(sumber: hr.un.org) |
Dalam
beberapa minggu ini, selentingan kabar yang menyebutkan Jose Mourinho (Mou) akan
digantikan Zinedine Zidane berembus cukup kencang. Kabar itu muncul menyusul
kurang moncernya performa Manchester United (MU) di bawah kepelatihannya.
Sebenarnya,
secara keseluruhan, MU tidak buruk-buruk amat selama dilatih Mou. Ia telah
persembahkan gelar Community Shield,
Piala Liga Inggris, dan Europa League.
Namun, mengingat ini adalah MU dengan segudang prestasi di masa Sir Alex
Ferguson, maka standar sundul langit terlanjur membelenggu Mou.
Gelar
yang telah didapat belum cukup memuaskan fans dan manajemen. Kelas gelar yang
seharusnya didapat MU ialah juara Liga Primer Inggris dan Liga Champions. Di
bawah itu, hanya dianggap gelar selingan dan kurang mantap untuk dijadikan
ukuran keberhasilan.
***
Saya
pribadi setuju-tidak setuju soal Mou akan diganti. Tidak setuju karena Mou sampai
sekarang masih pantas dinilai sebagai pelatih terbaik di dunia. Ia,
bagaimanapun, sudah terlihat bekerja dan memberikan lebih dari satu gelar. MU
di bawah pelatih kelahiran Setubal Portugal itu juga lebih baik dibanding jaman
Moyes dan Louis van Gaal (LvG).
Tapi,
saya tidak akan bersedih jika Mou misal benar-benar diganti, karena menurut
saya permainan MU jauh dari kata menarik. Jika bukan karena saya telah
menggemari sejak kelas 5 SD, maka saya enggan untuk sediakan waktu sembilan
puluh menit untuk njinggluk di depan
tivi saksikan MU bertanding. Saya tak ragu menyatakan lebih asyik saksikan timnas
Indonesia U-16 dan U-19. Sungguh.
Dalam
melatih, Mou menuhankan kemenangan, dan tidak peduli dengan bagaimana cara
mencapainya. Ia tak acuh pada indah atau tidaknya permainan tim. Yang penting
menang, titik!
Jika
menilik ke belakang, maka ia tidak berbeda dengan Luis Felipe Scolari, pelatih
yang membawa Brazil juara Piala Dunia 2002. Menurut pengamat, Scolari tipe
pelatih pragmatis yang lebih mementingkan kemenangan daripada indahnya proses
menuju ke sana. Menjadi masalah dan sorotan karena Brazil lekat dengan jogo bonito-nya.
***
Sampai
sebelum melawan Wolverhampton Wanderers (Wolves), wacana penggantian Mou belum
terdengar lagi. Karena memang MU baru saja menikmati kemenangan tiga kali
beruntun melawan Burnley, Watford, dan BSC Young Boys.
Sampai
pertengahan babak pertama melawan Wolves, MU masih baik-baik saja. Duet Fred
dan Pogba di lini tengah membuat MU mendominasi permainan. Operan berjalan
lancar dan beberapa kali sukar ditebak, lalu terciptalah gol debut Fred yang
didahului umpan brilian Pogba.
Hingga
awal babak kedua, MU tetap mendominasi. Namun semua berubah pasca gol Moutinho
di menit 53. Gol itu secara telanjang menampilkan koordinasi bek yang buruk. Gol
berasal dari solo run pemain sayap
Wolves yang gagal ditutup Shaw. Ia sukses mengirim umpan tarik dan disambut
Moutinho melalui tendangan kaki kiri keras ke sudut kanan gawang De Gea. Lindelof
dan Smalling ternganga tidak berdaya.
Selepas
itu, MU mati-matian keluar dari tekanan. Wolves mulai tuman semenjak berhasil
membalas. Beberapa kali serangannya berhasil membuat saya maktratap. Mou mulai bersikap dengan menarik keluar Fred dan Alexis
untuk digantikan Mata dan Martial.
Masuknya
Mata dan Martial ternyata tidak diikuti pergantian taktik. MU tetap saja
membawa gaya permainan seperti sebelumnya. Mata tampil lebih buruk daripada
Fred. Martial sulit menembus sisi kanan pertahanan lawan sekalipun telah
menampilkan kemampuan dribbling-nya. Sedikit
yang tampak berubah adalah didorongnya Fellaini ke depan untuk meningkatkan
kemungkinan gol dari umpan silang.
Karena
tidak juga berhasil menembus gawang Wolves, saya menduga Lingard akan diganti
dan benar saja Perreira masuk. Tapi tetap, MU seperti bermain tanpa visi. Mou
kerepotan mencari cara ceploskan bola untuk mengubah kedudukan. Sistem
permainan seperti sebelum kebobolan terus dipertahankan.
Mou
seolah tak mempunyai ajian pamungkas untuk mengubah keadaan. Nampaknya, ia
hanya instruksikan untuk mengirim bola jauh ke depan dan layangkan umpan
silang, siapa tahu bek lengah dan Fellaini bisa menyundul. Sampai akhir
pertandingan, MU gagal menangkan partai kandang itu.
Pasca
pertandingan, media massa tak tampak membahas bagaimana MU menjalani
pertandingan. Mereka lebih tertarik memberitakan kembali tampilnya Sir Alex di
depan publik setelah sembuh dari pendarahan otak.
***
Mou
pernah berbicara, ia sulit untuk maksimal di MU bukanlah tanpa alasan. Pelatih
yang sukses di Chelsea, Madrid, dan Internazionale itu berkata, Ed Woodward
(CEO MU) tidak menuruti kemauannya untuk membeli beberapa pemain. Jadi, bukan
kesalahannya semata jika MU tidak seperti yang diharapkan banyak orang.
Jika
saya menjadi Woodward, berdasar pertandingan melawan Wolves, saya akan sangat
mempertimbangkan untuk mengganti Mou, tapi tidak untuk di tengah musim
kompetisi ini. Yang paling logis, saya akan menuruti kemauan Mou membeli
beberapa pemain incarannya dulu --toh
uang kami tidak terbatas, dan lalu menunggunya bekerja sampai akhir musim. Jika
memberi gelar, maka ia bisa habiskan kontrak sampai akhir musim depan, kalau
tidak, jelas akan saya kick.
Melihat
bagaimana MU kesulitan mencetak gol di sisa pertandingan melawan Wolves membuat
saya pesimistis tentang masa depan MU di tangan Mou. Mou nampak kesulitan
menampilkan kejeniusannya. Mungkin pula strateginya telah tuntas dihafali
lawan. Mou harus terus dinamis dan adaptif demi agar jasanya terus digunakan di
MU.
Di
sisi lain, tak dapat dimungkiri, tugas Mou lebih sulit daripada Sir Alex dulu.
Sir Alex waktu itu telah memiliki tim matang hasil rintisannya sendiri. Di samping
itu, persaingan praktis hanya dari Arsenal di bawah asuhan Wenger. Liverpool,
Chelsea, dan Tottenham hanya tim medioker di masa itu. Manchester City? Ah
mereka hanya sesekali terdengar karena personel band Oasis menggemarinya. The Citizen masih terseok di kompetisi
Championship, kasta setingkat di bawah Liga Primer.
Saat
ini, Mou di samping masih dalam tahap membangun timnya sendiri, juga menghadapi
persaingan Liga Inggris yang demikian ketat. Liverpool, Chelsea, City, dan
Tottenham menjelma menjadi kekuatan yang sulit ditaklukan. Ditambah tentu saja
Arsenal yang berharap nuansa baru dari kedatangan Unay Emery.
Perjalanan
Mou di MU sedang berada di masa kritis. Kelanjutan kariernya di MU saya rasa
akan ditentukan musim ini. Mari kita tunggu, apakah tuah The Special One masih ada atau justru tak tersisa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar