Senin, 06 Juli 2015

Kisah Epik Carlos Bacca

(sumber gambar: fanhuawei.com)
Minggu-minggu ini, berita tentang AC Milan berseliweran di media cetak dan portal online. Sebagai Milanisti sejak kelas 5 SD, tentu saya sensitif dan terpanggil untuk menelisiknya. Usut punya usut, terpampangnya nama Il Diavolo Rosso di judul dan badan berita disebabkan sosok bernama Carlos Bacca.
Para peminat dan penikmat sepakbola internasional, niscaya tidak asing dengan nama di atas. Saya pribadi, sekilas pernah mendengar nama itu. Tapi belum mengkhususkan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang dirinya.
Nama Bacca melambung saat membawa Sevilla menjadi juara Liga Europa dua kali berturut-turut. Tempo hari, ia dinobatkan sebagai Man of The Match dalam laga final melawan klub asal Ukraina, Dnipro Dnipropetrovsk. Sangat beralasan ia dinobatkan sebagai pemain terbaik dalam partai yang berakhir dengan skor 3-2 itu. Bacca mencetak dua gol dan satu assist.
Dengan kiprah mentereng bersama Sevilla, AC Milan tertarik untuk merekrutnya. Dikabarkan, Bacca telah resmi mendarat di klub milik mantan perdana menteri Italia, Silvio Berlusconi. Bacca dihargai 30 juta Euro dan akan menggunakan nomor punggung 70.
Bacca akan diproyeksikan sebagai mesin gedor AC Milan yang musim lalu terseok-seok di Serie A. Ia akan disandingkan dengan pemain anyar Milan yang baru didatangkan dari Shaktar Donetsk, Luiz Adriano. Dua bomber berbahaya yang semoga membawa perubahan bagi tim kesayangan.
***
Berbicara mengenai pemain yang direkrut AC Milan, sempat menjadi Man Of The Match dan pernah menjuarai trofi, akan dengan mudah ditemukan. Tetapi Bacca adalah anomali. Bacca menjadi pengecualian.
Saya terperangah membaca profil dirinya. Terutama saat mencapai baris yang membahas di usia berapa ia mengawali karier sebagai pemain sepakbola. Tak seperti pemain bola profesional lain yang dapat dipastikan minimal sejak usia belasan, bahkan balita sudah masuk di akademi sepakbola. Bacca hanya pesepakbola jalanan dan baru mengikuti audisi pemain di klub lokal Kolombia pada usia 20 tahun!
Usia 20 tahun memang usia yang masih sangat muda sebagai manusia. Tetapi, kategori usia sepuh sebagai pintu awal memasuki dunia sepakbola. Bandingkan misalnya dengan Messi dan Cristiano Ronaldo. Di usia itu, seluruh dunia sudah mengelukan namanya.
Bacca, sampai usia 20 tahun, masih pemuda kampung, dekil lagi miskin. Ia berasal dari kalangan keluarga tak berpunya. Untuk menyambung hidup, ia bekerja sebagai nelayan dan kernet bus. Sungguh sebuah bidang usaha yang jika tak dihubung-hubungkan misalnya sebagai sumber protein dan angkutan pemain sepakbola, maka sama sekali bukan lingkup yang berkaitan dengan olahraga paling tenar sedunia.
Entah memungut ilham darimana, Bacca berinisiatif untuk mengikuti seleksi di klub liga setempat, Atletico Junior. Rupanya klub itu ditunjuk Tuhan sebagai jalaran awal kariernya. Singkat cerita, ia lolos dan diterima menjadi pemain. Rupanya, nasib masih menggoda. Tuntas terpilih menjadi pemain di Atletico Junior, tidak serta merta ia masuk menjadi pemain inti. Ia dipinjamkan ke tim divisi dua Kolombia, Baranquilla dan Minerven, selama hampir tiga musim.
Setelah berpetualang ke tim divisi bawah, Bacca dipanggil kembali ke Junior untuk menjadi punggawa dalam kompetisi teratas Kolombia. Pemanggilan berdasar kiprah Bacca yang mencetak 38 gol dari 65 penampilan. Musim pertama di Junior, kegemilangan berpihak padanya. Ia menjadi top scorer di Piala Kolombia. Selama tiga musim di Junior, ia dua kali menjadi pencetak gol teratas sekaligus mengantar Junior menjadi juara liga.
Rejeki tak kemana. Radar klub-klub Eropa mampu menangkap sinyal performa apik Bacca. Diawali Lokomotif Moscow terus memepet untuk membelinya. Tetapi, Bacca lebih berjodoh dengan klub besar Belgia, Club Brugge.
Pada musim kedua di Belgia, ia menjadi pemain terbaik dan top scorer liga utama Belgia. Bacca tak cukup puas dengan prestasi itu. Bagaimanapun Belgia bukan kiblat sepakbola Eropa dan dunia. Ia lalu menjatuhkan pilihan pada Sevilla di Spanyol, negeri dengan salah satu liga terbaik dunia.
Di Sevilla, ia mengukir prestasi prestisius. Klub besar Eropa berebut. Liverpool dan AC Milan serius bersaing untuk mendapatkan tanda tangannya. Akhirnya, walau harus memendam rasa karena musim depan tak berkiprah di Liga Champions, Bacca bermuara di Rossoneri.
***
Dari coretan di atas, rasanya tentu dapat ditarik garis nilai luhur yang patut diperhatikan. Bacca pantas dijadikan role model sekaligus sumber decak kagum. Ia contoh teladan yang tuntas untuk ditiru. Ia pemeran terbaik dari sinetron berjudul kehidupan. Bacca menjadi lakon kemenangan dari berbagai kemungkinan yang ditawarkan Tuhan.
Bacca ditunjuk menjadi sumber inspirasi dunia. Bacca bukti nyata bahwa entitas bernama kehidupan selalu penuh dengan cerita nyaris musykil namun ada. Di awal usia kepala dua, ia bukan siapa-siapa. Gadis dusun di Puerto Colombia, bahkan enggan hanya sekadar untuk meliriknya. Penumpang bus yang dikernetinya pasti terpuruk dalam penyesalan mendalam, mengapa dulu tak berkarib dengannya. Kompatriot seperahu setempat pelelangan ikan tak mengira begini naskah takdirnya.
Sekarang, belum sampai satu dasawarsa dari awal kariernya, seluruh dunia menyebut namanya. Ribuan artikel terketik demi tampilkan ceritanya. Bertumpuk uang ditukar untuk mendapatkan jasanya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar