Jumat, 03 Juli 2015

Ramadan adalah Momentum

(sumber gambar: wikipedia)

Saat dituangkannya tulisan ini di program Microsoft Word, puasa Ramadan 1436 Hijriah sudah memasuki tahap sepuluh hari kedua. Di ibadah yang dilaksanakan berdasar Firman Allah SWT di Al Baqarah ayat 183 tersebut, kita mendapat beragam keistimewaan yang tidak didapatkan di bulan lainnya. Pahala dan ampunan diobral. Upah ibadah lebih besar dan banyak dibanding bulan lainnya.
Bulan Ramadan memang bukan bulan biasa. Makan, minum dan kegiatan terkandung nafsu manusiawi lainnya diharamkan di siang hari. Tak bisa dibantah, untuk menahan segala kenikmatan duniawi bukanlah suatu hal yang mudah. Segala hal yang rutin bisa kita rasakan, di bulan ini harus kita tunda sampai matahari tiba di peraduan.
Ibadah puasa adalah sebenar-benar ibadah yang hanya berurusan dengan Allah. Berbeda dengan ibadah lain yang masih terdapat kemungkinan untuk mendapat persaksian manusia. Sholat berjamaah, tetangga kita tahu. Syukuran, satu RW menghadiri. Ibadah haji, satu kelurahan hadir ke pengajian sebelum dan setelah dari Mekah. Dengan seperti itu, selalu ada potensi untuk muncul ujub dan riya’. Berbeda dengan puasa. Puasa atau tidaknya kita, hanya Allah dan diri sendiri yang tahu. Puasa merupakan ibadah yang langsung diukur dan disaksikanNya.
Sungguh, aslinya kita terpaksa untuk menerima perintah untuk berpuasa. Bagaimana tidak, fitrah manusia adalah makhluk yang mudah menyerah pada keindahan nikmat dunia. Ibadah puasa menegasikan semua kesempatan untuk tunduk pada nafsu yang sudah built-in dengan jiwa manusia. Tentu bukan perkara sepele untuk melawan default semenjak lahir.
Dengan keterpaksaan dan keikhlasan yang sedang diperjuangkan, namun kita takzim patuh melaksanakan perintahNya, maka di situlah letak keutamaan ibadah. Allah tahu kita terpaksa dan mengaku sulit menjalankan, namun karena ketaatan dan rasa cinta padaNya kita tetap menunaikan, maka di sanalah Allah akan “terenyuh” dan memberikan segala keberkahan. Karena, hakikat ibadah adalah segala yang diperintahkanNya. Sampai muncul perintah dan diwajibkan, maka sebenarnya Allah mafhum hal itu tidak enteng untuk dilaksanakan. Jika mudah, enak, nikmat dan murah mengapa harus diperintah, karena dengan sendirinya kita akan melakukan penuh gairah.
***
Di Bulan Ramadan, kita sering mendengar kalimat larangan untuk berbohong dan segala hal buruk lainnya. “Jangan bohong lho, puasa ‘kan?”, “Jangan ngomongin orang. Ga dapet pahala nanti!” dan beragam kalimat saran/larangan lainnya. Puasa identik dengan menahan tindakan negatif yang di bulan lain biasa kita lakukan.
Memang benar, berbohong, menggunjing dan marah akan mengurangi nilai puasa kita. Memang betul itu semua sedapat mungkin kita perjuangkan untuk tidak terjadi selama Ramadan. Pertanyaannya, jika memang terlarang di Ramadan, apa berarti halal di luar Ramadan?
Kecenderungan fakta saat ini, kemaksiatan sangat bebas terjadi di luar bulan puasa. Di bulan puasa, semua orang berlomba-lomba untuk menjadi insan terbaik. Tidak salah bulan puasa dipredikati bulan penuh ampunan dan pahala, maka dengan dasar itu, kita men-setting diri kita menjadi sholeh sholehah. Tetapi alangkah baiknya jika bulan puasa tidak hanya kita posisikan sebagai bulan penebusan dosa dan perbanyakan amal baik. Rasanya sangat elok apabila Ramadan juga kita pandang sebagai momentum perbaikan diri tanpa henti.
Dengan menjadikan Ramadan sebagai momentum, maka ia akan menjadi tonggak perbaikan diri secara kontinyu yang otomatis akan terikuti di bulan lainnya. Semua kebaikan sebisa mungkin tidak hanya mandheg di akhir Ramadan. Usainya Ramadan bukan berarti penghalalan untuk kembali ke karakter asal seperti sebelum Ramadan tiba. Kebaikan yang terukir saat Ramadan seyogyanya diteruskan di seluruh alur waktu kehidupan kita berikutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar