Kamis, 11 September 2014

Udang Di Balik Pilkada Lewat DPRD

sumber gambar: eteknix.com
Seminggu ini, energi perhatian kita dipaksa untuk menoleh ke berita panas yang lagi-lagi berasal dari ladang politik. Kumpulan partai politik yang menjuluki dirinya sebagai koalisi merah putih dan dipandegani oleh Gerindra melempar wacana melalui RUU Pilkada yang membelalakkan mata publik. Mereka ingin mengubah teknis pemilihan bupati/walikota kembali seperti di era Orde Baru, yaitu dengan mekanisme pemilihan oleh perwakilan rakyat di DPRD.
Argumentasi yang mereka dengungkan untuk menghapus pemilihan langsung oleh rakyat adalah bunyi sila ke-4 Pancasila yang bertitik tekan pada kata permusyawaratan/perwakilan. Tafsir mereka terhadap sila tersebut menjadi dasar pemilihan kepala daerah seharusnya melalui sistem perwakilan di dewan. Titik lemah lain yang menjadi sorotan koalisi merah putih, di pemilihan langsung yang telah berlangsung semenjak 2005 relatif tidak berhasil melahirkan pemimpin yang amanah. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya pemimpin daerah yang tersandung kasus korupsi. Pemilihan langsung juga dianggap memiliki cost yang sangat tinggi.
Cost di sini berada dalam makna denotatif dan biaya sosio-kultural yang harus dibayar sebagai konsekuensi logis dihelatnya pemilihan langsung. Pemilihan langsung oleh rakyat tidak bisa dipungkiri menghabiskan sekian milyar sekali jalan. Di tingkat pemilihan lurah saja tidak kurang setengah milyar harus digelontorkan oleh sang calon untuk memenangkan pemilihan. Tinggal dikalilipatkan sekian kali, maka dapat kita bayangkan seberapa banyak tumpukan rupiah yang terhambur di setiap lima tahunnya.
Persoalan tidak selesai sampai di situ, sebab, setelah seorang calon mengeruk tabungannya untuk memenangkan pertarungan, apakah rela begitu saja membuang uang yang dikumpulkannya puluhan tahun atau bahkan hasil berutang. Tentu saja tidak semudah itu. Pasti sang calon terpilih menginginkan kembalinya modal, atau wajarnya pasti ingin untung. Pada kondisi ini, kekuasaan tidak lagi menjadi sarana pengabdian untuk perbaiki sistem dan kehidupan rakyat, namun didasarkan pada kalkulasi bisnis berorientasi profit. Kemudian yang terjadi, darimana sang calon terpilih mengembalikan modal dan  menangguk keuntungan adalah sebuah pertanyaan retoris.
Biaya sosio-kultural yang saya maksudkan ialah maraknya politik uang menjelang pelaksanaan pemilihan langsung. “Memilih atau tidak” dan “memilih siapa” menjadi barang dagangan yang mau tidak mau dipenuhi oleh sang calon. Entah siapa yang mulai, yang jelas rakyat masuk ke dalam lingkaran setan politik transaksional berlatar belakang keuntungan ekonomi. Rakyat dididik menjadi makhluk politik dengan cara yang tak elok. Belum lagi munculnya potensi konflik horizontal antar pendukung yang tidak jarang memakan korban jiwa dan remuknya sarana prasarana umum.
Pemilihan oleh DPRD menurut sebagian orang memiliki risiko yang lebih rendah. Di sana dikatakan bahwa lingkup korupsi hanya akan berada di lingkungan dewan, tidak merembet sampai ke lorong-lorong gang sempit permukiman warga. Pun dinyatakan, risiko konflik dan bentrokan fisik akan lebih minim dan sebagainya.
Jika kita bandingkan dengan pemilihan oleh DPRD, maka rentetan kalimat di atas sepertinya akan memenangkan pemilihan DPRD secara telak terhadap pemilihan langsung. Namun nanti dulu. Kiranya perlu kita bedah satu per satu.
***
Secara cost politik, pemilihan langsung memang relatif lebih mahal daripada pemilihan oleh DPRD. Tetapi, masalahnya tidak sesederhana itu. Pemilihan DPRD bukannya tanpa risiko berarti. Perlu diingat, pemimpin yang terpilih dari keputusan pemilihan anggota DPRD, kelak berkemungkinan lebih memusatkan pikirannya untuk me-maintenance hubungan baik dengan anggota DPRD. Rakyat hanya akan menjadi pihak yang termangu karena tak diacuhkan pemimpin melalui program kerja yang berpihak padanya. Sang bupati atau walikota memiliki probabilitas menjadi kasir anggota DPRD yang telah memilihnya. Yang terjadi berikutnya ialah politik balas budi. Balas budi kepada segelintir “rakyat” yang duduk di kursi empuk dewan terhormat.
Lagipula, pemilihan melalui DPRD akan mencederai spirit demokrasi yang selama ini diagung-agungkan di Indonesia. Katanya, demokrasi adalah tentang dari, oleh dan untuk rakyat. Jika pemilihan melalui DPRD, maka dimana letak “oleh rakyat”, di sudut mana kemudian hasilnya akan dinikmati “untuk rakyat”, di tepian mana unsur “dari rakyat” akan disisipkan?
Wacana kembalinya pilkada oleh DPRD hanya akan diinisiasi oleh mereka yang mengalami ketakutan jika harus dihadapkan pada keputusan rakyat. Mereka tidak cukup percaya diri untuk berhadap-hadapan dengan “kekuasaan” rakyat. Karena mereka merasa tidak bekerja dan hasilnya dapat dirasakan rakyat. Dengan pilkada langsung, risiko tinggi lebih dekat kepada mereka yang sebenarnya tidak melakukan apa-apa untuk rakyat. Rakyat akan menghukumnya. Oleh karena itu, mereka merasa lebih aman jika pilkada dilaksanakan dengan sistem perwakilan. Dengan sistem perwakilan, mereka akan bisa mendayagunakan segala upaya di dalam dinginnya gedung parlemen untuk tetap mendapatkan kue.
Ada selentingan, koalisi merah putih mati-matian pertahankan usulan pilkada melalui DPRD dalam rangka show-off force. Mereka sadar, berdasar hasil pemilu 2014, berhasil menggalang kekuatan untuk menjadi mayoritas di parlemen pusat. Dengan catatan koalisi merah putih tetap solid, maka mereka akan dengan mudah menggolkan RUU Pilkada menjadi UU. Jadi, sebetulnya tidak ada niat luhur untuk perbaiki sistem. Yang ada hanya kepentingan pragmatis semata. Katanya begitu..
***
RUU Pilkada yang diusung oleh koalisi merah putih yang diisi Gerindra dan kawan-kawan telah memakan “korban”. Kader cemerlang yang dimiliki Gerindra memilih untuk hengkang karena keputusan partai sudah tidak sesuai dengan idealisme yang ia pegang. Ahok dengan meyakinkan telah mengirimkan surat pengunduran diri sebagai kader Gerindra. Ahok tenang-tenang saja disebut sebagai kutu loncat, -karena telah berpindah dari Golkar ke Gerindra, dan dari Gerindra entah kemudian kemana-, daripada disebut sebagai kutu busuk.
Berita terakhir yang terdengar, Ridwan Kamil hari ini (11/9) nekad menghadiri rapat koordinasi luar biasa forum kepada daerah se-Indonesia untuk membahas RUU Pilkada. Dikatakan nekad karena ia tidak memiliki ijin dari Gerindra untuk menghadiri acara tersebut. Padahal kita ketahui, Kang Emil menjadi Bandung 1 melalui kendaraan Gerindra. Akankah ia menjadi The Next Ahok?
Tentang Ahok dan Ridwan Kamil, bukankah ia adalah sosok yang telah dijadikan model kepala daerah yang baik? Bukankah kita juga mengenal Bu Risma di Surabaya? Bukankah kita telah mendengar nama Bima Arya di Bogor? Yakinkah kita, mereka akan terpilih jika pilkada melalui DPRD? Ingat ‘kan mereka bisa duduk di kursi kepala daerah melalui mekanisme apa? Memang anggota DPRD adalah wakil rakyat, tapi apakah ada jaminan keputusan DPRD adalah cerminan nyata suara rakyat?
***

Rasio normal kita akan bekerja dan pasti akan menyimpulkan bahwa pemilihan oleh DPRD dan pemilihan langsung memiliki plus minus masing-masing. Tinggal kita lakukan perhitungan matematis politis yang cermat dan jangan gegabah. Memang memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi seyogyanya tetap harus dipetakan teknis pemilihan yang memiliki lebih banyak kelebihan dan mengandung mudharat paling minim. Jika memang pilkada lewat DPRD identik dengan Orba, dan Orba lekat dengan citra yang oleh banyak pihak ingin ditinggalkan jauh-jauh, mosok kita mau kembali ke sana? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar