Rabu, 08 Januari 2014

Hubungan Teknologi Garis Gawang dan Urunan Beli Gorengan

(sumber gambar: active-sw.net)
Sepakbola merupakan olahraga paling terkenal di seluruh belahan dunia. Ratusan juta atau mungkin milyaran manusia menggemarinya. Konteks zaman ini, sepakbola sudah bukan lagi hanya sekadar olahraga, namun sudah menjadi industri dengan perputaran uang yang demikian besar. Sepakbola tidak hanya menjadi media menggerakkan tubuh agar sehat dan berkeringat, namun sudah menjadi mesin raksasa pencetak uang.
Sepakbola dengan segala dinamikanya selalu menarik untuk disimak. Entah itu transfer pemain antar klub, hasil pertandingan semalam atau pecat-memecat pelatih. Hampir semua sisi sepakbola bisa dijadikan sumber berita yang dijamin mampu menaikkan oplah, rating dan share media yang memberitakannya.
Berbicara tentang sisi sepakbola, rasanya tidak bisa dilepaskan dari teknologi yang beberapa waktu belakangan ini sudah mulai “mengintervensi” kesucian dan kuasa mutlak indera manusia sebagai pelakunya. Teknologi canggih sudah ikut “bermain” di dalamnya. Mulai dari bola yang dirancang dengan teknik komputerisasi mutakhir sehingga memiliki akurasi yang presisi, statistik komputer pencatat kondisi pemain sampai teknologi garis gawang. Teknologi yang disebut paling akhir itulah yang akhir-akhir ini mendapat banyak sorotan.
Sebenarnya, wacana pengaplikasian teknologi garis gawang sudah lama digaungkan. Namun teknologi itu mulai santer dibicarakan kembali sejak insiden pertandingan di Piala Dunia 2010. Ketika itu gol Frank Lampard dianulir wasit yang meyakini bola tidak melewati garis gawang, namun setelah diperiksa di tayangan ulang, jelas terlihat itu sah disebut gol. Alhasil, Inggris tersingkir dari turnamen dan kalah menyakitkan dengan skor 4-1 dari musuh bebuyutan, Jerman.
Teknologi garis gawang atau goal line technology (GLT) sebelum menyentuh sepakbola sebenarnya sudah digunakan di beberapa cabang olahraga lainnya. Sebut saja di olahraga kriket yang dinamakan Umpire Decision Review System, sudah dipakai sejak 2008. Tenis lebih dulu memakai teknologi sejak 2006 pada turnamen WTA dan ATP. Billiard, Gaelic dan Football Australia juga sudah lama menggunakannya.
Setelah melalui serangkaian uji coba di sepanjang tahun 2012, akhirnya sepakbola menggunakan GLT di Liga Premier Inggris mulai musim 2013/2014 ini. GLT yang secara khusus disebut Hawk-Eye tersebut hanya digunakan di lapangan liga teratas di Inggris itu dan di stadion legendaris Wembley. Kompetisi di bawahnya dan liga lain di negara persemakmuran Inggris belum memakai Hawk-Eye.
Hawk-Eye menggunakan 14 titik kamera, tujuh kamera ditempatkan untuk setiap gawang dan diletakkan di seluruh stadion, biasanya tinggi di atap. Masing-masing kamera ini melacak pergerakan bola, dengan sistem yang mampu mendeteksi bola yang melintasi garis gawang bahkan jika hanya sebagian kecil dari yang terlihat. Selisih sedetik, wasit akan mendapatkan tulisan “gol” di arlojinya jika memang bola melewati garis gawang.
Setelah tarik ulur sekian lama, akhirnya FIFA memutuskan untuk menggunakan GLT pada Piala Dunia 2014. Keputusan tersebut diambil FIFA setelah puas dengan kinerja GLT di perhelatan Piala Konfederasi 2013 dan Piala Dunia Antar Klub 2013. Berbeda dengan Liga Premier Inggris yang menggunakan teknologi Hawk-Eye dari Sony, FIFA sebagai event organizer Piala Dunia memilih untuk menggunakan GLT milik perusahaan Goal Control GmbH asal Jerman.
Saya lega ketika FIFA akhirnya merilis pernyataan bahwa GLT adalah teknologi terakhir yang diadopsi dalam permainan sepakbola. Karena saya sebelumnya tak begitu setuju dengan pengaplikasian GLT. Sebabnya, GLT ini mampu menjadi pintu bagi teknologi lain untuk masuk lebih jauh ke sepakbola. Opini saya, jika teknologi masuk terlalu jauh ke sepakbola, akan berpotensi menghilangkan nilai seni sisi alamiah manusia. Maksud saya, sisi alamiah manusia yang di dalamnya terdapat kesalahan dan kealpaan justru menjadi point tersendiri yang membumbui dunia olahraga. Luput-luputnya wasit, penganuliran gol, dan lengahnya hakim garis adalah aspek manusiawi yang dalam batasan tertentu justru menambah keindahan sepakbola.
Kesalahan dan kealpaan yang menjadi kelemahan manusiawi menjadi pelengkap yang mau tidak mau harus diterima. Bahkan tak jarang, di sana terdapat hal yang menarik, misalnya sisi dramatis, emosional dan perseteruan yang menghiasi sepakbola. Dengan diaplikasikannya berbagai macam teknologi dalam olahraga pada umumnya dan sepakbola pada khususnya, sisi alamiah manusiawi menjadi tereduksi. Jika demikian, lalu apa bedanya kita dengan mesin?
Setelah ramai-ramai masalah GLT, wacana pengaplikasian teknologi lainnya sebenarnya sudah ramai dibahas. Teknologi ini adalah chips pada jersey pemain untuk memantau stamina pemain dan video tayangan ulang sebagai dasar pengambilan keputusan wasit. Kabar terakhir, teknologi chips pada jersey pemain sejauh ini masih tertolak, karena terdapat regulasi yang melarang adanya komunikasi antara pemain dan staf di pinggir lapangan dilarang. Video tayangan ulang sementara ini juga masih ditolak FIFA. Namun tidak menutup kemungkinan, kedua teknologi tersebut dan teknologi lain akan dihalalkan, karena GLT sebelumnya juga menjadi polemik selama sekitar satu dekade. Salah satu pihak yang tak setuju waktu itu adalah organisasi sepakbola Eropa (UEFA) yang dipimpin legenda Perancis, Michel Platini.
Jika memang dua teknologi di atas kemudian dipakai, maka saya adalah orang pertama yang berjanji tak lagi menyukai sepakbola. Sepakbola menarik karena di sana menyertakan segenap elemen fisik dan emosional manusia. Di dalamnya terdapat aspek kelemahan dan kelebihan manusia. Karena terdapat kelemahan dan kelebihan manusia, kita dipaksa menduga-duga, penasaran, deg-degan, marah dan memprotes. Lalu timbul intrik, friksi, konsep berpihaknya dewi fortuna dan bekerjanya tangan Tuhan. Di situlah asyiknya.
Jika semua kelemahan dan kelebihan itu bisa terpantau dengan tujuan dikurangi bahkan dihilangkan eksistensinya, dalam sekejap sepakbola kehilangan ruhnya. Sepakbola tidak wajar dan alami lagi. Jika semuanya serba komputerisasi, lebih baik kita membuat robot, kita install program untuk bermain sepakbola, berkoordinasi urunan beli gorengan lalu ramai-ramai menontonnya.
GLT ini sebaiknya digunakan sebagai momentum titik pangkal diproduksinya suatu regulasi baku yang mengatur limitasi penggunaan teknologi dalam olahraga. Harus ada batasan sejauh mana teknologi diperbolehkan masuk ke olahraga. Agar olahraga tetap menjadi ajang olah fisik dan rasa manusia..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar