(sumber gambar: palgrave.com) |
Dalam
hidup bermasyarakat, menjadi wajar apabila kita mendapatkan undangan untuk
menghadiri pernikahan. Perhelatan agung dalam perjalanan hidup setiap manusia
itu harus disambut dengan suka cita. Pun wajib hukumnya untuk dikabarkan ke
sanak saudara.
Undangan
diberikan dengan maksud memohon doa dan restu agar acara pernikahan berjalan
lancar sekaligus sang mempelai dapat membina keluarga bahagia sesuai dengan
harapan. Untuk memudahkan pemberitahuan, undangan era ini dibuat dalam bentuk
cetak dengan berbagai macam format dan desain. Mulai dari kertas biasa sampai
dengan bentuk unik digulung dalam botol. Dalam perkembangannya, undangan selain
mencantumkan nama mempelai, tempat dan waktu pelaksanaan pernikahan, juga
mencantumkan gelar akademik kedua mempelai dan orang tua.
***
Dari
sekian banyak undangan pernikahan yang saya terima tahun ini, semuanya
mencantumkan gelar akademik di depan atau belakang nama mempelai dan orang tua.
Namun, akhirnya jelang akhir tahun 2015 ini saya dapati undangan yang menjadi
pengecualian. Di sana, sama sekali tidak dicantumkan gelar akademik dari
mempelai dan orang tuanya. Padahal diketahui, mempelai merupakan lulusan
perguruan tinggi terkenal dan sang orang tua lulusan program magister.
Menurut
saya, idealnya seperti itu. Karena titel akademik memiliki lingkup di wilayah pendidikan dan profesionalisme pekerjaan. Sedangkan, pernikahan
adalah ibadah yang berwilayah urusan pribadi antara umat dengan Tuhannya.
Hanya
saja tidak bisa dimungkiri, titel akademik dalam konteks keindonesiaan sudah
menjelma menjadi simbol kebanggaan dan status. Banyak dari kita berdalih, titel
dicari dengan susah payah dan melibatkan biaya berjuta-juta. Sayang sekali
untuk tidak dicantumkan. Akhirnya, menjadi lazim titel akademik terbawa-bawa
sampai ke ranah yang bukan seharusnya.
Tetapi,
semua orang bebas memilih. Mencantumkan gelar tidak masuk neraka, tidak dicantumkan pun tidak disemprit polisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar