Rabu, 29 Maret 2017

Langgam Pilihan Cara Makan


Secara tema, tulisan ini akan membahas sesuatu yang terlihat sebagai sesuatu yang remeh dan tidak esensial. Namun, mohon tuan dan puan pembaca berkenan untuk sejenak menjernihkan sanubari. Apabila membicarakan persoalan makan, maka sebenarnya kita membahas suatu hal paling inti, mendasar, dan primer dari kehidupan kita sebagai manusia.
Makan dalam hal ini akan langsung menukik pada bubur ayam, telur goreng, ayam tepung, soto, dan bakso pangsit. Bahasan akan dihadapkan pada langgam pilihan atau madzab cara makan.
Bubur ayam adalah tentang diaduk atau tidak. Telur goreng dalam memakan putih atau kuningnya terlebih dahulu. Ayam tepung selalu tentang kapan kulitnya dimakan. Soto, soal nasinya dipisah atau dicampur. Bakso pangsit memunculkan masalah soal kapan momentum dikremusnya pangsit nan crunchy, atau saat sudah kepleh-kepleh terkena kuah.
***
Bubur Ayam
Dalam soal diaduk atau tidak, akan melibatkan sudut pandang estetis sekaligus paradigma yang dianut dalam soal rasa. Saya penganut radikal paham bubur ayam tidak diaduk. Secara tampilan, yang dapat secara terang benderang diterawang, bubur ayam tidak diaduk akan mengijinkan kita untuk secara rinci menelisik ke seluruh komposisi yang menyusun sang bubur.
Tidak diaduk berarti ekuivalen dengan masih nyatanya suwiran ayam, cakwe, seledri, kuah kuning kecoklatan yang mengkilat, bubur putih menggoda, kerupuk, dan emping yang pasrah menunggu. Berkebalikan, diaduk akan membuat seluruh bahan penyusun bubur menjadi luruh menyatu, hilang menyaru, lalu pada gilirannya akan menampilkan pemandangan yang sungguh sangat hyekjis.
Bubur ayam tidak diaduk sangat berhubungan dengan jiwa penikmat yang memiliki rasa seni adiluhung. Ia tidak rela semua bahan hilang tak menampilkan orisinalitas. Pun demikian, bubur tidak diaduk akan memunculkan gaya makan pelan-pelan dari pinggir. Sang penikmat akan secara sabar mulai dari tepian, lalu perlahan ke tengah secara telaten. Ia adalah sosok yang mementingkan penampilan dan keaslian rasa dari setiap unsur bubur. Perlambang seorang pribadi yang bercita rasa dan berperadaban tinggi.
Kontras berbeda dengan penikmat bubur diaduk. Niscaya ia adalah sosok yang tidak peduli penampilan, dan sangat mungkin ia adalah jamaah dari sebuah tarikat kuliner yang taqlid kepada sesuatu yang bernuansa hakikat. Walau bubur akan terlihat klintrek-klintrek cenderung nggilani, ia akan tetap secara tuma’ninah menikmatinya. Secara personal, patut diduga ia menjunjung tinggi substansi daripada bungkus. Ia lebih percaya kepada kesejatian daripada hanya sekadar kepada kulit ari yang piawai penipu. Tetapi yang jelas, ia pasti sosok berpaham “mangan ra mangan sing penting mangan.
Telur Goreng
Telur goreng dalam hal ini adalah yang diceplok utuh, bukan dibuat scrambled (orak-arik) atau omelette (endhog dadar). Dengan diceplok atau dimodel telur mata sapi, maka antara putih dan kuning telur akan berpisah secara baik-baik. Putih dan kuning telur manis terlihat.
Walau di-bai’at Ibu melalui teknis suapan dengan tanpa mempedulikan putih atau kuningnya duluan, sejak bisa makan sendiri, saya selalu meletakkan kuning telur sebagai bagian terakhir untuk dimakan. Secara normatif, itu bisa disebut sebagai paham save the best for the last. Tetapi, saya lebih memilih menyebut kuning telur sebagai bagian telur yang patut untuk dibela, karena ia seringkali dinistakan sebagai bagian berkolesterol tinggi. Sedangkan, putih telur selalu disebut-sebut lebih bersahabat dan berguna bagi tubuh. Lihat saja Ade Rai setiap hari makan berapa kilo putih telur demi agar terjaga otot-ototnya yang methekel.
Bagi kaum cerdik pandai, tentu akan berpikir, dikemanakan si kuning telur kalau sudah begitu. Daripada berpanjang-panjang berprasangka bahwa kuning telur dimarginalkan lagi dicampakkan, maka saya bermurah hati untuk menikmatinya, sekalipun di bagian terakhir.
Ayam Tepung
Ayam tepung sejenis KFC atau McD menjanjikan kenikmatan melalui tepung yang melapisinya hingga ke lekuk tubuh ayam terdalam. Tepungnya digoreng mencapai taraf renyah, sampai-sampai jika kita terburu nafsu dalam menggigit, maka akan membuat repihannya pathing pencolot.
Tepung secara mikroskopis akan berkolaborasi dengan kulit ayam yang sudah mengering. Maka, antara tepung dan kulit sebenarnya sudah berfusi tak mau saling mengkhianati. Jika kita mencoba mengambil tepung, maka dengan ikhlas kulit akan menyertai.
Ringkas kisah, saya termasuk dalam arus utama penikmat kulit ayam bertepung di bagian akhir. Selama menghabiskan daging dan nasi, maka di sepanjang momen makan, kulit ayam akan saya amankan secara sangat posesif.
Soto
Indonesia sungguh negara yang bhinneka. Tak hanya bahasa, ras, dan agama, soto pun satu dari sekian banyak penunjang keberagaman Indonesia. Mulai dari Soto Padang, Banjar, Bogor, Kudus, Lamongan, Madura, Gunungkidul, sampai kepada perbedaan penyebutan, baik sauto, coto, tauto, dan sroto.
Karena saya lahir dan besar di Purwodadi Grobogan, maka sejak kecil saya akrab dengan Soto Kudus. Format Soto Kudus yang saya nikmati, selalu dicampur antara nasi dan sotonya. Tak pernah terpikirkan tipe lain.
Sampai tiada terduga, saya dihadapkan pada kenyataan harus kuliah di Bogor dan menjumpai Soto Mie Bogor. Pertama memesan, saya cuek saja sampai kemudian soto dihidangkan dengan memisah antara soto dan nasi. Seketika itu saya mengalami gegar budaya, karena betul-betul baru pertama kali mengetahuinya. Saya mencoba berkompromi dan berdamai dengan keadaan, bahwa nyatanya selain asal dan penyebutan, rupanya soto juga mempunyai perbedaan cara penyajian.
Akhirnya, saya terbiasa dengan dipisahnya nasi dan soto, bahkan sampai tak pernah lagi mempermasalahkan. Tetapi apabila harus memilih, maka saya cenderung kepada pilihan nasi yang dicampur dengan soto. Bukan karena persoalan penampilan, tetapi lebih kepada kebiasaan dan rasa. Menurut teori saya sendiri, soto yang dicampur dengan nasi akan membuat lebih mrasa. Bumbu-bumbu yang larut dalam kuah akan lebih dalam merasuknya ke nasi, sehingga linier dengan rasa yang semakin enak. Karena konon, enaknya makanan disebabkan oleh bersatunya seluruh komponen unsur bumbu, tanpa ada salah satu di antara mereka yang dominan, sehingga yang lain merasa dikalahkan.
Bakso pangsit
Tentang bakso, khususnya yang berpangsit, saya pertama kali mengenal dari Bakso Malang. Saat TK atau SD, setiap sore ada pedagang yang berkeliling dengan pikulan dan saya hampir dipastikan membujuk untuk dibelikan. Tentang pangsit, di hati saya, memiliki kedudukan yang sama agungnya dengan kerupuk, siomay, batagor, dan berbagai makanan lain yang berbahan dasar tepung.
Kembali ke bakso, karena pangsit memiliki tempat khusus di hati, maka otomatis ia akan mendapat kehormatan sebagai bagian yang paling akhir dinikmati. Pangsit saya konsumsi dalam kondisi kepleh-kepleh. Pangsit adalah lakon yang munculnya belakangan, maka ia harus ditunggu dengan takzim. Pangsit ibarat partai final dalam pertarungan antara mie kuning, soun, seledri, tetelan, dan glindingan.
***

Perbedaan cara makan atau penyajian memang suatu hal yang menyertai khazanah kuliner. Perdebatan kerap kali menyertainya. Satu pihak merasa pilihannya yang terbaik, sementara yang lain disebut berkualitas rendahan. Saling berebutan klaim akan terus menjadi tema hangat bahkan sampai Israfil naik panggung. Klaim bahwa pilihannya ialah yang paling baik dan paling benar boleh-boleh saja, asal tanpa menegasikan kebaikan dan kebenaran pihak lain.

1 komentar:

  1. Aku jadi merasa lebih mengenal diri sendiri lewat postingan ini, Yan. Hehehehe.

    Sebagai makhluk pemamah biak, aku termasuk jamaah tarekat aliran makan bubur ayam tanpa diaduk, soalnya kalau diaduk jadi eneg duluan.

    Aku juga tidak pernah mempersalahkan akan makan putih duluan atau kuning duluan saat menyantap tellur ceplok, karena prinsipnya aku makan dari bagian tepi ke tengan lalu menepi lagi.

    Oiya, soal yang ayam tepung, aku sudah tahu kapan akan menghibahkan bagian kulitnya :D

    Sama seperti saat makan bubur ayam, aku termasuk sekte yang makan soto dengan nasi terpisah. Kalau cara makannya begini, aku bisa habis nasi banyak. Hihihihihi

    BalasHapus