Rabu, 29 Oktober 2014

Bu Menteri Susi dan Cyber Bullying

(sumber gambar: stopcyberbullying.org)
Beberapa hari ini, pemberitaan media massa terpusat pada pengumuman menteri di Kabinet Kerja yang dinakhodai Pak Jokowi. Adalah wajar rasanya jika moment penting yang diharap menjadi titik tolak perbaikan bangsa mendapat perhatian yang begitu besar dari publik. Tidak selesai di sana, corong baru suara masyarakat bernama media sosial pun menjadi wahana untuk menyuarakan isi hati dan pikiran. Penggiatnya ramai bersuara.
Lebih khusus kita kerucutkan bahasan di media massa dan media sosial, maka dapat dengan mudah kita akan sepakat bahwa lampu sorot saat ini sedang diarahkan kepada Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Memang, bukan tanpa alasan Bu Susi menjadi bahasan khalayak. Beliau seolah menjadi sosok pertama yang mendobrak pakem yang sudah ada. Sebagaimana mindset yang telah ada di diri kita, jika membicarakan menteri atau pejabat tinggi pemerintahan, maka otomatis benak kita akan terarah pada tokoh sopan, alim, serius yang tingkah lakunya serba teratur dan diatur. Namun, Bu Susi jauh dari kesan itu. Jauh sekali.
Saat diwawancarai tak lama usai dilantik Pak Jokowi sebagai menteri, Bu Susi duduk ngelesot di rumput halaman istana. Kemudian, beliau juga melepas sepatunya yang ber-hak tinggi. Klimaksnya, beliau meminta ijin kepada para pewarta yang merubungnya untuk sejenak mengisap rokok. Sejak saat itu, Bu Susi ramai diperbincangkan. Ditambah, latar belakang pendidikannya yang SMA saja tidak rampung, pun di kakinya terukir tattoo. Makin marak saja bahasan tentang Bu Menteri nyentrik itu.
Guliran opini terus tertulis. Beragam pendapat wira-wiri. Ada yang memuji, tapi tidak sedikit yang mencaci Bu Susi karena penampilannya. Tulisan kali ini sebenarnya akumulasi keheranan dan kegelisahan saya sejak lama tentang fenomena era internet yaitu makian di media sosial (cyber bullying), yang mendapat momentum untuk dituangkan ketika caci-maki jamak diarahkan kepada Bu Susi.
***
Bully atau caci maki bukanlah barang baru di kehidupan manusia. Hal itu sudah ada mungkin semenjak awal peradaban manusia muncul. Namun, bully mencapai puncak dan menjadi permasalahan baru saat ia disalurkan melalui ruang baru bernama media sosial. Bully merajalela dengan kecepatan tinggi melalui dunia maya yang dapat dengan mudah diakses siapapun dimanapun kapanpun dewasa ini.
Tengoklah ke kolom-kolom komentar portal berita online, instagram, facebook dan linimasa twitter, maka gampang kita temukan komentar bernada negatif kepada seseorang atau sekelompok orang yang tertampil. Cercaan dan pisuhan sangat fasih tertulis. Kata-kata kotor tak senonoh terutarakan berlarik-larik. Padahal sering teramati, korban cacian tidak mem-posting status atau foto yang provokatif dan menyerang pihak tertentu, tapi sekonyong-konyong beberapa peng-comment berkata: “Eh lu ya wanita murahan, sukanya ngerebut suami orang!”, “Elu itu kok mau sih sama cowok ga berguna kayak dia?” dan banyak lagi cercaan yang tak jarang menyebut kawan-kawan kita dari suaka margasatwa.
Tak habis pikir, mengapa sampai terkatakan kata-kata berselera rendah seperti itu. Haqqul yaqin, korban bully di media sosial adalah mereka yang sebenarnya secara personal tidak dikenal oleh sang pem-bully. Jangankan mengenal, mungkin bertemu secara langsung saja belum. Jika suatu kali bertemu muka, yang niscaya terjadi, si pem-bully akan malu-malu salim, minta tanda tangan dan berfoto bersama.
***
Era internet menghasilkan permasalahan khas yang disebabkan oleh kemudahan akses dan mengijinkan user-nya untuk menjadi anonim. Ketika siapapun dengan bebas mengakses dan diberikan privilege untuk menyembunyikan jati dirinya, maka ia dapat bebas mengeluarkan sisi dirinya yang mustahil berani diaktualisasikan ketika harus membawa identitas diri asli. Akhirnya, kebencian demi kebencian tersampaikan tanpa saringan.
Tidak berlebihan jika harus dikatakan, internet memiliki efek negatif berupa lahirnya manusia-manusia –jika terlalu berlebihan disebut generasi- pengecut. Mereka tipe manusia pelempar cercaan sembunyi identitas. Walau internet menghapus batas-batas geografis dan piawai memperluas cakrawala pengetahuan, oleh mereka yang picik, tempat semulia internet dijadikan ladang yang hina dan tak berguna. Internet yang menawarkan fasilitas kebebasan justru disalahgunakan.  
Internet sekadar media. Ia “barang” netral. Ia seperti pisau yang terserah penggunanya akan digunakan untuk mengupas mangga atau menikam dada tetangga. Perlu kebijaksanaan untuk menggunakannya.
Internet adalah produk mutakhir yang sangat besar manfaatnya. Sayang sekali jika harus digunakan untuk tempat saling menyakiti dan merendahkan. Manfaat tak didapat, justru dosa yang tercatat.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar