(sumber: theloebizz.files.wordpress.com) |
Tulisan
ini berisi kegelisahan yang lama tertahan. Kegelisahan yang muncul setiap
menginjakkan kaki di bangunan-bangunan besar nan megah. Kegelisahan akan
jaminan kemudahan mendapatkan ruang yang baik untuk mencoba mengingat Tuhan,
yang tiap hari terpinggirkan dari kesibukan duniawi yang tak berkesudahan.
Ruang itu bernama mushola.
Saya
tak berani menulis dan berharap adanya masjid. Karena pada kenyataannya, mushola
saja seperti terlalu tinggi untuk diharapkan keberadaannya. Jangankan masjid,
mushola saja entah ada atau tidak, misal ada, apakah cukup layak atau tidak.
Pemodal
besar pemilik bangunan-bangunan agung tidak menempatkan mushola sebagai ruang yang
diprioritaskan dalam master plan-nya.
Mushola dipinggirkan, disudutkan, dipojokkan atau entah istilah lain apalagi
yang pas untuk menjelaskan bahwa mushola tidak dimuliakan secara letak dan
porsi ukuran. Dalam hal ini, Tuhan mau tidak mau harus mafhum bahwa umat
ciptaanNya sendiri justru menempatkanNya dengan cara seperti itu.
Walaupun
setiap jengkal bumi adalah rumahNya, namun tak terbantah, bagi sebagian besar
umat, Tuhan hanya “terlihat” secara kadang-kadang melalui tempat ibadah. Kenyataannya,
tempat ibadah sebagai representasi simbol kehadiran Tuhan di dunia justru tidak
mendapat posisi sebagaimana mestinya. Mushola hanya ditempatkan pada sudut
sempit parkiran di basement. Berkawan
dengan centang-perenang selang-selang jalur air dan listrik. Tak jarang,
letaknya menempel atau menyatu dengan WC umum yang kumuh. Menyedihkan.
Tuhan
dinomorsekiankan. Rumah Tuhan hanya disisipkan dengan keadaan seadanya. Diada-adakan
dengan terpaksa. Semacam pantes-pantes
saja. Keterlaluan.
***
Ketika
itu, waktu dzuhur sudah masuk dan saya sedang berada di sebuah pusat
perbelanjaan. Berputar-putar ke sana kemari mencari mushola. Setelah sekian
menit berkeliling dan bertanya ke Pak Satpam, akhirnya mushola saya temukan.
Baiklah, untuk sementara hati saya lega, dzuhur tidak terlewat. Namun, jujur
saya agak menahan perasaan. Mushola yang kemudian saya masuki itu terletak di
sudut, benar-benar sudut di tepi jalan masuk mobil dari luar mal. Misal
pengguna mushola akan keluar atau masuk, harus selalu waspada dan tengok kanan
kiri untuk memastikan tidak ada mobil yang mendekat. Posisinya persis dimana
sopir akan memutar lingkar setir, memang itu semacam tikungan kecil.
Ukurannya
hanya nol koma sekian persen dari bangunan inti mal. Kebersihan ala kadarnya.
Jamaah harus giliran untuk sholat. Ketika berwudhu pun harus bersiap
merampingkan tubuh agar tidak bersenggolan dengan pengguna lain.
Pengalaman
berikutnya, di sebuah rumah makan cepat saji di bilangan Jakarta Utara.
Terdapati oleh saya, mushola terletak di ujung belakang bangunan dan menyatu
dengan mesin genset. Otomatis, deru mesin dengan kekuatan decibel yang besar itu akan mengalahkan fokus jamaah. Tuhan, aku
yakin Engkau tidak akan merasa terganggu dan mengeluh berisik, namun itu bukti
betapa Engkau ditepikan bersama mesin yang dianggap akan mengganggu kenyamanan konsumen
dan mengurangi profit perusahaan.
Tidak
hanya dua pengalaman yang saya miliki terkait hal di atas. Cukup banyak
kejadian hingga akhirnya terakumulasi menjadi tumpukan rasa, lalu saya pilih
tulisan ini menjadi media penuangannya. Begitulah.
***
Di
jaman yang ukuran standar kemuliaan adalah materi, Tuhan berada di pojok
terakhir. Tuhan menjadi dzat yang tidak lagi penting. Hingga apapun yang
berkenaan denganNya menjadi suatu hal yang dipikirkan belakangan. Bangunan yang
menjadi tempat pemujaanNya pun ada di belakang.. Diingat kalau sempat.
Sebagai
orang biasa yang tak berkuasa, begini saja yang bisa dilakukan. Sekadar menulis
yang mungkin tak ada artinya. Tak ada kontribusi nyata yang memiliki kadar
kemungkinan untuk direalisasikan. Modal dan ciri-ciri kami hanya harapan. Hanya
mempunyai kumpulan semoga dan semoga. Dengan sedikit upaya ini semoga ada
perubahan bahwa Engkau semakin diutamakan dan dimuliakan. Tidak lagi
berdampingan dengan bau sisa konsumsi. Tidak lagi bersisian dengan mesin yang
tak merdu dalam berbunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar