(sumber gambar: express.co.uk) |
Di
palung hati nurani kita terdalam, ukuran penghormatan terhadap orang lain sejatinya
masih didasarkan pada keluhuran budi pekerti. Orang baik dan sholeh akan tulus
kita hormati.
Dalam
konsep kasta Hindu, titik tertinggi kelas manusia diduduki mereka yang termasuk
dalam golongan Brahmana, yakni para pandita, sosok yang terdekat dengan
Tuhannya. Dalam Al Quran disebutkan, yang paling tinggi derajatnya adalah orang
yang beriman. Namun rupanya, di bumi yang sudah sepuh ini, konsep luhur dalam
dua agama itu diingkari habis-habisan.
Orang
baik boleh jadi masih dihormati, namun dalam realitasnya, seringkali yang
dijunjung-junjung, ditandu-tandu, dan disubya-subya
ialah mereka yang paling kaya di antara kita. Maka, ketika tumpukan harta menjadi
standar penghormatan, menjadi tidak mengherankan jika semua orang
berlomba-lomba mengumpulkannya.
***
Dalam
khasanah kehidupan modern, paham materialisme telah menjadi pakem yang dianut. Ketika
pakem telah dianut, maka sisik melik kehidupan otomatis diarahkan ke sana. Oleh
karena harta menjadi standar penghormatan, maka ukuran kebahagiaan pun mengikuti.
Harta teraih, dihormati, kebahagiaan terwujud, kesempurnaan hidup tercapai,
begitulah gumaman kita setiap waktu.
Tak
bisa dibantah, kaya, dihormati, dan bahagia memang madu yang sangat manis. Saya
sangat setuju, dan masih turut serta bersama rombongan besar lain berusaha untuk
menggapainya. Saya harus ikut memperebutkan, karena saya juga anak kandung
jaman ini, yang mau tidak mau telah masuk ke dalam konsensus materialisme yang
maha agung.
***
Saat
tengah berpeluh menggapai standar demi standar di atas, saya ditunjukkan
pemandangan yang menggetarkan. Sekumpulan tukang bangunan tengah bersantap di
siang hari nan panas. Mereka makan dengan lauk lelah dan rasa lapar. Mereka
makan sangat lahap seakan belum pernah makan dan seolah tiada hari esok untuk bersantap
lagi.
Saya
pun tercenung dan merasa bahwa pemandangan itu ditampilkan untuk menegur, bahwa
masih ada kenikmatan dan kebahagiaan dari hal-hal yang sebenarnya setiap hari
terlalui. Lahapnya Pak Tukang menunjukkan betapa mereka habis tenaga dan
kepanasan. Dari cara makannya, tercermin kenikmatan tiada tara, yang saya
yakini sebagai kenikmatan yang jarang atau bahkan tidak pernah dirasakan orang
yang bekerja dengan duduk di kursi empuk dalam ruangan berpendingin.
Suatu
kali saya pergoki, pengirim kerupuk dari warung ke warung bersiul-siul
mendendangkan lagu kegemarannya. Tidak terlihat beratnya usaha menjemput
rejeki. Semua dilalui dengan senang hati tanpa beban. Pun, sore itu saya
menangkap basah seorang penjaja makanan tepi jalan, sedang menyajikan dagangan
dari gerobak sambil berjoget mengikuti beat
lagu Fool Again milik Westlife. Jogetnya sangat khusyuk, sampai-sampai ia tidak
sadar saya memandanginya sambil mengulum senyum.
***
Pak
Tukang, Pak Penjual Kerupuk, dan Mas Berjoget menjadi aktor yang lebih piawai
dalam menafsirkan dan menampilkan apa itu kebahagiaan, tanpa peduli pada teori
kebahagiaan yang ramai-ramai dianut dewasa ini. Banyak orang rasanya harus
berguru kepada mereka dalam hal pengaplikasian paham kebahagiaan. Karena kaum
serba berkecukupan harta, tidak jarang bermuka masam, dahi berkerut, dan
kantung mata bergelambir. Lukisan nyata tuntutan deadline, target bulanan, dan gunjingan tetangga.
Kaum
berada dan segala tercukupi acapkali melewatkan hal-hal sederhana untuk
disyukuri dan dimaknai. Perhatian mereka terpusat pada bagaimana cara untuk
terus menumpuk apa-apa yang apabila dituruti tak akan ada habisnya. Hingga
kemudian terlupa bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada suatu hal yang
mereka sangkai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar