Senin, 14 September 2015

Cerita dari Jakarta

(sumber gambar: Voa Indonesia)
Seminggu kemarin, saya bersama kawan-kawan mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Jakarta. Tak seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, kami berkesempatan untuk lebih merasakan dan mengamati Jakarta secara langsung. Kami menyentuhnya tanpa perantara.
Bahasan tentang Jakarta tentu sudah ribuan tumpuk banyaknya. Sehingga apapun tentangnya, pastilah jauh dari kabar yang benar-benar mengandung kebaruan. Maka, tulisan ini tak lebih dari sekadar deskripsi pandangan mata penulis.
***
Jakarta minggu lalu terbuat dari keleluasaan kami untuk bersentuhan dengan banyak orang. Beberapa kali kami makan dari penjual kaki lima yang terserak di dan dari segenap penjuru. Dari sekian kali bersantap, tak sekali pun kami temukan penjual yang asli penduduk Jakarta. Mereka perantau tangguh dari daerah yang jauh.
Ayam goreng nasi uduk dijual oleh seorang berbadan makmur asli Cirebon, tapi tercatat sebagai anggota perkumpulan pedagang Solo. Mie ayam disajikan oleh ibu dari Wonogiri, yang berangkat tiap pagi buta untuk berjualan. Nasi goreng dibuat bapak dengan gaya rambut belah tengah dari Pekalongan. Sop Buah dengan irisan buah tanpa hitungan, diracik oleh ibu beranjak sepuh dari Pemalang. Sopir taksi yang mengantar dari bandara ialah Pak Sudarijadi yang bertutur kata lembut asal Surabaya. Pecel untuk sarapan dijajakan oleh bapak dengan kumis yang entah lupa dirapikan atau sengaja untuk nggaya, dari nDanyang Purwodadi.
Sebagai seorang perantau juga, bertemu dengan seperjuangan sedaerah rasanya aduh, ada sensasi berbeda. Kalau tak ingat bakal jadi perhatian semua orang di tempat makan, sebenarnya Pak Slamet penjual pecel ingin kuajak selfie. Rupanya belum sampai hati ini. Bukan apa-apa, saya ngeri tergesek kumisnya.
Di mana pun pedagang makanan, terutama yang berkeliling, pasti tak akan terlewat oleh pertanyaanku tentang dari mana asalnya. Apalagi ketika tahu Jakarta yang penuh dengan perantau, maka siap-siap saja, mereka dengan nrithik akan kutanyai. Tak tahu, begitulah kebiasaanku. Selalu saja ingin tahu tentang mereka yang rela jauh dari keluarga dan tempat kelahiran untuk menjemput peruntungan nasib.
***
Jakarta minggu lalu tampil dengan semakin hijaunya jalanan. Bukan. Bukan karena Ahok telah berhasil menghadirkan semakin banyak kawasan hutan kota. Warna hijau yang mendominasi jangkauan penglihatan berasal dari kostum kerja pengemudi layanan ojek aplikasi ponsel cerdas, Go-Jek dan GrabBike.
Di tiap perhentian traffic light, di tepi-tepi jalanan, di sela-sela kepadatan kendaraan, helm dan jaket hijau selalu eksis. Mereka telah menjadi fenomena ibu kota. Tentu telah sampai ke telinga kita, kehadiran ojek berkonsep baru itu menimbulkan beragam polemik. Konflik dengan ojek pangkalan pun tak terelakkan. Perebutan lahan rezeki adalah problem klasik dan lintas zaman.
Yang mengherankan, saya terjebak ambivalensi dalam memandang masalah Go-Jek dan GrabBike ini. Ketika dihadapkan pada bahasan Alfamart dan Indomaret, tanpa berpikir saya berpendapat tak seharusnya dua toko kelontong modern itu dengan mudah berdiri tanpa kajian mendalam. Mereka saingan tak imbang bagi para pedagang bermodal kecil. Maka, wajib hukumnya pemerintah melakukan proteksi.
Namun, ketika Go-Jek dan GrabBike muncul dan membuat ojek konvensional murka, saya dengan spontan menulis tweet berseri, yang berinti “itulah persaingan, siapa yang tidak adaptif, siap-siap tergusur.” Ketika kemudian itu saya renungkan, ternyata saya bersikap mendua. Sikap tentang Alfamart dan Indomaret begini, Go-Jek dan GrabBike begitu.
***
Jakarta dengan beragam cerita selalu ada untuk diutarakan. Segenap permasalahan menunggu untuk diurai. Terlepas dari itu, Jakarta masih saja menjadi magnet. Triliunan uang berputar dan di bawahnya jutaan orang menunggu tetesan.
Salut kepada para pejuang di Jakarta. Dengan keadaan yang demikian, mereka tetap bertahan. Kemacetan yang membuatku singunen, sanggup dihadapi setiap hari. Sampai jumpa dengan kisah lainnya, Jakarta..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar