Minggu, 19 November 2017

Aduh, Mas Is!

(sumber: 98five.com)
Beragam media beberapa hari ini menurunkan berita tentang pamitnya Is dari Payung Teduh. Pendengar dan peminat Payung Teduh pun tersentak dengan berita yang tanpa basa-basi muncul begitu saja. Wajar saja publik musik tak menduga, karena Payung Teduh memang sedang mereguk manisnya puncak popularitas di tahun 2017 ini. 
Sebelum 2017, atau tepatnya sebelum munculnya lagu “Akad”, tidak banyak yang sadar akan keberadaan Payung Teduh. Grup band yang besar di Universitas Indonesia ini sebelumnya hanya wira-wiri di event-event semenjana dan hanya masuk ke telinga kalangan tertentu. Namun, sejak “Akad” mendapat view yang sangat besar di YouTube, sekejap Payung Teduh menjadi band “mainstream.
***
Saya pribadi tahu dan langsung suka dengan lagu-lagu Payung Teduh di tahun 2012. Kala itu, entah darimana datangnya tiba-tiba nama itu melintas di linimasa twitter dan saya penasaran. Saya dengarkan “Resah”, “Angin Pujaan Hujan”, dan “Berdua Saja” setelahnya. Tak perlu berkali mendengar, tiga lagu itu langsung paten menjadi lagu-lagu yang terus-menerus menduduki daftar putar saya. Kemudian menyusul ada “Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan”, “Kisah Gunung dan Laut, dan “Masa Kecilku” yang juga demikian saya gemari.
Saat itu, baru saya sendiri yang mendengarkan Payung Teduh di antara teman sepermainan. Karena saya pemurah, maka saya perdengarkan tiga lagu tadi ke beberapa orang sekeliling. Saya antusias, tapi mereka dingin tidak merespons. Saya memaklumi, entah karena masalah selera atau karena Payung Teduh memang nama yang masih sangat asing. Tentu, saat itu nama mereka kalah telak dari Armada, D’Masiv, Noah, O.M. Sera, dan Monata. Juga jangan lupa, dengan Via Vallen yang saat itu belum menasional pun, Payung Teduh tetap kalah ngetop, terutama di lingkup Yogya dan sekitarnya.
Lebih menyakitkan lagi, ada pula teman yang pertama mendengar lagu-lagu Payung Teduh, langsung berucap: “lagune marai ngantuk, Mz!”. Tidak heran juga, sekali lagi selera tidak bisa dipaksakan atau mungkin karena teman saya itu lebih suka lagu-lagu yang nge-beat. Belakangan diketahui, teman tersebut di saat saya membuat tulisan ini, sering tertangkap basah memainkan lagu Jaran Goyang-nya Nella Kharisma.
***
Bagi saya, lagu-lagu Payung Teduh itu senada dengan namanya, meneduhkan. Lagunya membuai. Tidak sekadar notasi dan aransemen, --yang dibawakan dengan sound akustik yang clean-- lirik-lirik yang ditulis Is dapat tertangkap indera pendengar sebagai lirik yang dibuat dengan sangat serius, ora waton dadi. Liriknya sangat dipikirkan. Maka, Payung Teduh menjadi band yang lengkap menurut saya.
Suara rendah Is dipadu dengan aransemen yang mengalir lambat dan diisi dengan lirik-lirik puitik, maka jadilah perpaduan indah yang melenakan. Payung Teduh memang berbeda. Payung Teduh membawa sesuatu yang baru. Maka, nama mereka perlahan tertancap kuat dalam scene musik nasional. Undangan manggung sangat padat, lagunya seliweran di keramaian, belum lagi meledaknya single “Akad” tadi.
Bagi yang menyaksikannya dari jauh, sepertinya semua terlihat menyenangkan bagi Payung Teduh. Undangan manggung padat, bahkan sampai belasan kali di tiap bulannya. Pastilah itu ekuivalen dengan pemasukan yang semakin menumpuk. Belum pula menggetarkannya dielukan-elukan penggemar di setiap pementasan. Namun, ternyata apa yang dirasakan Payung Teduh, khususnya Is tidak demikian adanya. Is tidak bahagia di sana.
***
Per 31 Desember 2017, Is resmi tidak lagi memperkuat Payung Teduh sebagai vokalis. Ia ingin lebih banyak waktu tersedia untuk keluarga, komunitas teaternya, dan kegemarannya bersatu dengan alam. Bagi Is, Payung Teduh sudah terlalu melelahkan. "Nggak sehat, tiap akhir pekan kecapekan terus. Kurang tidur. Gig sudah dikurangin. Rezeki juga cobaan… Sudah tiga-empat tahun hidup di jalan."  Sahut Is dalam wawancara dengan Rolling Stone Indonesia.
Padatnya jadwal manggung rupanya membawa konsekuensi yang sangat pelik. Tubuh dan pikiran lelah, akhirnya juga mempengaruhi kesehatan hubungan internal di antara mereka. Band sudah tidak sehangat dulu. Hubungan di antara anggota sekarang lebih kepada hubungan profesional pekerjaan. Padahal band dibangun dari pertemanan dan kesamaan visi. Jika semua itu sudah sulit dipertahankan, maka perpisahan yang paling baik. Begitu itu mungkin yang ada di pikiran Is.
Bye bye. I think it’s a good time. Mantaplah untuk saya keluar. Dua orang masih mau jalan. Yang satu nggak tahu. Mereka labil banget. Silakan kalau mereka mau jalan.” Kalimat Is sangat terang-benderang menerangkan bagaimana yang dirasakan perihal internal Payung Teduh.
Is melanjutkan, “Tapi akhirnya rutinitas ini bikin kami nggak produktif, karena terlalu nyaman dan terlalu suka dengan yang namanya manggung. "Lah senang dong?" Demi Allah, naudzubillahminzalik. Saya nggak mau dibilang kufur nikmat. Justru ini remnya. Biar kami nggak kebablasan untuk terjebak di situ.
***
Apapun memang sangat subyektif. Bagi kita yang penonton ini, terpilih menjadi Payung Teduh adalah impian. Keliling Indonesia, main musik, dibayar pula. Belum pula merk-merk alat musik terkemuka berdatangan menawarkan endorsement. Bila sudah punya nama, apapun akan mudah terasa. Semua yang dulu dikejar, sekarang berdatangan tanpa diminta.
Tiada yang lebih menyenangkan dari mengerjakan hal yang disenangi sekaligus dibayar seperti yang kita duga ada di Payung Teduh. Tapi rupanya, dinamika yang kemudian muncul justru tidak seindah yang dibayangkan. Dan ternyata, masih ada orang-orang seperti Is yang memilih menjauhi kerjapan blitz kamera, di saat orang lain berebutan berdesakan mendekati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar