Minggu, 16 November 2014

Temui Aku, Sayang..


(sumber gambar: stevewhitlock.com)

Seingatku, beberapa tulisan terakhirku selalu menyentuh tema hard news yang kaku dan serius. Tema seperti itu lebih berkemungkinan membuat pembaca jenuh dan mengernyitkan dahi, karena di media massa mainstream sudah banyak termuat. Si penulis rupanya juga ingin melompat ke tema personal yang lebih cair. Ya, kali ini aku akan menceritakan diriku  sendiri. Boleh lah ya..
Jadi gini, awal Bulan November 2014 ini, aku sejenak menepikan diri dari hiruk-pikuk kesibukan sehari-hari di Yogyakarta. Aku mengambil cuti tahunan selama lima hari. Lima hari yang tertulis, tapi karena menabrak hari Sabtu dan Minggu, jadi total cutiku tujuh hari wkwkwk..
Aku terakhir mengambil cuti di Bulan Juni 2013 saat bulan madu dulu (uhuk! sorry mblo). Sebenarnya, Bulan Juli 2014 lalu sudah libur lebaran sekitar seminggu juga. Tapi yang namanya cuti yang bukan cuti bersama lebih mantap terasa.
Sejatinya, cuti kali ini kuambil dengan alasan bukan karena sudah mengalami kejenuhan karena rutinitas. Namun lebih disebabkan ada keperluan terkait urus-mengurus berkas kelengkapan sebagai warna negara yang baik bla bla bla something lah. Aku harus mengurus ATM yang kadaluarsa dan SIM yang minta diperpanjang, yang semua itu wajib kulakukan di Purwodadi Grobogan, kota berjuluk The City of Heaven (ga usah protes!). Harus begitu karena saya masih ber-KTP-kan sana. Belum sempat mengurus dan masih terasa berat untuk melepaskan identitas asli kota tumpah darah.
Dengan cuti dan menikmati waktu senggang di Purwodadi, berarti saya bisa berjumpa dengan orang-orang terkasih yang sudah sekitar tiga bulan tidak kujumpai. Walaupun secara rutin bertelepon dan berkirim pesan, rasanya tidak cukup. Perjumpaan tidak bisa menggantikan upaya lain untuk mengobati kerinduan.
***
Selama seminggu di Purwodadi, kunikmati dengan menjalin kebersamaan bersama orang tua dan saudara. Berwisata dan menapaktilasi tempat-tempat yang menyimpan banyak kenangan. Salah satu yang kutelusuri adalah jalan menuju ke SMP-ku.
Aku juga berkeliling ke lingkungan sekitar SMP bersama Bu Ryan. Kudapati, gerbang samping yang masih menggunakan pintu besi karatan yang sama. Di dekat gerbang itulah dulu aku memarkir sepeda onthel kebanggaanku. Bergeser ke halaman depan, terlihat gedung sudah banyak berubah. Ruang kelas tiga sudah ditinggikan dan itu berarti segala lantai dan temboknya tidak lagi sama dengan yang sekian tahun lalu kutempati. Eh, tiba-tiba tak sengaja kulihat Ibu penjual makanan yang ternyata masih berjualan di kantin SMP berdiri tak jauh dariku. Untuk diketahui, aku lulus SMP pada tahun 2003, sudah lebih dari satu dekade yang lalu. Banyak yang berubah tetapi ada yang tetap sama seperti dulu. Apa kabar kawan-kawanku di sana? Mantan-mantanku, kalian baik-baik saja bukan? #tsah..~
Di hari yang berbeda, untuk suatu keperluan aku berada di depan SMA-ku, SMAN 1 Purwodadi. Kuamati dari dalam kendaraan, sekolah yang buanyak sekali menyimpan memori indah itu sudah berbeda. Yang paling kentara terlihat, bangunan sudah berdiri dua lantai dan berpendingin udara. Jamanku mana ada begitu, kalau panas ya buka kancing baju, buka jendela sambil kipasan.
Halaman yang dulu luas sekarang habis untuk parkir sepeda motor. Padahal selama aku di sana antara 2003 – 2006, parkir motor hanya di dua titik, itu pun masih banyak menyisakan rongga sisa. Sekarang, masya Allah, halaman depan dan halaman samping kanan kiri yang mengeliling lokal kelas tiga dikurung gerombolan sepeda motor siswa.
Sempat kutanyakan ke teman yang bekerja di sana, penambahan jumlah sepeda motor yang sangat besar dimulai sekitar tahun 2008. Mungkin berbarengan dengan fenomena mudahnya syarat untuk membawa pulang motor dari dealer. Dulu, di jamanku, sepeda motor masih belum sebanyak sekarang dipakai siswa.
Aku mulai diperbolehkan Bapak memakai sepeda motor di kelas dua SMA sejak memiliki SIM C. Dalam seminggu aku hanya tiga kali menggunakan motor. Itu pun terpaksa karena ada kegiatan penting setelah jam sekolah seperti les bimbingan belajar, mboncengin pacar dan lain-lain. Tiga hari sisanya, bus umum ukuran medium kupilih sebagai kakiku menuju dan pulang  sekolah. Lebih nyaman dan  bisa ongap-angop sambil lirak-lirik cewek dari SMA lain.. (--,)
Sekian menit ada di depan gerbang sekolah, dengan segera terlintas wajah teman-teman, guru-guru dan gebetan. Tiba-tiba juga berseliweran citra diri yang dulu sempat bertahun ada di tempat itu. Lalu aku sadar, moment itu adalah moment terjauh yang mustahil untuk didatangi kembali.. :”)
***
Sebagai orang yang ditakdirkan menjadi perantau, pulang dan perjumpaan menjadi kemewahan yang selalu kutunggu. Dimulai saat berkuliah di Bogor, aku mulai berurusan dengan jarak. Dengan rumah yang berjarak kurang lebih 500km dari kampus, bagaimana bisa aku tidak bersinggungan dengan kenangan-kenangan yang jauh aku tinggalkan di sana?
Mulai saat itu, aku harus berpisah dengan Bapak Ibu dan orang-orang terdekat. Disambung dengan harus tinggal di Yogya untuk berkarya setelah lulus. Walau jarak lebih pendek, namun tetap saja perjumpaan langsung dengan mereka menjadi perhelatan langka. Intensitas dan frekuensi pertemuan tentu tak bisa disamakan dengan dulu tatkala masih berdekatan.
Tulus di dalam hati, selalu ada kerinduan yang terasa. Namun aku sadar, itu konsekuensi yang harus kuambil untuk menggapai capaian-capaian yang akan lebih sukar terwujud jika aku memilih tinggal Purwodadi. Karena sebagaimana kau tahu, Purwodadi adalah megapolitan yang menuntut kompetensi tertentu untuk memenangkan persaingan dalam mendapatkan kehidupan yang layak. Hihihi..
Pasti banyak perantau yang di palung hatinya merasakan hal sama dengan yang kurasakan. I feel you, Bro. I feel you. Begitulah, kami sangat akrab dengan kosakata pulang, perjumpaan dan kenangan. Bersyukurlah yang dari lahir sampai sekarang bisa selalu berdekatan dengan orang tua dan orang tercinta. Bisa setiap saat bersenda gurau dan berbincang tentang apa saja yang dialami di hari itu. Tidak melalui telepon, BBM, WhatsApp, Line atau telegram. Perjumpaan menang telak dibanding itu semua.
Di dalam perjumpaan terkandung nuansa hangat dan keakraban. Langsung dapat terasa dan tersentuh apa-apa yang ditemui. Berbeda dengan media komunikasi jarak jauh yang maksimal hanya dapat mengakomodasi suara dan gambar semata. Tak terakses aroma, kedipan mata, dan ekspresi air muka lawan bicara.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar