Senin, 26 Mei 2014

Menakar Keterampilan Komunikasi Prabowo dan Jokowi

sumber gambar: alfa-portal.com

Walau kita sebangsa senegara, air dan udara yang kita nikmati bersumber dari tempat yang sama, hari-hari ini kita terkubu ke dua sisi kutub berbeda. Rakyat Indonesia terbagi menjadi Pro Prabowo dan Pro Jokowi. Dengan beraneka argumentasi, tak peduli rasional atau klenik, kita membela sang jago dengan sepenuh hati. Baik alasan ideologis atau cinta tanpa logika, nama Prabowo dan Jokowi tersebutkan dalam bermacam pujian dan pembelaan sampai berbuih-buih.

Saya pribadi tentu mempunyai jago, namun di oret-oret kali ini, saya tidak akan menampilkan kecenderungan keberpihakan kepada salah satu capres, lalu memaksakan pilihan saya kepada pembaca. Saya hanya akan memetakan kekuatan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden dari satu sisi. Saya akan menakar Prabowo dan Jokowi dari segi keterampilan berkomunikasi. Perlu untuk diperhatikan, batasan definisi komunikasi di sini adalah segala perkataan Prabowo dan Jokowi yang ditampilkan di media massa.
***
Jokowi adalah seorang pembicara yang apa adanya. Ia tipe pembicara sederhana dan tak pernah terlihat mengeluarkan pernyataan yang dipaksakan untuk ndhakik-ndhakik menggunakan bahasa teknis dan asing. Ia berbicara seperlunya. Jokowi memiliki tempo bicara yang pelan dan tidak terburu-buru. Hanya saja, dalam beberapa kesempatan, Jokowi terlihat berbicara sambil berpikir dan itu berimbas munculnya jeda antar kata dan kalimat yang terlalu lama. Otomatis dengan gaya seperti itu, kecil kemungkinan Jokowi mampu memukau pirsawan.
Jokowi bukan dilahirkan sebagai orator ulung. Pada saat deklarasi di Rumah Juang, Jokowi tampil berbicara mengumumkan cawapres yang akan mendampinginya, dan sekali lagi, pidatonya tak mempesona. Substansi pernyataannya umum dan sangat biasa. Tak ada unsur yang memiliki daya kejut. Gaya bicaranya walau dipaksakan lantang, tetap saja tak bisa melawan kenyataan bahwa volume suara dan intonasinya terbatas. Jenis pembicara seperti itu, adalah tipe pembicara yang tidak bisa diharapkan mampu menggerakkan massa dalam jumlah besar untuk mengikuti agitasi dan propaganda yang dilontarkannya.
Tipe suara Jokowi cukup nge-bass, nyaman didengar dan berartikulasi jelas. Penyampaian konten pidato relatif runut. Tetapi itu tidak cukup, karena tidak ditunjang dengan nada bicara, ekspresi, dan penekanan yang baik.
Jokowi diplot PDIP sebagai capres dengan dengan jualan jargon Revolusi Mental. Sekejap setelahnya, banyak muncul tuntutan publik agar Jokowi mendeskripsikan jargon itu. Tulisan Jokowi – yang oleh berbagai pihak ditengarai sebagai hasil kerja timnya – hadir di Kompas. Artikel itu menjelaskan panjang lebar konsep Revolusi Mental. Cukup disayangkan, tidak ada yang aktual dan mencengangkan dari tulisan tersebut. Tulisan Jokowi lebih dekat kepada bentuk ajakan dan motivasi standar kepada segenap komponen bangsa untuk memulai segala hal yang baik dari diri sendiri. Jelas, ini menjadi tidak kontekstual karena sebenarnya tulisan tersebut hadir dalam lingkup kontestasi pimpinan skala nasional yang seharusnya menekankan pada aspek nilai kepemimpinan. Menjadi blunder bagi Jokowi, karena seyogyanya ia menahbiskan dirinya sebagai titik pangkal revolusi dan bukan menunjuk hidung rakyat untuk lebih dulu berubah bersama-sama.
Presiden Indonesia bukan hanya pimpinan lokal namun akan memiliki jangkauan skala internasional. Menjadi penting baginya untuk menguasai bahasa pergaulan internasional. Penguasaan bahasa Inggris sangat diperlukan dalam proyek-proyek diplomasi dengan negara lain. Di sebuah forum, Jokowi hadir untuk menyaksikan film produksi asing tentang pengelolaan sampah. Singkat cerita, di akhir acara dibuka sesi tanya jawab dan Jokowi pun bertanya kepada sang sutradara bule. Bahasa Inggris Jokowi tidak bisa dinilai amat buruk, namun juga tak bisa disebut cas cis cus. English Jokowi sedikit plegak-pleguk dan terlihat masih berpikir mencari mengingat vocab.
Mari bergeser ke Prabowo…    
Prabowo memiliki vokal yang bulat dan intonasi yang baik. Prabowo memiliki kelebihan dalam volume suara yang memadahi. Prabowo juga memiliki ketegasan dalam berbicara yang dituangkan dalam penekanan-penekanan yang pas. Pun ia tak segan berteriak dan mengerahkan ekspresi emosi saat berbicara di depan banyak orang.
Dengan latar belakang militer, Prabowo memiliki kelebihan dalam kelugasan menyampaikan pidato. Namun, Prabowo bukan tanpa kekurangan. Di beberapa pidatonya, terlihat ia melakukan pengulangan-pengulangan pada kata yang sebenarnya tidak memiliki tingkat urgensi tinggi dan gemar bermain sinonim yang tidak perlu. Teknik itu terbaca sebagai usaha mengalihkan perhatian pendengar, yang sebenarnya merupakan upaya Prabowo memikirkan kata dan kalimat yang diproduksi berikutnya. Hal ini menyebabkan pidato Prabowo menjadi tidak smooth dan mengalir.
Dalam forum Hari Buruh tanggal 1 Mei 2014, Prabowo terlihat berapi-api berpidato di depan ribuan massa. Prabowo bersusah payah mengidentikkan gaya pidatonya dengan gaya pidato Bung Karno. Namun, ia tidak berhasil. Prabowo tidak memiliki kekayaan kosa kata sebagaimana Bung Karno. Ia juga kurang lihai memainkan alur kalimat per kalimat pidato. Justru yang tertampilkan hanya teriakan-teriakan yang diharapkan mampu menaikkan tensi emosi pendengar.
Secara mudah, pidato Prabowo bisa dikatakan kurang menarik. Yang ia sampaikan adalah hal yang sebenarnya sudah jamak kita baca dan dengar dimana-mana. Ia kurang piawai beretorika. Tidak ada nilai kebaruan yang membuat pendengar menjadi betah untuk terus fokus dan tak beranjak.
Untuk keterampilan berbahasa Inggris, tentu Prabowo sudah tidak perlu diragukan. Ia semenjak sekolah menengah atas sudah mengenyam pendidikan di London. Pada tahun 1981 ia juga mengikuti kursus tentang terorisme di Jerman dan Special Forces Officer Course di Fort Benning, Amerika Serikat.
***
Menjadi repot bagi calon presiden 2014 dalam hal menyamai keterampilan berkomunikasi para pendahulunya. Karena Indonesia memiliki pemimpin dengan keterampilan komunikasi di atas rata-rata, artinya sudah terlanjur ada standar tinggi. Tanpa disebut tentu itu mengacu pada Sang Proklamator, Ir. Soekarno yang terkenal sebagai orator kelas wahid dan namanya agung bergaung di dunia internasional.
Bung Karno memiliki trade mark pidato yang luar biasa menggugah. Para tukang becak, pegawai kantoran, masyarakat umum rela menghentikan kegiatannya demi berkonsentrasi mendengarkan Bung Karno berpidato. Pidato Bung Karno jaminan mutu dan mampu menggerakkan hati dan pikiran rakyat untuk seiring sejalan dengan pola pikir Bung Karno.
Selain Bung Karno, Indonesia memiliki satu lagi pemimpin dengan keterampilan komunikasi yang baik. Dengan gaya pelan dan cenderung membosankan, Pak SBY menurut saya tetap harus diakui sebagai pembicara yang baik. Walau lekat dengan citra peragu, Pak SBY terkenal sebagai pembicara yang sangat hati-hati dan sistematis dalam berbicara. Bahkan ia diakui sebagai pemimpin yang selalu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai kaidah. Berbeda dengan Jokowi yang menyebut “menyadari” menjadi “menyadarin”, misalnya.
Pak SBY adalah sosok perfeksionis dan itu nampak jelas pada pidatonya yang urut, konsisten dan fokus pada permasalahan yang diniatkan. Ia sangat serius dalam pemilihan diksi. Tidak sembarangan dan asal tulis. Tentang gaya berbicara, itu lain soal. Saya setuju pidato Pak SBY tidak menarik secara tampilan, namun substansinya jangan ditanya. Berbeda dengan Prabowo yang isi pidatonya gitu-gitu saja.
***
Beruntung bagi calon presiden 2014, keterampilan berkomunikasi bukanlah satu-satunya variabel penilaian yang ditetapkan rakyat Indonesia dalam memilih pemimpinnya. Keterampilan komunikasi cuma salah satu aspek penting. Hanya saja, keterampilan komunikasi menjadi hal pertama yang akan diperhatikan khalayak umum, dan celakanya, seringkali menjadi standar penilaian tunggal.
Visi, misi dan aksi menjadi hal terdepan yang harus diperhatikan, dipikirkan dan diejawantahkan oleh presiden terpilih. Apa artinya berbicara sampai meniren jika tidak ada realisasi dari janji yang telah diperdengarkan kepada ratusan juta manusia. Apa artinya berpidato sampai radang jika tidak ada tindak lanjutnya.
Keterampilan berkomunikasi menjadi penting karena itulah media aktualisasi dari pemikiran yang bersifat konsep abstrak. Tetapi, jauh lebih tinggi dari itu, yang utama dan maha penting adalah adanya kesatuan antara perkataan dan perbuatan. Kecuali, jika presiden siap disebut sebagai lelaki pendusta nan durjana..









 

1 komentar:

  1. halo om jangan lupa main main ke rumah ane ---> http://radithtux.blogspot.com

    kalo ane pilih om wowo aja si Joki udah ketahuan boroknya banyak jadi ogah milih :P

    BalasHapus