Sabtu, 05 April 2014

Rahasia Di Balik "Aku Ra Popo"


Tempo hari belakangan, persisnya sekitar tiga bulan ini, di berbagai media sosial ramai beredar suatu idiom unik. Idiom atau frase yang terdiri dari tiga kata itu adalah “Aku Ra Popo”. Sebagai pemuda asli tulen berdarah ras Jawa dan juga hidup di masyarakat berbudaya Jawa, saya tentu sama sekali tidak asing dengan bunyi itu. Tapi menurut saya, ketenaran “Aku Ra Popo” adalah hal yang kurang lazim sekaligus membanggakan, karena ia bukanlah ungkapan istilah kekinian dan berasal dari bahasa yang mulai dianggap memalukan untuk dibawakan, bahkan oleh “pemiliknya” sendiri.
“Aku Ra Popo” sebenarnya berasal dari kalimat “Aku Ora Opo-Opo” atau “Aku Ora Kenopo-Kenopo” yang secara bebas diterjemahkan dengan “Aku Ngga Papa” atau “Aku Tidak Kenapa-Kenapa”.  Pertama kali saya tahu tentang “Aku Ra Popo” bersumber dari gambar profil BlackBerry Messenger di daftar kontak pada awal Bulan Desember 2013.
Setelah itu, baru saya sadari “Aku Ra Popo” jamak tersebar kemana-mana. Saya pribadi ingat, gambar parodi (meme) bertuliskan “Aku Ra Popo” bergambar seorang pemuda memeluk pohon sementara pemuda yang lain memeluk pasangannya, saya unggah di Path pada tanggal 11 Desember tahun lalu. Kawan pengguna twitter, facebook dan Path bergantian meng-upload meme “Aku Ra Popo” dengan banyak variasi gambar atau foto.
Telisik punya telisik, ternyata meme “Aku Ra Popo” menurut situs komedi liputan9.com sudah tersebar di twitter sejak 3 Juli 2009, yaitu di komik Dragon Ball. Entah siapa yang mengawali, “Aku Ra Popo” kemudian banyak digunakan di meme dan terkenal mulai akhir 2013 kemarin. Bahkan saat ini, banyak politikus kelas nasional mulai menggunakannya untuk menanggapi suara negatif yang diarahkan kepadanya.  “Aku Ra Popo” sekilas hanya merupakan potongan kalimat pendek yang digunakan untuk lucu-lucuan dan menertawakan suatu keadaan. Padahal, di sana menurut saya tersisip suatu filosofi yang sungguh tinggi kadar nilai luhurnya.
“Aku Ra Popo” adalah kalimat reaksi yang diproduksi seseorang yang sedang mengalami suatu kepedihan. Namun sebenarnya, di sana terdapat usaha yang mengandung unsur paradoks. Ya, di satu sisi si pengucap sedang mengalami keadaan yang tidak mengenakkan, namun di sisi lain ia sedang mencoba untuk melakukan penyangkalan, bahwa sejatinya ia baik-baik saja. Kalau kata Pingkan Mambo: “Walau pedih, tapi ku baik-baik saja..~” dan kata Repvblik: “Kuterima, walau sakit hati..~”
Masyarakat Indonesia secara kultur kehidupan sehari-hari adalah masyarakat yang relatif pandai menerima kenyataan. Mudahnya, kita ini pintar mengambil hikmah dari suatu peristiwa. Penjelasan itu terpotret dalam kalimat percakapan berikut ini:
Sardimin       : “Denger-denger kamu habis kecelakaan, Di?
Wakidi           : “Iya, Min. Halah, cuma motor kok yang remuk. Sekarang ndak bisa  
                          dipakai sih. Ya ndak papa, daripada yang remuk kakiku, ‘kan?”
Percakapan di atas pasti banyak terjadi dalam kehidupan kita. Terdengar biasa sebenarnya, namun di sana terdapat kebesaran jiwa untuk menerima segala realitas kehidupan. Di dalamnya terkandung ungkapan syukur, bahwa yang hancur hanya hal kecil yang bisa dibeli atau diganti. Terdapat kalimat yang tak terucap tapi terdengar jelas: “Di luar sana masih banyak yang lebih menderita.”
Penyangkalan melalui “Aku Ra Popo” adalah usaha manusia untuk menguat-nguatkan dan menangguh-nangguhkan diri. Yakin sekali, Tuhan di atas sana “tersenyum” dengan usaha kecil itu. Ia “tersenyum” karena Ia pasti tahu bahwa hambaNya sebenarnya sedang bersusah hati, namun berupaya untuk menguatkan diri sambil menerima ketetapanNya. Ini ‘kan cocok dengan quote dari Imam Ali: “Ridha dengan ketetapan Allah yang tidak menyenangkan adalah tingkat keyakinan yang paling tinggi.”
“Aku Ra Popo” adalah langkah kecil pertama yang harus kita ambil untuk melanjutkan hidup. “Aku Ra Popo” adalah simbol kekuatan batin bahwa dengan segala kesedihan dan kepedihan, kita harus melanjutkan perjuangan yang sempat terhambat karena suatu hal. “Aku Ra Popo” adalah perlambang bahwa kita adalah umat yang tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa selain menerima nasib dan takdir, untuk kemudian terus berusaha maksimal. “Aku Ra Popo” sebenarnya berbunyi “aku sangat kenapa-kenapa” atau “aku sedang hancur sekali”, tapi kita mencoba berdamai dengan keadaan, lalu yang terucap adalah negasinya. Bagaimana tidak kenapa-kenapa kalau sosok yang lama diincar, menerima lamaran orang lain? Bagaimana tidak kenapa-kenapa kalau motor masuk got? Bagaimana tidak kenapa-kenapa kalau handphone kreditan masuk bak air?
Di dalam “Aku Ra Popo” ada secuil teknik dialog seorang hamba kepada Penciptanya. “Aku Ra Popo” merupakan strategi berdiplomasi dengan Sang Kuasa. Di sana terkandung bujuk rayu dalam rangka bermanja-manja dengan Tuhan, yang kalau dijlentrehkan dengan panjang lebar kurang lebih berbunyi seperti ini: “Aku Ra Popo, Tuhan. Yakin. Aku menerima segala ketetapanMu. Aku ikhlas menjalani segala lika-liku hidup ini. Aku rela menderita jika memang ini kehendakMu. Tapi, apa iya Engkau tega berlama-lama memberikan kesusahan ini padaku?”
Jika kita tarik jauh ke belakang, “Aku Ra Popo” memiliki nuansa yang mirip dengan syair cantik karya sufi jenaka, Abu Nawas. Syair itu sangat terkenal dan acap dibawakan dalam berbagai forum kebudayaan dan agama. Syair itu berjudul Al I’tiraf yang potongan lirik awalnya berarti: “Wahai Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli surga, tapi aku pun tidak kuat masuk ke dalam api neraka…”
Jadi, “Aku Ra Popo” bukanlah ungkapan remeh-temeh yang hanya sekadar dijadikan lelucon belaka. Karena di sana terkandung makna spiritual nan kontemplatif. “Aku Ra Popo” harus menjadi spirit, bahwa di tengah segala keadaan yang tidak menjadi harapan, kita tetap tegar dan kokoh, lalu berjalan tegak mencoba menyingkirkan segala haling rintang. Bahwa di dalam segala cobaan yang tentu mengikis keoptimisan, kita harus menguatkan niat, walau dengan terpaksa membohongi diri melalui “Aku Ra Popo.”


5 komentar:

  1. bagus2 saja mas, tapi lebih bagus lagi apabila dimensi spiritual dipisahkan dari aktivititas praksis dalam berpolitik , salam

    BalasHapus
  2. Dulu, kalau denger AKU RA POPO, rasanya biasa aja
    Kemarin2, kalau baca/denger AKU RA POPO, rasanya lucu2 menggemaskan
    Sekarang, kalau baca/denger AKU RA POPO, kok rasanya yang nulis/ngomong begitu seperti ketinggalan tren ya
    (Beda kasus dengan blog ini ya Yan. Postingan ini kan mengulas tren Aku Ra Popo. Tapi kalau nemu orang yg masih pakai AKU RA POPO dalam obrolan, kok ya rasanya gitu tadi ya hihihihi)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Jaman serba teknologi membuat semua serba cepat. Itu pula yang terjadi dengan tren apapun. Tak terkecuali tren aku ra popo ini, hari-hari belakangan ini jika masih ada yang menggunakannya akan terdengar so yesterday wkwkwk..

      Hapus
  3. aku rapopo,kan, frase jamak,mas?...hihihi...sampai kapan pun akan tetap ada yang memakai frase itu dalam suatu kondisi tertentu

    BalasHapus
  4. Hihihi bener mas, kalau Aku Rapopo masih pantes disebut frase, kalau Aku Ora Kenopo-Kenopo udah kalimat keleeeus ya. Hihihi..

    Betul, ungkapan itu relevan dengan jaman dan keadaan apapun.. Thanks for comment Mas.. :)

    BalasHapus