Minggu, 20 Agustus 2017

Perlukah Malaysia Kita Jadikan Musuh Bersama?

(sumber gambar: boombastis.com)
Di tengah ingar-bingar kasus E-KTP, rusuh di Freeport, penipuan First Travel, dan ulang tahun Rafathar yang disiarkan langsung oleh tivi, publik Indonesia dikejutkan oleh insiden terbaliknya bendera Indonesia di buku panduan resmi Sea Games yang dirilis Malaysia sebagai penyelenggara. Sontak saja, warganet geger dan mengecam habis-habisan keteledoran fatal Malaysia tersebut.
Tidak hanya warganet biasa yang memang ceriwis terhadap apapun, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi juga menyatakan kekecewaan sampai-sampai terucap astaghfirullah dalam tweet-nya. Presiden Jokowi juga memberikan pernyataan bahwa terbaliknya bendera merupakan suatu hal yang menyangkut sebuah kebanggaan dan nasionalisme, oleh sebab itu permintaan maaf resmi sangat ditunggu. Namun, Pak Jokowi menekankan agar kasus ini tidak usah dibesar-besarkan.
Belum mendingin suasana, muncul kabar salah satu koran Malaysia juga memasang terbalik bendera merah putih kebanggaan kita. Dikira kita ini Polandia atau bagaimana. Kesalahan lain muncul dalam penempatan bendera Thailand sebagai juara umum Sea Games 2011 yang seharusnya diduduki Indonesia. Benar-benar sembarangan..
Menyusul berita selanjutnya, timnas sepakbola U-22 mengalami kehabisan makanan di hotel tempatnya menginap. Hingga Bima Sakti sang asisten pelatih mencari-cari makanan sedapatnya dan akhirnya temukan roti untuk mengganjal perut, sementara para pemain menunggu koki hotel memasak selama sekitar setengah jam. Semalam, tim sepak takraw putri memilih walk-out karena merasa dicurangi wasit saat menjalani partai final melawan Malaysia. Sungguh-sungguh kelewatan.
***
Meminjam istilah yang ramai digunakan saat pilpres 2014, insiden-insiden di atas rasanya sukar untuk tidak diprasangkai sebagai suatu skenario yang masif, terstruktur, dan sistematis. Sepertinya Malaysia lebih memperlakukan kita sebagai seteru daripada sebagai tetangga tunggal pager. Lumrah jika akhirnya kita semua marah dan tersinggung.
Kasus bendera terbalik di buku panduan misalnya, apakah mungkin sebuah buku resmi yang diterbitkan dalam perhelatan resmi sekelas event regional antar negara tidak mengalami kontrol secara bertahap dan berjenjang. Kita berpikir sederhana dan sewajarnya saja, kecuali memang event organizer Sea Games bekerja tidak profesional sehingga bisa silap untuk hal sesubstantif lambang negara.
Akhirnya kemarin, setelah ramai respon kekecewaan dan kecaman dari Indonesia, Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia Khairy Jamaluddin menemui Imam Nahrawi untuk meminta maaf secara resmi kepada rakyat Indonesia atas kasus terbaliknya bendera di buku panduan Sea Games. Baiklah kita maafkan, tapi tak’kan kita lupakan. Enak aja..
***
Saat Pak Jokowi menyatakan agar kasus ini tidak usah dibesar-besarkan, sebenarnya secara pribadi saya cukup kecewa. Sisi gelap diri saya menginginkan kasus ini dibikin ramai saja. Bukan, bukan karena saya gemar bermusuhan atau berkelahi. Dibikin ramai dalam konteks ini sebenarnya lebih kepada kebutuhan kita untuk mendapatkan musuh bersama.
Lha kok tiba-tiba Malaysia seperti menawarkan diri agar kita menunaikan gegeran besar-besaran. Maka momentum itu sebenarnya telah tiba.
Sebagaimana diketahui, sejak pilpres 2014 kemudian ditambah pilkada DKI tempo hari, potensi terpolarisasinya rakyat Indonesia dapat dikatakan cukup tinggi. Kubu-kubuan memprihatinkan akhir-akhir ini. Apalagi belakangan sudah masuk pada sentimen agama dan ras yang sangat sensitif.
Terpolarisasinya rakyat Indonesia sangatlah berbahaya dan akan menjauhkan bangsa dari produktivitas. Karena yang diendapkan di kepala dan hati hanya permusuhan dengan saudara sebangsa dan sekelurahan sendiri. Yang dijadikan semangat bukanlah berkarya untuk kemajuan bersama tetapi justru ingin saling mengalahkan di antara elemen yang seharusnya saling bersinergi. Kalau sudah demikian, kapan kita dapat bersaing dengan bangsa lain?
Maksud saya, dengan munculnya insiden bendera terbalik, sebenarnya kita sedang dihadapkan pada “orang lain” yang dengan sukarela datang untuk kita musuhi bareng-bareng. Dengan adanya musuh bersama, potensi permusuhan di antara saudara sebangsa akan menipis, lalu konsentrasi dan energi akan disalurkan untuk memenangkan “perang” dengan negara lain. Dengan adanya musuh bersama, kita menjadi lupa bermusuhan dengan orang-orang yang seharusnya kita gandeng untuk bekerja bersama sesuai tagline tujuh belasan kemarin.
Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah rasa cinta dan sayang kita sudah sedemikian rendahnya sampai-sampai kita tetap saja ingin saling menghancurkan di antara saudara sendiri? Apakah rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa sudah sedemikian lunturnya sehingga kita membutuhkan orang lain untuk kita hancurkan bersama?
Maka, perlukah Malaysia kita jadikan musuh bersama?


2 komentar: