Senin, 24 September 2018

Mengukur Sisa Usia Kepelatihan Jose Mourinho di Manchester United

(sumber: hr.un.org)

Dalam beberapa minggu ini, selentingan kabar yang menyebutkan Jose Mourinho (Mou) akan digantikan Zinedine Zidane berembus cukup kencang. Kabar itu muncul menyusul kurang moncernya performa Manchester United (MU) di bawah kepelatihannya.
Sebenarnya, secara keseluruhan, MU tidak buruk-buruk amat selama dilatih Mou. Ia telah persembahkan gelar Community Shield, Piala Liga Inggris, dan Europa League. Namun, mengingat ini adalah MU dengan segudang prestasi di masa Sir Alex Ferguson, maka standar sundul langit terlanjur membelenggu Mou.
Gelar yang telah didapat belum cukup memuaskan fans dan manajemen. Kelas gelar yang seharusnya didapat MU ialah juara Liga Primer Inggris dan Liga Champions. Di bawah itu, hanya dianggap gelar selingan dan kurang mantap untuk dijadikan ukuran keberhasilan.
***
Saya pribadi setuju-tidak setuju soal Mou akan diganti. Tidak setuju karena Mou sampai sekarang masih pantas dinilai sebagai pelatih terbaik di dunia. Ia, bagaimanapun, sudah terlihat bekerja dan memberikan lebih dari satu gelar. MU di bawah pelatih kelahiran Setubal Portugal itu juga lebih baik dibanding jaman Moyes dan Louis van Gaal (LvG).
Tapi, saya tidak akan bersedih jika Mou misal benar-benar diganti, karena menurut saya permainan MU jauh dari kata menarik. Jika bukan karena saya telah menggemari sejak kelas 5 SD, maka saya enggan untuk sediakan waktu sembilan puluh menit untuk njinggluk di depan tivi saksikan MU bertanding. Saya tak ragu menyatakan lebih asyik saksikan timnas Indonesia U-16 dan U-19. Sungguh.
Dalam melatih, Mou menuhankan kemenangan, dan tidak peduli dengan bagaimana cara mencapainya. Ia tak acuh pada indah atau tidaknya permainan tim. Yang penting menang, titik!
Jika menilik ke belakang, maka ia tidak berbeda dengan Luis Felipe Scolari, pelatih yang membawa Brazil juara Piala Dunia 2002. Menurut pengamat, Scolari tipe pelatih pragmatis yang lebih mementingkan kemenangan daripada indahnya proses menuju ke sana. Menjadi masalah dan sorotan karena Brazil lekat dengan jogo bonito-nya.
***
Sampai sebelum melawan Wolverhampton Wanderers (Wolves), wacana penggantian Mou belum terdengar lagi. Karena memang MU baru saja menikmati kemenangan tiga kali beruntun melawan Burnley, Watford, dan BSC Young Boys.
Sampai pertengahan babak pertama melawan Wolves, MU masih baik-baik saja. Duet Fred dan Pogba di lini tengah membuat MU mendominasi permainan. Operan berjalan lancar dan beberapa kali sukar ditebak, lalu terciptalah gol debut Fred yang didahului umpan brilian Pogba.
Hingga awal babak kedua, MU tetap mendominasi. Namun semua berubah pasca gol Moutinho di menit 53. Gol itu secara telanjang menampilkan koordinasi bek yang buruk. Gol berasal dari solo run pemain sayap Wolves yang gagal ditutup Shaw. Ia sukses mengirim umpan tarik dan disambut Moutinho melalui tendangan kaki kiri keras ke sudut kanan gawang De Gea. Lindelof dan Smalling ternganga tidak berdaya.
Selepas itu, MU mati-matian keluar dari tekanan. Wolves mulai tuman semenjak berhasil membalas. Beberapa kali serangannya berhasil membuat saya maktratap. Mou mulai bersikap dengan menarik keluar Fred dan Alexis untuk digantikan Mata dan Martial.
Masuknya Mata dan Martial ternyata tidak diikuti pergantian taktik. MU tetap saja membawa gaya permainan seperti sebelumnya. Mata tampil lebih buruk daripada Fred. Martial sulit menembus sisi kanan pertahanan lawan sekalipun telah menampilkan kemampuan dribbling-nya. Sedikit yang tampak berubah adalah didorongnya Fellaini ke depan untuk meningkatkan kemungkinan gol dari umpan silang.
Karena tidak juga berhasil menembus gawang Wolves, saya menduga Lingard akan diganti dan benar saja Perreira masuk. Tapi tetap, MU seperti bermain tanpa visi. Mou kerepotan mencari cara ceploskan bola untuk mengubah kedudukan. Sistem permainan seperti sebelum kebobolan terus dipertahankan.
Mou seolah tak mempunyai ajian pamungkas untuk mengubah keadaan. Nampaknya, ia hanya instruksikan untuk mengirim bola jauh ke depan dan layangkan umpan silang, siapa tahu bek lengah dan Fellaini bisa menyundul. Sampai akhir pertandingan, MU gagal menangkan partai kandang itu.
Pasca pertandingan, media massa tak tampak membahas bagaimana MU menjalani pertandingan. Mereka lebih tertarik memberitakan kembali tampilnya Sir Alex di depan publik setelah sembuh dari pendarahan otak. 
***
Mou pernah berbicara, ia sulit untuk maksimal di MU bukanlah tanpa alasan. Pelatih yang sukses di Chelsea, Madrid, dan Internazionale itu berkata, Ed Woodward (CEO MU) tidak menuruti kemauannya untuk membeli beberapa pemain. Jadi, bukan kesalahannya semata jika MU tidak seperti yang diharapkan banyak orang.
Jika saya menjadi Woodward, berdasar pertandingan melawan Wolves, saya akan sangat mempertimbangkan untuk mengganti Mou, tapi tidak untuk di tengah musim kompetisi ini. Yang paling logis, saya akan menuruti kemauan Mou membeli beberapa pemain incarannya dulu --toh uang kami tidak terbatas, dan lalu menunggunya bekerja sampai akhir musim. Jika memberi gelar, maka ia bisa habiskan kontrak sampai akhir musim depan, kalau tidak, jelas akan saya kick.
Melihat bagaimana MU kesulitan mencetak gol di sisa pertandingan melawan Wolves membuat saya pesimistis tentang masa depan MU di tangan Mou. Mou nampak kesulitan menampilkan kejeniusannya. Mungkin pula strateginya telah tuntas dihafali lawan. Mou harus terus dinamis dan adaptif demi agar jasanya terus digunakan di MU.
Di sisi lain, tak dapat dimungkiri, tugas Mou lebih sulit daripada Sir Alex dulu. Sir Alex waktu itu telah memiliki tim matang hasil rintisannya sendiri. Di samping itu, persaingan praktis hanya dari Arsenal di bawah asuhan Wenger. Liverpool, Chelsea, dan Tottenham hanya tim medioker di masa itu. Manchester City? Ah mereka hanya sesekali terdengar karena personel band Oasis menggemarinya. The Citizen masih terseok di kompetisi Championship, kasta setingkat di bawah Liga Primer.
Saat ini, Mou di samping masih dalam tahap membangun timnya sendiri, juga menghadapi persaingan Liga Inggris yang demikian ketat. Liverpool, Chelsea, City, dan Tottenham menjelma menjadi kekuatan yang sulit ditaklukan. Ditambah tentu saja Arsenal yang berharap nuansa baru dari kedatangan Unay Emery.
Perjalanan Mou di MU sedang berada di masa kritis. Kelanjutan kariernya di MU saya rasa akan ditentukan musim ini. Mari kita tunggu, apakah tuah The Special One masih ada atau justru tak tersisa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar