Senin, 10 Februari 2014

Analisis Mengapa Manchester United Terpuruk

(sumber gambar: insoccer.ca)
Jika berbicara sepakbola, mustahil rasanya tidak membicarakan Manchester United. MU adalah brand yang sangat kuat. Bahkan orang yang tidak begitu menggemari sepakbola, sedikit banyak tahu atau minimal pernah mendengar nama klub yang dijuluki Setan Merah tersebut.
MU identik dengan juara. MU adalah kampiun yang sudah merasakan semua gelar masyhur di dunia sepakbola. Mulai dari juara kompetisi Premier League, Piala FA, Liga Champion dan Kompetisi Antar Klub Dunia.
 Mayoritas gelar tersebut direngkuh MU ketika dilatih Alexander Chapman Ferguson, atau lebih dikenal sebagai Sir Alex Ferguson. Sekadar info, gelar kebangsawanan Inggris “Sir” diperoleh ketika ia membawa MU menggondol treble winners pada musim 1998/1999. Ya, di musim itu MU menjadi klub Inggris pertama dalam sejarah yang mampu menjuarai tiga kompetisi berbeda, Liga Inggris, Piala FA dan Liga Champion.
Saya beruntung menjadi saksi hidup ketika MU berada di puncak kejayaannya. Masih lekat dalam ingatan bagaimana Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer mencetak gol ke gawang Oliver Kahn ketika pertandingan telah memasuki injury time. Ottmar Hitzfield dan para official FC Hollywood sudah bersiap di tepi lapangan untuk berlari menyambut kemenangan, namun apa daya MU-lah yang ditakdirkan untuk membawa pulang trofi juara. Padahal sampai menit ke 90, Munich masih unggul 1-0 berkat gol Mario Basler.
Sir Alex menjadi pelatih tersukses sepanjang masa di kompetisi sepak bola negeri Ratu Elizabeth. Ia membawa MU memenangkan sepuluh gelar juara liga dan menjadi satu-satunya pelatih yang memenangkan Piala FA sebanyak 5 kali. Sir Alex  juga menjadi satu-satunya pelatih yang berhasil memenangkan gelar Liga Inggris sebanyak tiga kali berturut-turut bersama tim yang sama (1998/1999, 1999/2000 and 2000/2001). Sir Alex juga menjadi salah satu pelatih dengan waktu melatih sangat lama di sebuah klub. Ia berpindah dari Aberdeen ke MU pada 6 November 1986 dan pensiun pada 9 Mei 2013.
Di tangannya, Old Trafford menjelma menjadi tempat angker bagi tim-tim yang melawat ke sana. Dengan polesannya pula, MU melahirkan generasi emas melalui akademi MU angkatan 1992 yang terkenal dengan sebutan Class Of 1992 atau Fergie Babes. Class of ’92 ini antara lain dihuni Ryan Giggs, David Beckham, Nicky Butt, Neville Brothers dan Paul Scholes.
Tidak akan ada habisnya membicarakan Sir Alex beserta MU-nya. Karena di dalamnya tak akan bisa lepas dari nama besar seperti Eric “The King” Cantona yang tenar dengan kebengalan dan tendangan kungfu-nya ke penonton di tepi lapangan. Dari sana tidak bisa tidak, pasti akan terceritakan selebritis sepakbola nomor 1 dunia, David Beckham dan kehidupan jetset-nya. Terakhir, musykil untuk tidak membahas Hair Dryer Treatment yang menjadi andalan Sir Alex ketika pemain bermain tidak sesuai harapannya.
Saya menggemari sepakbola mulai kelas 5 SD pada tahun 1998, ketika Piala Dunia dihelat di Perancis. Mulai dari sana, saya langsung menggemari AC Milan dan MU. MU di musim itu, seperti dibahas di paragraf atas, sedang berada di puncak kejayaannya. Bisa dikatakan, melawan tim apapun, hasil pertandingan MU selalu bisa ditebak, yaitu kemenangan. Praktis ketika itu, di akhir era 90-an dan awal 2000-an, MU hanya mendapat perlawanan sebanding dari Arsenal. Karena Liverpool dengan Michael Owen, Robbie Fowler dan Steve McManaman-nya bermain angin-anginan dan tidak stabil. Saat itu Chelsea belum dibeli Roman Abramovich dan The Citizen belum naik ke Liga Utama.
Baiklah, rasanya cukup menenggelamkan diri ke dalam kolam kenangan. Kejayaan MU adalah masa lalu yang hanya bisa dijangkau dengan ingatan. MU yang berbahaya dan ditakuti rasanya ikut sirna terbawa aura Sir Alex yang telah memasuki masa purna tugas. MU musim ini menjadi tim papan tengah yang beberapa kali menelan kekalahan, bahkan ketika bermain di Thetre of Dreams, Old Trafford, yang disebut memiliki daya magis dan mampu membuat tim lawan keder.
Sir Alex menunjuk David Moyes, pelatih Everton, untuk meneruskan tugasnya. Khalayak sepakbola tak sedikit yang terkejut. Sangkaan dan analisis banyak media dunia pun meleset. Mereka menduga Sir Alex akan menunjuk Jose Mourinho atau Pep Guardiola. Apalagi menjelang pensiunnya, Sir Alex mengadakan meeting tertutup dengan Pep di Amerika.
David Moyes ini bisa dikatakan sosok siapa-sih-dia-sebelumnya. Memang tidak salah, bagi orang yang tidak begitu menggemari Liga Inggris, pria asli Skotlandia itu adalah nama yang asing. Bagaimana tidak,  dia memang “hanya” melatih klub medioker sekelas Everton. Prestasi besar pun belum pernah ia torehkan di klub berjuluk The Toffees tersebut.
Namun, menurut saya pribadi, David Moyes sebenarnya bukan pelatih yang jelek-jelek amat. Selama satu dekade melatih Everton, ia selalu berhasil menjaga klub asal Wayne Rooney itu finish di sepuluh besar klasemen. Moyes juga dikenal sebagai pelatih yang sangat disiplin, bahkan diberitakan, sistem melatihnya menggunakan metode semi-militer. Saya pun makin excited menunggu taktik racikan Moyes di MU.
Namun apa daya, ternyata sampai di tengah musim ini, MU masih terseok di papan tengah. Musim ini adalah musim terburuk MU selama beberapa tahun terakhir. Moyes otomatis menjadi sosok yang paling diserang tiap MU mendapat hasil buruk.
Sebenarnya apa yang salah dengan MU musim ini? Apakah benar ini semua semata-mata disebabkan kegagalan Moyes? Berikut ini analisis sederhana saya…
Tatkala berbicara tentang sepakbola, sebetulnya kita seperti sedang membahas wanita. Semua serba sumir dan analisis sepresisi apapun niscaya tak akan bisa 100 % menghasilkan kebenaran. Hitungan dan kalkulasi di atas kertas seringkali gagal mengukur dan menerka sepakbola. Tetapi, untuk kasus MU, secara objektif sebetulnya bisa dijelaskan dengan logika yang cukup sederhana. Begini: 
1. MU sedang di masa transisi
MU keponthal-ponthal musim ini karena sedang berada di masa transisi. Bayangkan, MU dengan sistem permainan yang mapan dan telah melembaga selama 25 tahun lebih, tiba-tiba harus disentuh oleh sistem baru. Di  MU saat ini sedang berlangsung pergeseran budaya. Cipta, rasa dan karsa Sir Alex yang nyawiji, menyatu bersama pola permainan yang dicanangkannya, harus digantikan oleh orang dan pola anyar.
Pemain sehebat apapun pasti akan mengalami penyesuaian. Apalagi jika pelatih dan sistem baru tersebut membawa pemain baru. Hal tersebut akan membuat penyesuaian berjalan dua kali. Pertama, antar pemain harus saling menemukan chemistry agar nyetel satu sama lain. Kedua, mereka semua harus menyesuaikan sistem baru yang dibawa pelatih.
2.     Kegagalan Giggs
Lho, mengapa Giggs yang pendiam dibawa-bawa dalam remuknya MU?
Giggs disebut sebagai jembatan penghubung antara pemain lama yang sudah fasih menjalankan sistem bermain Sir Alex dengan Moyes dan pemain baru yang direkrutnya. Diberitakan, Giggs diplot Sir Alex sebagai messenger dan kadernya. Sir Alex tak ingin sepeninggalnya, MU berubah drastis, dari tim yang Sir Alex banget menjadi tim yang sama sekali baru.
Nah, di situlah peran Giggs. Ia harus menjadi “mediator” antara sistem Sir Alex dan meleburkannya dengan sistem baru dari Moyes. Mungkin saja, kegagalan MU musim ini karena peran yang dibawa Giggs tersebut tidak berjalan mulus. Akibatnya, MU berubah menjadi tim yang benar-benar baru, lalu dipaksa untuk mencari-cari strategi yang cocok.
3.     Belum ditemukannya pengganti Scholes dan Keane
Permainan MU musim ini menurut pengamatan asal-asalan saya,  seperti tim yang sedang meraba-raba kekuatan diri sendiri sekaligus kekuatan lawan. Mereka seperti kehilangan karakter bermain. Dalam beberapa permainannya, MU sering mengalami kehilangan bola dengan alasan yang tidak jelas. Passing tidak mengalir dan tak berhasil membingungkan lawan. Serangan pun seringkali mandheg dan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kekecewaan.
Lapangan tengah sebagai penyuplai bola ke depan, terlihat kurang kreatif.  Pertandingan Sabtu (1/2) saat melawan Stoke City, menampilkan MU yang selalu menyerang melalui sektor kanan dan selalu dari kaki Rafael. Pemain belakang Stoke dengan mudah membacanya. Serangan berjalan monoton dan gampang ditebak. Yang terbaru adalah pertandingan Minggu ini (9/2) melawan tim papan bawah asuhan mantan tangan kanan Sir Alex, Renee Meulensteen, Fulham, MU kesulitan menjebol gawang Fulham sampai pertengahan babak kedua. Walau sampai menit 93 MU unggul 2 - 1, kenyataannya, tepat di menit 94, Darren Bent menggagalkan pesta kemenangan MU.
Kocar-kacirnya lapangan tengah MU, menurut saya disebabkan oleh gagal ditemukannya pengganti Paul Scholes dan Roy Keane. Dulu, bagian tengah MU terkenal kokoh sukar ditembus dan menghasilkan alur serangan yang sama baiknya dengan saat bertahan. Keane ketika itu sukses menjadi penghubung pemain belakang dan depan. Ia salah satu tukang angkut air terbaik di dunia. Keane, yang merupakan kapten utama MU, acapkali berhasil membuat pemain lawan frustasi. Keane juga tenar sebagai pemain temperamental dan tak kenal kompromi. Sliding tackle keras tak jarang dihadiahkan kepada lawan yang ngeyel.
Scholes dikenal sebagai jenderal lapangan tengah yang memiliki determinasi tinggi. Seluruh penjuru lapangan tak lepas ditelusuri, karena ia memiliki daya jelajah yang mantap. Tendangan kerasnya dari luar kotak penalti sering juga merepotkan kiper lawan.
Walau Keane sudah sejak 2005 pindah ke Glasgow Celtic, dan beberapa pemain sudah bergilir menggantikannya, namun menurut saya, belum ada pemain yang pas dan pantas disebut sebagai penggantinya. Paul Scholes yang sempat pensiun di 2011 dan bermain lagi Januari 2012 – Mei 2013, pun sama. Belum ada pemain yang bisa gantikannya.
Michael Carrick dan Marouane Fellaini sampai saat ini belum mampu kuatkan sektor tengah MU seperti dulu. Mereka belum padu dan tak cukup tangguh. Sedangkan Juan Mata baru saja tiba dari Chelsea. Mungkin butuh waktu bagi mereka untuk menyatu, tapi entah sampai kapan.. *nangis*
4.     Moyes pelatih yang gagal
Jangan-jangan, MU yang kurang mampu bersaing di musim ini disebabkan karena kesalahan Moyes. Jangan-jangan memang benar bahwa ia belum cukup berkompeten untuk menukangi tim sekelas MU. Jangan-jangan kapasitas skill dan stock strategi yang dimilikinya belum cukup oke untuk mengobrak-abrik pertahanan musuh. Bisa jadi, bukan?
Pelatih dan tim sepakbola sebenarnya seperti sepasang kekasih. Ada yang berjodoh ada yang tidak. Pelatih yang meraup bermacam gelar di klub A, ketika pindah ke klub B belum tentu bisa mengulang prestasi yang sama. Pelatih yang hancur-hancuran di klub A, justru di klub B panen gelar. Seperti itulah. Silakan putuskan sendiri, Moyes termasuk kategori pelatih yang seperti apa.
5.     Pesaing semakin bagus
Nasib MU jaman ini, berbeda dengan MU satu dekade lalu. Jaman itu, MU seperti melenggang sendirian memimpin di depan. Tapi sekarang semua telah berubah. Peta persaingan Liga Premier Inggris semakin ketat.
Setelah diakuisisi Roman Abramovich, seketika Chelsea menjelma menjadi tim bertabur bintang. Apalagi mereka dilatih oleh pelatih bertangan dingin, Jose Mourinho. Musuh sekota MU, Manchester City saat ini telah menjadi kekuatan baru Liga Premier Inggris semenjak dibeli saudagar Arab.
Arsenal menjadi semakin menakutkan semenjak mendatangkan Mezut Ozil. Pemain yang “dibuang” Real Madrid itu sekarang menjadi tumpuan The Gunners. Umpan-umpannya sering dengan mudah dikonversi menjadi gol. Liverpool saat ini juga tidak bisa dipandang remeh. The Reds memiliki Si Gigi Kelinci Luis Suarez yang sangat produktif akhir-akhir ini. Yang baru saja terjadi dua hari lalu, tanpa terduga, Arsenal dihajar 5 – 1 tanpa ampun oleh Gerrard dan kawan-kawan.
Terpuruknya MU musim ini, bukan mustahil karena tim lain semakin bagus, sedangkan MU begitu-begitu saja sejak dulu. MU mungkin tetap bagus, tapi tim lain jauh lebih bagus. Akhirnya, seperti sekarang inilah hasil yang harus dirasakan.

Seperti itulah analisis saya yang kebetulan tidak memiliki latar belakang sebagai pemain sepakbola, atau komentator sekalipun. Hanya sebuah analisis dari seorang penggemar sepakbola yang berusaha untuk terus memantau perkembangannya melalui bermacam media. Jika ada noda-noda yang terbaca sebagai suatu kesalahan, berwujud kekurangakuratan data dan fakta, mohon maafkan saya.. *salim* 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar