan anak kemarin sore yang belum lahir ketika Pak Harto memerintah ikut-ikut menghujat beliau tanpa ampun, dengan hanya berdasar kabar dari media.
Ketika Pak Harto lengser tahun 1998, mahasiswa bersuka cita. Seolah mendapatkan hadiah yang demikian agung, mereka bersorak-sorai merayakan tumbangnya pemimpin yang disebut sebagai Bapak Pembangunan tersebut. Reformasi yang disponsori oleh mahasiswa dan dipandegani oleh Amien Rais diproyeksikan menjadi tonggak berubahnya arah gerbong pemerintahan dan pembangunan di Indonesia ke arah yang lebih baik. Orde Baru disebut sebagai jaman suram dan ingin segera ditinggalkan, karena dari sanalah sumber dari segala malapetaka yang sekarang ini harus kita enyam.
Pak Harto sebagai pemimpin puncak dianggap sebagai sosok yang patut dipersalahkan. Intinya, beliau dianggap sebagai perusak bangsa kelas wahid sehingga layak dibenci. Aktivis dan para pengamat ramai-ramai menelanjangi dosa-dosa beliau. Mereka seperti mendapatkan momentum yang pas untuk mengeluarkan segala hasrat kebencian yang sekian lama tertahan.
Di tahun kesepuluh turun tahtanya, Pak Harto wafat. Pemandangan di media massa ketika beliau lengser dengan saat beliau wafat berbalik 180 derajat. Tak ada sumpah serapah dan hujatan. Yang ada hanya mata sembab dan basah dari ribuan, bahkan mungkin jutaan rakyat Indonesia. Sepanjang perjalanan mobil jenazah Pak Harto mulai dari rumah duka di Cendana, Jakarta sampai Bandara Halim Perdanakusuma, di tepi jalan orang-orang melambaikan tangan kepada beliau untuk terakhir kalinya. Wajah sedih dan penuh haru terlihat di sana. Rona kehilangan terpampang nyata. Pemandangan serupa berlanjut mulai saat turunnya peti jenazah Pak Harto di Bandara Adi Sumarmo sampai Astana Giribangun di Karanganyar.
Dari dua peristiwa kontradiktif di atas, harusnya kita mulai bertanya. Sebenarnya, kebencian banyak pihak kepada Pak Harto apakah mewakili seluruh bangsa Indonesia, atau hanya berada di pihak yang kebetulan memiliki akses untuk mewartakan opininya di media yang memiliki lingkup pemberitaan luas, sehingga dianggap mewakili suara seluruh rakyat Indonesia. Suasana saat Pak Harto wafat rasanya juga harus dijadikan variabel pengukuran untuk menentukan besaran skala kebencian rakyat Indonesia kepada beliau. Sambutan hangat sekian banyak manusia kepada jenazah Pak Harto setidaknya dapat dijadikan tolok ukur, bahwa Pak Harto sesungguhnya tokoh yang disayangi dan dielu-elukan banyak orang.
Ekspresi yang mengharukan kepada Pak Harto bisa jadi murni simbol kecintaan atau bangsa kita ini adalah bangsa yang pemaaf. Memang hal tersebut sulit diukur tingkat kebenarannya. Tetapi, paling tidak akhirnya kita bisa menarik benang merah bahwa tidak ada sesuatu yang jelas hitam putihnya. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang mutlak. Tidak ada seseorang pun yang mampu kita nilai total sebagai penjahat sampai tidak ada senoktah pun kebaikan yang pernah dilakukan. Demikian juga sebaliknya, tidak ada seorang pun yang suci dari dosa.
Ada yang berpendapat, seharusnya negara memperjelas status hukum Pak Harto. Sehingga dari sana rakyat Indonesia bisa memposisikan Pak Harto seperti apa. Jika memang bersalah, maka harus diputuskan imbalan yang pas untuk status itu. Jika tidak bersalah, maka nama beliau yang sedikit banyak sudah tercemar agar direhabilitasi. Namun, menurut hemat saya biarkanlah posisi Pak Harto seperti saat ini saja. Tempatkan beliau pada posisi “mengambang” antara penjahat atau pahlawan, lalu berilah hak prerogatif kepada rakyat untuk menilai dan kemudian memutuskannya. Karena jika ada putusan dari negara terhadap posisi Pak Harto, hal itu sama saja akan menjadi semacam “paksaan” terhadap wewenang pikir dan batin kepada sekelompok manusia yang bersatu sebagai bangsa. Biarkan Pak Harto ada dan tiada sekarang ini dengan segala baik buruknya.
Bagi saya, Pak Harto selamanya akan tetap terkenang sebagai pemimpin dengan senyum khasnya yang sangat charming dan kebapakan. Suara nge-bass dan bindengnya akan selalu ada sama seperti saat ryan kecil menyaksikannya di Dunia Dalam Berita TVRI dulu kala. Kewibawaan sekaligus sikap merakyatnya akan selalu saya ingat seperti saat kunjungan panen raya di segenap pelosok nusantara. Sikap kerasnya akan selalu ada di pikiran saya seperti saat membaca berita Pak Harto berucap “Siapa saja yang mencoba melawan, akan saya gebuk”. Mata sipitnya saat mesem masih ada di kepala saya, seperti saat menyaksikan acara Kelompencapir (Kelompok Pendengar Pembaca Pemirsa). Keangkeran dan pesonanya akan terus terkenang seperti saat beliau memasuki ruang sidang di Gedung DPR/MPR dan segenap hadirin akan terdiam lalu berdiri menyambut dengan takzim.
Seperti itulah Pak Harto versi saya. Mungkin Pak Harto di pikiran orang lain akan sama sekali berbeda. Biarkanlah saja apa adanya, karena suatu saat sejarah akan berbicara..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar