Selasa, 10 Juni 2014

Terima Kasih, Cak Lontong

Cak Lontong di Republik BBM (sumber gambar: kaskus.co.id)
Di tengah hiruk pikuk berita politik pemilihan presiden tahun ini, rasanya kita memerlukan intermezzo sekadar untuk menyeimbangkan hidup dan rasa. Pemberitaan dan pembahasan tentang pilpres sudah pantas disebut overload. Namun, riuhnya sambutan terhadap pilpres tidak bisa kita salahkan, karena merupakan momentum pijakan adanya perubahan menuju perbaikan lingkup nasional. Wajar adanya jika rakyat menyambutnya dengan gegap gempita.
Hanya saja, di tengah segala hard news dan pasang surut kehidupan, kita membutuhkan pelarian yang sehat dan positif. Salah satu yang bisa dipilih adalah menenggelamkan diri dalam tawa. Tertawa adalah cara gratis agar kita tetap waras dan manusiawi.
Sekitar lima tahun ke belakang (atau lebih?), Indonesia mengalami krisis komedian. Acara komedi di televisi hadir dengan cara yang sangat memprihatinkan. Komedi hadir dengan cara tak elok melalui format stripping yang sebenarnya lebih condong mengutamakan profit daripada menghibur pemirsa.
Komedi di televisi dewasa ini memberikan definisi baru tentang kelucuan. Mengejek fisik, melumuri wajah dengan tepung, menakut-nakuti dengan sengaja dan membuka aib pribadi adalah wajah baru lelucon Indonesia. Mengapa ini bisa terus-menerus kita saksikan tiap hari? Mengapa pula acara tersebut dapat bertahan dalam jangka waktu lama?
Televisi sebagai media siar acara komedi yang menghadirkan lawakan dengan cara di atas, jelas dan nyata hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan kualitas joke dan apa imbas dari menyiarkannya. Mereka tidak peduli generasi macam apa yang akan muncul sebagai akibat menyaksikan komedi kasar dan tidak cerdas seperti itu. Yang penting dan di atas segalanya adalah sharing, rating dan uang.
***
Komedi slapstick sampai kapan pun akan mendapat tempat, karena selera pemirsa selamanya berbeda. Komedi yang berhasil membuat orang tertawa melibatkan kesamaan frekuensi di dalamnya. Artinya, kadar kelucuan yang bekerja pada orang per orang memiliki tingkatan. Humor yang dapat membuat tertawa si A, belum tentu berlaku pada si B. Maka, itu adalah pilihan untuk kita tetap menyaksikan atau mengganti saluran acara, toh remote control selalu tergenggam.
Yang menjadi persoalan, dalam jangka waktu yang cukup panjang, kita sama sekali tidak punya pilihan. Acara komedi di TV seperti itu-itu saja. Channel satu dan lainnya menyajikan komedi dengan tipe yang seragam. Membosankan dan menyedihkan.
Untuk beberapa lama saya tidak merasakan apa yang disebut dengan terpingkal-pingkal saat menonton komedi di TV. Saya rindu acara komedi seperti Srimulat, Kirun Cs. dan Ketoprak Humor. Lawakan tradisional nan sederhana, tapi bernas.
Harapan akan hadirnya lawakan yang baik sempat muncul dengan hadirnya acara OVJ. Tetapi perlahan, lawakan mereka diulang-ulang. Kesalahan tidak bisa sepenuhnya kita arahkan kepada Sule, Andre, Parto dan Azis. Mereka hanya korban industrialisasi dan kapitalisme dalam penyiaran televisi.
Komedi memerlukan pemikiran yang mendalam. Komedi adalah paradoks terbesar di hidup ini, bagaimana tidak, lelucon terbaik seringkali didapatkan dengan cara yang sangat serius, dengan perenungan dan kreativitas yang tidak main-main. Lalu, mungkinkah pelawak yang tiap hari menemani kita di TV bisa dengan jernih berpikir, untuk kemudian dapat menghadirkan lawakan orisinil yang selalu baru?
Muara dari acara komedi yang dipaksakan untuk hadir tiap hari adalah lawakan yang menjemukan, lawakan berulang dan lawakan yang kasar. Kemudian jika tidak berhasil mengocok perut pemirsa, akan diambil cara paling pragmatik yaitu menyinggung fisik, menyerempet seks dan memanfaatkan phobia. Jika ini diteruskan, akan lahir generasi yang dangkal dalam mengenditifikasi makna humor, yang pada gilirannya akan menganggap humor sebagai sesuatu yang rendah. Ini berbahaya, karena humor adalah sesuatu yang mulia. Humor tetap menjaga kita menjadi manusia.
***
Sekitar setengah tahun ini, terbitlah matahari harapan di dunia humor Indonesia. Kesegaran muncul dari tokoh bernama Cak Lontong. Komedian bernama asli Lis Hartono mampu kembali membuat saya kepingkel-pingkel, bahkan beberapa kali sampai berair mata.
Cak Lontong sebenarnya bukan orang baru di dunia komedi. Ia sudah lama berkiprah di dunia komedi melalui Loedroek Tjap Toegoe di Institut Teknologi Surabaya. Ia mengawali karier sebagai artis lokal daerah sejak awal periode 90-an. Dari hasil telusuran di dunia maya, hanya sebatas itu info yang saya dapatkan mengenai latar belakang Cak Lontong.
Ada yang luput dari perhatian situs-situs informasi, bahwa sebenarnya di tahun 2006, ketika saya masih duduk di bangku SMA kelas 3, Cak Lontong sempat hadir di acara Republik BBM di Indosiar. Bagi yang lupa, Republik BBM adalah acara parodi tentang pemerintahan imajiner yang menghadirkan kritik melalui lelucon. Masih teringat, Taufik Savalas saat itu duduk sebagai presiden dan Kelik Pelipur Lara sebagai wakilnya. Acara itu juga menaikkan nama Effendi Ghazali sebagai analis komunikasi politik. Acara yang hadir di Senin malam pukul 21.30 – 00.00 tersebut selalu berhasil membuat saya terkantuk-kantuk keesokan harinya.
Cak Lontong di acara itu duduk sebagai menteri. Ia hanya hadir beberapa kali dan itu cukup berkesan bagi saya, lalu berhasil mengingatnya sampai saat ini dan menuliskannya. Cak Lontong kala itu sudah menyita perhatian saya karena lawakan unik yang ia bawakan dengan mimik serius.
Sampai pada maraknya Stand Up Comedy (SUC) sekitar tiga-empat tahun ke belakang, Cak Lontong tiba-tiba muncul kembali di salah satu paket acara. Sekadar info, SUC sebenarnya sudah pernah dirintis almarhum Taufik Savalas. Namun entah mengapa baru nge-hype setelah dihadirkan kembali oleh Pandji, Raditya Dika dan kawan-kawan.
Tanpa mengurangi rasa penghargaan kepada para bintang muda komika yang memang pandai dan kocak, entah mengapa saya lebih bisa menikmati cara tutur Cak Lontong dalam melucu. Ia memiliki cara baru yang sebelumnya susah saya temukan pada diri pelawak-pelawak lain. Spontanitas dan kecepatan berpikirnya sungguh mengagumkan. Leluconnya membolak-balikkan logika. Joke-nya sangat segar dan memiliki daya kejut yang sukar diduga. Sampai-sampai pelawak kawakan Dedi “Miing” Gumelar sambil tergelak berkata kepada Cak Lontong: “Kamu kok bisa lucu banget tuh gimana caranya?”. Sekelas Komeng –yang dikenal sebagai komedian cerdas dan memiliki kecepatan sahutan yang luar biasa- pun tidak jarang dibuat heran oleh skill melawak Cak Lontong dan sering tertawa lepas karenanya.
Cak Lontong adalah komedian verbal. Ia melawak dengan berpikir lalu berbicara. Hal itu terbukti ketika suatu saat Cak Lontong mengisi OVJ dan mati gaya sebab tak ada partner yang mengimbanginya, karena OVJ mayoritas berisi physical comedy.
Lontaran Cak Lontong seperti “Siapa dulu dong… Elu.”, “Kita? Lu aja kali ma gue” dan “Saya akan mengawali hasil survey saya dengan sebuah peribahasa yang berbunyi Buah Jatuh Tidak Jauh…..Kok” sanggup membuat saya geleng-geleng. Ia piawai mengolah bahasa sederhana dan sangat umum sebagai komposisi lawakan yang elegan. Gaya lawakan yang beberapa orang menyebutnya dengan gaya silogisme berhasil menghadirkan kebaruan di tengah keringnya kreativitas dunia humor nasional.
Di acara Indonesia Lawak Klub (ILK), Cak Lontong berhasil menjadi headliner. Ia menjadi lakon yang sengaja ditempatkan di segmen akhir menjelang konklusi yang dibacakan oleh sang konseptor acara sekaligus No Tulen, Maman Suherman. Cak Lontong diplot menjadi gong puncak acara agar pemirsa tetap anteng menyaksikan acara sampai rampung. Ini bukti Cak Lontong telah diakui kapasitasnya.
Sebenarnya, keberhasilan Cak Lontong dalam memproduksi joke tidak bisa kita lepaskan dari peran pengisi acara lainnya seperti Komeng, Akbar dan Denny Chandra. Mereka berperan dalam memberikan pancingan dan umpan, untuk disergap Cak Lontong. Mereka dapat dengan padu bekerja sama melahirkan lelucon yang sangat menghibur. Seperti yang pernah terjadi pada saat Timbul mengumpani Topan dan Leysus, Kholiq dan Kirun memancing Bagyo, Cahyono dan Esther kepada Djojon.
Ada satu kritik dan penyesalan tentang ILK yang akhirnya juga hadir secara reguler lima kali dalam seminggu. Cepat atau lambat ini akan berakibat pada jenuhnya komedian dan penonton. Dengan frekuensi penyiaran sekerap itu, komedian dituntut untuk terus memproduksi lawakan, padahal itu bukan hal yang mudah. Lambat laun joke mereka akan berulang, penonton pun hilang.
Bagaimana pun saya harus berterima kasih kepada Cak Lontong, yang berperan sebagai salah satu tokoh yang mampu meneruskan lajur titik-titik kebahagiaan saya. Semoga Cak Lontong selalu sehat dan terus dianugerahi ide-ide segar. Salam lemper!





2 komentar:

  1. Ya. Cak Lontong memang termasuk cerdas. Dalam keseharian, sebelum memutuskan keluar dari perusahaan konsultan, di kantor dia sering membuat orang-orang sekitarnya tersenyum bahkan tertawa dengan cara yang sama seperti yang dia lakukan saat stand up comedy ataupun ILK.
    Sedikit koreksi, nama lengkap grupnya Loedroek Tjap Toegoe Pahlawan (bahasa Indonesia ejaan lama; dibaca Ludruk Cap Tugu Pahlawan). Selain diundang ke acara-acara kampus, Cak Lontong dan grupnya juga sering muncul di TVRI Jawa Timur dan SCTV pada tahun 1990-an, sebelum kantor pusat SCTV pindah ke Jakarta.
    Ada satu lagi acara yang serupa Republik BBM di Metro tv, hostnya Denny Chandra, pemain pendukungnya Jarwo Kuat, kadang ada Butet Kertaradjasa. Entah, saya lupa nama acaranya.
    Pernah juga muncul di acara sahur, lupa tahun berapa, di Indosiar, pembawa acaranya Vincent dan Desta.
    Saya suka Cak Lontong sejak lama,jadi seperti Anda, penampilan dia di tv sependek apapun membekas diingatan.
    Di ILK, "kabarnya" (belum dapat verifikasi), Cak Lontong memang dikontrak eksklusif mulai bulan Mei, jadi dia harus tetap ada di setiap episode. Walaupun belum tahu juga untuk berapa lama. Dia mulai sering muncul di ILK sejak bulan Februari.
    Tapi ada yang saya khawatirkan juga. ILK tayang 5 kali dalam 1 minggu, dari Senin hingga Jum'at. Selain khawatir bosan, juga soal kekurangan materi. Kebiasaan tv di Indonesia, apapun yang lagi "hits" di explore habis-habisan, tayang stripping tiap hari. Karena iklannya banyak, duit yang masuk berlimpah. Setelah 1-2 tahun penonton bosan, kehabisan materi bagus, acara dihentikan.
    Lawakan Cak Lontong memang beda dari yang lain, makanya materi pun lebih susah di dapat. Apalagi, kata Cak Lontong di Mata Najwa, karena ada tv dan youtube lawakan dia akan lebih cepat tersebar luas. Sehingga lawakan yang sama akan mudah dikenali orang, jadi tidak lucu lagi kalau dibawakan berulang. Beda dengan penyanyi, satu lagu diulang beratus kalipun orang maklum.
    Semoga Cak Lontong tidak kehabisan materi, dan tim kreatif ILK tidak membuat Cak Lontong mentok dan tidak kreatif hanya karena sudah berada di zona nyaman. Dan satu lagi, semoga Cak Lontong tidak lebay. Karena kecenderungan itu ada di beberapa episode terakhir ILK.
    Salam.

    BalasHapus
  2. salam hangat dari kami ijin informasinya gan, dari kami pengrajin jaket kulit

    BalasHapus