(sumber gambar: vemale.com) |
Belum
lama ini, saya bertemu seorang pria paruh baya yang baik hati. Sebut saja ia
Pak Jose. Pak Jose ini seorang pegawai di sebuah instansi yang berlokasi di luar
Pulau Jawa.
Nampaknya,
Pak Jose seorang yang gemar bercerita. Banyak sekali pengalaman dan kisah
hidupnya yang terbagi ke saya hanya dalam hitungan jam. Mulai dari
ketertarikannya terhadap Yogyakarta, kisah keluarga, masa lalunya, dan sampai
kepada hal yang cukup pribadi seperti perjalanan karier, tersampaikan dengan
runutnya.
Tanpa
sungkan bercerita, Pak Jose mengaku baru saja kehilangan jabatan. Sekitar
setahun belakangan, ia menjadi satu dari sekian ratus pejabat yang dinonjobkan
oleh rezim gubernur yang baru.
Di
tempat Pak Jose bekerja, intrik politik dan kedekatan dengan penguasa masih menjadi
penentu karier seseorang. Pak Jose yang pernah menjadi kepala kantor, sekarang
hanya menjadi staf biasa. Pejabat yang lekat dengan posisi strategis,
menentukan, dan ber-prestise,
sekarang hanya disibukkan dengan pekerjaan clerical.
Bayangkan saja bagaimana rasanya.
Pak
Jose mengatakan, kadang masih muncul penyesalan mengapa ia sejak awal tidak
mencoba mengamankan jabatannya dengan mendekat ke jaringan para penguasa. Namun
sisi hati yang lain berkata, itu cara yang tidak fair dan tidak sesuai dengan idealismenya.
***
Tak
dimungkiri, Pak Jose masih merindukan masa-masa di mana ia memegang jabatan dan
kekuasaan. Ia sering teringat dengan mantan anak buahnya yang jumlahnya tidak
sedikit. Timbul tanya, kemana dan sudah jadi apa mereka. Tetapi yang jelas terjawab,
mayoritas mantan anak buah sudah melupakannya.
Tak
dinyana, di saat hujan deras mengguyur, notifikasi pesan berbunyi di ponsel Pak
Jose. Pesan itu berbunyi: “Pak Jose, ini
saya Edi, sedang berteduh di bangunan yang dulu menjadi proyek Bapak. Saya jadi
ingat Bapak.”
Pesan
dari Edi, mantan anak buah Pak Jose, terbaca sebagai sebuah pesan yang
sederhana. Bukan jenis kalimat yang berbunga-bunga. Pun tanpa diksi yang
dibuat-buat agar bernuansa puitik melodramatik.
Tetapi
jangan salah, ternyata penerimaan Pak Jose jauh dari yang terbayangkan. Pasca
membaca pesan itu, Pak Jose menggambarkannya kepada saya: “Walau cuma kayak gitu, Yan. Sms-nya cuma kayak gitu itu. Tapi, rasanya
langit runtuh saking senengnya Bapak, Yan.”
Pak
Jose lalu berpesan agar kita selalu menjalin silaturahmi dengan siapa pun. Tak
ada salah dan ruginya, bahkan silaturahmi akan menelurkan berbagai kebaikan
yang acapkali tidak terduga datangnya.
***
Banyak
dari kita yang berhubungan dengan orang lain hanya ketika butuh, hanya saat
dianggap menguntungkan saja. Bersikap baik dan mundhuk-mundhuk dengan atasan hanya ketika beliau masih memimpin
kita. Lalu melupakannya begitu saja ketika pindah atau purna tugas.
Versi
Pak Jose, nilai diingat ialah seagung runtuhnya langit. Sebuah metafora yang menggambarkan
betapa diingat itu berkadar sangat tinggi. Langit perasaan Pak Jose tak kuat menanggung
daya kejut bercampur tersanjung yang amat sangat, sampai kemudian runtuh. Padahal
cuma karena diguncang selarik sms oleh mantan anak buahnya.
Edi,
sang mantan anak buah, mungkin tanpa tendensi apa-apa saat meng-sms Pak Jose. Tetapi nyatanya, penerimaan Pak Jose begitu
dalam dan sedemikian melankoliknya. Maka, kita tak boleh meremehkan sekecil
apapun upaya untuk mengingat jasa dan peran seseorang. Sekadar mengingat, tidak
mahal dan tidak sulit, bukan?
Refleksi yang pas untuk pengiring kopi pagi, mengingatkan kita semua tentang pentingnya persahabatan yg dibangun sejak lama, lalu terus dibina, dipupuk. Terima kasih sharingnya Ryan
BalasHapusTerima kasih Pak Josef atas respons dan apresiasinya. Doakan agar saya bisa mengikuti jejak inspiratif Pak Josef.. :)
Hapus