sumber gambar: eteknix.com |
Seminggu
ini, energi perhatian kita dipaksa untuk menoleh ke berita panas yang lagi-lagi
berasal dari ladang politik. Kumpulan partai politik yang menjuluki dirinya
sebagai koalisi merah putih dan dipandegani oleh Gerindra melempar wacana
melalui RUU Pilkada yang membelalakkan mata publik. Mereka ingin mengubah
teknis pemilihan bupati/walikota kembali seperti di era Orde Baru, yaitu dengan
mekanisme pemilihan oleh perwakilan rakyat di DPRD.
Argumentasi
yang mereka dengungkan untuk menghapus pemilihan langsung oleh rakyat adalah
bunyi sila ke-4 Pancasila yang bertitik tekan pada kata permusyawaratan/perwakilan. Tafsir mereka terhadap sila tersebut menjadi
dasar pemilihan kepala daerah seharusnya melalui sistem perwakilan di dewan. Titik
lemah lain yang menjadi sorotan koalisi merah putih, di pemilihan langsung yang
telah berlangsung semenjak 2005 relatif tidak berhasil melahirkan pemimpin yang
amanah. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya pemimpin daerah yang tersandung
kasus korupsi. Pemilihan langsung juga dianggap memiliki cost yang sangat tinggi.
Cost di
sini berada dalam makna denotatif dan biaya sosio-kultural yang harus dibayar
sebagai konsekuensi logis dihelatnya pemilihan langsung. Pemilihan langsung
oleh rakyat tidak bisa dipungkiri menghabiskan sekian milyar sekali jalan. Di
tingkat pemilihan lurah saja tidak kurang setengah milyar harus digelontorkan
oleh sang calon untuk memenangkan pemilihan. Tinggal dikalilipatkan sekian
kali, maka dapat kita bayangkan seberapa banyak tumpukan rupiah yang terhambur
di setiap lima tahunnya.
Persoalan
tidak selesai sampai di situ, sebab, setelah seorang calon mengeruk tabungannya
untuk memenangkan pertarungan, apakah rela begitu saja membuang uang yang
dikumpulkannya puluhan tahun atau bahkan hasil berutang. Tentu saja tidak
semudah itu. Pasti sang calon terpilih menginginkan kembalinya modal, atau
wajarnya pasti ingin untung. Pada kondisi ini, kekuasaan tidak lagi menjadi
sarana pengabdian untuk perbaiki sistem dan kehidupan rakyat, namun didasarkan
pada kalkulasi bisnis berorientasi profit. Kemudian yang terjadi, darimana sang
calon terpilih mengembalikan modal dan menangguk keuntungan adalah sebuah pertanyaan
retoris.
Biaya
sosio-kultural yang saya maksudkan ialah maraknya politik uang menjelang
pelaksanaan pemilihan langsung. “Memilih atau tidak” dan “memilih siapa”
menjadi barang dagangan yang mau tidak mau dipenuhi oleh sang calon. Entah
siapa yang mulai, yang jelas rakyat masuk ke dalam lingkaran setan politik
transaksional berlatar belakang keuntungan ekonomi. Rakyat dididik menjadi
makhluk politik dengan cara yang tak elok. Belum lagi munculnya potensi konflik
horizontal antar pendukung yang tidak jarang memakan korban jiwa dan remuknya
sarana prasarana umum.
Pemilihan
oleh DPRD menurut sebagian orang memiliki risiko yang lebih rendah. Di sana
dikatakan bahwa lingkup korupsi hanya akan berada di lingkungan dewan, tidak
merembet sampai ke lorong-lorong gang sempit permukiman warga. Pun dinyatakan,
risiko konflik dan bentrokan fisik akan lebih minim dan sebagainya.
Jika
kita bandingkan dengan pemilihan oleh DPRD, maka rentetan kalimat di atas
sepertinya akan memenangkan pemilihan DPRD secara telak terhadap pemilihan
langsung. Namun nanti dulu. Kiranya perlu kita bedah satu per satu.
***
Secara
cost politik, pemilihan langsung
memang relatif lebih mahal daripada pemilihan oleh DPRD. Tetapi, masalahnya
tidak sesederhana itu. Pemilihan DPRD bukannya tanpa risiko berarti. Perlu
diingat, pemimpin yang terpilih dari keputusan pemilihan anggota DPRD, kelak
berkemungkinan lebih memusatkan pikirannya untuk me-maintenance hubungan baik dengan anggota DPRD. Rakyat hanya akan
menjadi pihak yang termangu karena tak diacuhkan pemimpin melalui program kerja
yang berpihak padanya. Sang bupati atau walikota memiliki probabilitas menjadi
kasir anggota DPRD yang telah memilihnya. Yang terjadi berikutnya ialah politik
balas budi. Balas budi kepada segelintir “rakyat” yang duduk di kursi empuk
dewan terhormat.
Lagipula,
pemilihan melalui DPRD akan mencederai spirit demokrasi yang selama ini
diagung-agungkan di Indonesia. Katanya, demokrasi adalah tentang dari, oleh dan
untuk rakyat. Jika pemilihan melalui DPRD, maka dimana letak “oleh rakyat”, di
sudut mana kemudian hasilnya akan dinikmati “untuk rakyat”, di tepian mana unsur
“dari rakyat” akan disisipkan?
Wacana
kembalinya pilkada oleh DPRD hanya akan diinisiasi oleh mereka yang mengalami
ketakutan jika harus dihadapkan pada keputusan rakyat. Mereka tidak cukup
percaya diri untuk berhadap-hadapan dengan “kekuasaan” rakyat. Karena mereka
merasa tidak bekerja dan hasilnya dapat dirasakan rakyat. Dengan pilkada
langsung, risiko tinggi lebih dekat kepada mereka yang sebenarnya tidak
melakukan apa-apa untuk rakyat. Rakyat akan menghukumnya. Oleh karena itu,
mereka merasa lebih aman jika pilkada dilaksanakan dengan sistem perwakilan. Dengan
sistem perwakilan, mereka akan bisa mendayagunakan segala upaya di dalam
dinginnya gedung parlemen untuk tetap mendapatkan kue.
Ada
selentingan, koalisi merah putih mati-matian pertahankan usulan pilkada melalui
DPRD dalam rangka show-off force. Mereka
sadar, berdasar hasil pemilu 2014, berhasil menggalang kekuatan untuk menjadi
mayoritas di parlemen pusat. Dengan catatan koalisi merah putih tetap solid,
maka mereka akan dengan mudah menggolkan RUU Pilkada menjadi UU. Jadi,
sebetulnya tidak ada niat luhur untuk perbaiki sistem. Yang ada hanya
kepentingan pragmatis semata. Katanya begitu..
***
RUU
Pilkada yang diusung oleh koalisi merah putih yang diisi Gerindra dan
kawan-kawan telah memakan “korban”. Kader cemerlang yang dimiliki Gerindra memilih
untuk hengkang karena keputusan partai sudah tidak sesuai dengan idealisme yang
ia pegang. Ahok dengan meyakinkan telah mengirimkan surat pengunduran diri
sebagai kader Gerindra. Ahok tenang-tenang saja disebut sebagai kutu loncat, -karena
telah berpindah dari Golkar ke Gerindra, dan dari Gerindra entah kemudian kemana-,
daripada disebut sebagai kutu busuk.
Berita
terakhir yang terdengar, Ridwan Kamil hari ini (11/9) nekad menghadiri rapat
koordinasi luar biasa forum kepada daerah se-Indonesia untuk membahas RUU
Pilkada. Dikatakan nekad karena ia tidak memiliki ijin dari Gerindra untuk
menghadiri acara tersebut. Padahal kita ketahui, Kang Emil menjadi Bandung 1
melalui kendaraan Gerindra. Akankah ia menjadi The Next Ahok?
Tentang
Ahok dan Ridwan Kamil, bukankah ia adalah sosok yang telah dijadikan model
kepala daerah yang baik? Bukankah kita juga mengenal Bu Risma di Surabaya?
Bukankah kita telah mendengar nama Bima Arya di Bogor? Yakinkah kita, mereka
akan terpilih jika pilkada melalui DPRD? Ingat ‘kan mereka bisa duduk di kursi kepala daerah melalui mekanisme
apa? Memang anggota DPRD adalah wakil rakyat, tapi apakah ada jaminan keputusan
DPRD adalah cerminan nyata suara rakyat?
***
Rasio
normal kita akan bekerja dan pasti akan menyimpulkan bahwa pemilihan oleh DPRD
dan pemilihan langsung memiliki plus minus masing-masing. Tinggal kita lakukan
perhitungan matematis politis yang cermat dan jangan gegabah. Memang memiliki
kelebihan dan kekurangan, tetapi seyogyanya tetap harus dipetakan teknis pemilihan
yang memiliki lebih banyak kelebihan dan mengandung mudharat paling minim. Jika memang pilkada lewat DPRD identik dengan
Orba, dan Orba lekat dengan citra yang oleh banyak pihak ingin ditinggalkan
jauh-jauh, mosok kita mau kembali ke
sana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar