Minggu, 12 Oktober 2014

Tentang Yogya, Apartemen dan Hotel-Hotel

(sumber gambar: whatamimissinghere.com)
Pada suatu Jumat, saya bersama seorang kawan kembali dari masjid yang letaknya hanya sepelemparan batu dari kantor. Tak berapa jauh keluar dari halaman masjid, tibalah kami di suatu perempatan kecil yang mau tidak mau harus dilewati untuk menuju ke tempat berkarya sehari-hari. Seketika, saya pun menoleh ke salah satu tepi perempatan tadi.
Menurut runutan ingatan yang seketika terpanggil, saya berkesimpulan bahwa ada sesuatu yang berubah di sana. Benar saja, sebidang sawah siang itu sedang diuruk dengan gundukan tanah yang diangkut oleh truk-truk ukuran sedang. Beberapa pohon yang mengelilinginya pun sudah mulai ditumbangkan. Mungkin berlebihan, tapi saat itu juga suasana hati saya memburuk.
Sebidang sawah yang subur, dan selalu bisa membuat siapapun yang melewatinya akan merasa tentram, sedang mendapat sentuhan pembangunan. Usai diuruk, dengan segera akan dialienasi dari sekitar melalui pemasangan penutup seng yang tinggi. Tak lama lagi, sawah akan tinggal sejarah. Bangunan baru pun berdiri dengan angkuh dan gagah.
Saya selalu terganggu dengan segala hal yang berkaitan dengan konversi lahan. Saya orang yang tidak ikhlas melihat pepohonan ditebang. Kemudian akan memikirkannya di sepanjang waktu berikutnya. Rentetan pertanyaan pun menyusul. Bagaimana keadaan sepuluh tahun yang akan datang? Bagaimana nasib anak cucu kita nanti? Berapa juta ton lagi beras yang akan diimpor? Masih segarkah udara yang kelak kita hirup?
***
Pertumbuhan adalah cita-cita. Pembangunan adalah keniscayaan. Suatu program tentu membawa konsekuensi logis yang mengikutinya. Pendirian bangunan otomatis akan berakibat pada berkurangnya lahan. Celakanya, di antara beribu-berjuta lahan yang terkonversi selama ini, pasti terdapat lahan subur dan produktif.
Alih fungsi lahan merupakan isu sensitif dalam periode waktu yang sangat panjang dan telah menjadi polemik yang tak kunjung bermuara pada solusi final. Pembahasan mengenai konversi atau alih fungsi lahan jika kita perluas, akan dengan mudah menyentuh pada dimensi-dimensi yang tak bisa dalam sehari dua hari dapat dirampungkan. Konversi lahan selalu tentang tumpang tindihnya berbagai masalah yang sukar diurai. Ia akan menggesek pada tema-tema tentang tata kelola pemerintahan, demografi, pergeseran budaya dan sub bahasan lain yang demikian rumit dan dinamis.
***
Di negara agraris seperti Indonesia, isu sentral yang mendapat perhatian tak jauh-jauh dari kekhawatiran terjadinya krisis pangan. Di Indonesia, -yang juga dikenal sebagai tulang punggung paru-paru dunia- isu utama yang pasti mendapat tempat ialah tentang ekologi manusia, pemanasan global dan keberlangsungan mega biodiversitas. Isu-isu tersebut tak bisa dilepaskan dari konversi lahan, yang dianggap sebagai ancaman.
Konversi lahan sepertinya sebuah frasa yang sederhana dan sangat mudah diucapkan, namun identik dengan permasalahan besar nan dilematis. Bagaimana tidak, di tengah pertambahan jumlah penduduk dan luas daratan yang segini-segini saja, tentu kebutuhan akan lahan menjadi pasti. Sementara, di seberangnya terdapat lingkungan yang harus dirawat, karena itu pun tentang kehidupan.
***
Uraian di atas lahir atas dasar pemandangan sehari-hari yang saya saksikan di Yogyakarta. Kota budaya, kota pelajar dan kota batik sedang terimbas laju modernitas yang mustahil (?) dibendung. Lahan-lahan hijau, perumahan penduduk, tanah lapang berubah wujud dan fungsi. Mengarahkan laju roda ke hampir tiap sudut Yogya maka akan dipertemukan dengan bangunan-bangunan megah baru yang sudah dan sedang didirikan.
Hotel-hotel berdiri seolah tanpa kendali, yang katanya untuk menghadapi tingginya okupansi. Penawaran apartemen menghiasi billboard di setiap spot strategis. Perumahan-perumahan baru mulai menjamah ujung dusun yang tadinya dihuni kunang-kunang dan kawan-kawannya.
Penduduk terpapar efek sudah mulai bersuara. Sumur-sumur mulai asat disedot tanpa ampun oleh pompa dahsyat dari modal besar sang pengusaha. Sawah-sawah dari hari ke hari berkurang sehektar demi sehektar. Pepohonan satu per satu dirobohkan. Berganti dengan besi beton yang kerontang.
Tidak tahu harus mengeluh dan menyalahkan siapa jika sudah seperti ini. Tetapi yang saya tahu, apa yang sedang terjadi di Yogyakarta (dan kota lain di seluruh dunia) adalah perpaduan kompleksitas bermacam faktor. Di balik sawah yang menjadi apartemen, terdapat anak sang petani yang lebih memilih menjual tanah pertanian warisan untuk dibelikan Low Cost Green Car. Ia malas untuk terjun berkotor-kotor menyentuh lumpur bersama kerbau. Si ayah pun sudah mulai enggan mengolah lahannya karena harga pupuk mahal dan musim mulai sukar ditebak, belum lagi bertemu dengan tengkulak yang siap mempermainkan harga hasil panen.
Di balik sawah yang menjadi hotel, terdapat niat luhur pemerintah untuk tingkatkan kesempatan kerja. Sektor jasa dan konstruksi merupakan sektor yang dirasa cukup menjanjikan untuk menyerap angka pengangguran, yang berperan pada penurunan persentase kemiskinan. Hotel diharap menjadi titik pertumbuhan yang beranak-pinak. Dari situ akan muncul warteg, tempat cuci mobil, laundry, gerai pulsa dan tempat servis sepeda motor. Bayangkan, sudah berapa manusia yang dipekerjakan?
Di balik ladang palawija yang berubah menjadi perumahan terdapat harapan pasangan pengantin baru yang ingin segera hidup mandiri terbebas dari omelan mertua. Di sana ada putra pak tukang batu yang harus segera dibelikan sekaleng susu formula. Di sana digantungkan pula kehidupan perbankan yang kegiatan utamanya melayani angsuran perumahan dengan sekian persen bunga.
Membahas alih fungsi lahan sebenarnya sama saja sedang membahas kehidupan. Kehidupan selalu berkelindan dengan perubahan dan perkembangan yang merupakan ketetapan alam. Lalu, kalau sudah demikian, tersisakah kegelisahan tentang kelestarian lingkungan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar