Kamis, 03 Maret 2016

Kritikus dan Praktisi

sumber gambar: rumahinspirasi.com
Pengamat politik bisanya cuma ngomong saja. Coba dong kasih bukti nyata!” Tak jarang kita menemukan kalimat seperti itu sebagai gugatan terhadap orang yang dianggap hanya bisa berbicara, mengkomentari, dan mengkritik tanpa diikuti dengan pemberian solusi terhadap permasalahan yang ia soroti.
Memang sudah sewajarnya, kita menginginkan adanya kesatuan antara apa yang dikatakan dan dilakukan. Kita menuntut agar omongan dilanjutkan dengan aksi nyata dan tidak berhenti pada buih busa suara yang tak berarti apa-apa. Sah-sah saja ada tuntutan seperti itu jika kita membahas pada tataran ideal, bahwa seharusnya seseorang selain mengkritik dan mengkomentari juga harus memberikan solusi dan aksi.
Namun mungkin kita lupa, manusia yang berjumlah milyaran mempunyai jatah lakon dan maqom yang berbeda satu sama lain. Tuhan sebagai Maha Sutradara sudah menyusun skenario sebaik mungkin, agar keseimbangan hidup terjadi. Perbedaan peran mutlak ada agar naskah berjalan sesuai rencana.
***
Secara sangat sederhana, peran manusia di dunia ini dapat dibagi menjadi dua yaitu kritikus dan praktisi. Praktisi adalah orang yang berperan sebagai pelaku. Di kutub seberangnya, kritikus muncul sebagai wasit yang bertugas mengingatkan. Kritikus muncul sebagai mekanisme kontrol terhadap praktisi. Apabila praktisi bebas kontrol, maka beragam kekeliruan, penyalahgunaan, dan penyelewengan akan mudah terjadi. Maka di antara keduanya sudah tercipta simbiosis yang tak terpisahkan.
Pembagian peran antara kritikus dan praktisi adalah pembagian yang seimbang, tidak ada yang tersubordinasi. Kritikus dan praktisi merupakan kelas peran yang setara. Tak ada yang di atas dan di bawah.
Bila kita contohkan, maka akan ada kritikus sastra dan sastrawan, komentator olahraga dan olahragawan, analis politik dan politikus. Kritikus sastra, komentator olahraga, dan analis politik berada dalam genus kritikus. Sastrawan, olahragawan, dan politikus berada dalam lingkup praktisi.
***
Secara konsep, kritikus dan praktisi berbeda, tetapi dalam dunia yang memiliki kompleksitas tiada tara, kritikus dan praktisi terkadang tumpang tindih dalam realitasnya. Ada satu orang yang terkadang jadi praktisi terkadang berposisi sebagai kritikus. Ada pula, usai jadi kritikus kemudian seseorang menjadi praktisi atau sebaliknya.
Dahulu, Indra J. Piliang adalah kritikus atau pengamat politik, namun dalam perkembangannya terjun ke politik praktis dengan memasuki Partai Golkar. Pun dengan Bima Arya Sugiarto, dahulu adalah pengamat yang kemudian memasuki Partai Amanat Nasional dan berhasil memenangkan pilkada Kota Bogor.
Berkebalikan dengan Danurwindo, Gary Lineker, dan Paul Scholes. Mereka bertiga sebelumnya adalah praktisi sepakbola sebagai pelatih dan pemain. Namun sekarang menjadi kritikus sepakbola.
Ada contoh lain?

1 komentar:

  1. Bagaimana dengan kita sebagai penikmat, praktisi bukan, pengamat pun bukan? bagaimana cara menyikapi hal tersebut?
    thanks

    BalasHapus