(sumber: symmetrymagazine.org) |
Jumat minggu
lalu, semua berjalan baik, lancar, dan sesuai rencana. Pekerjaan berlangsung
sebagaimana biasa. Sore hari, kami lalui dengan futsal sampai menjelang
matahari pulang.
Hingga usai Isya’
hari seperti akan berakhir dengan sempurna, sebelum esok akan semakin indah
karena disambut akhir pekan. Sekitar pukul 21.00, Bu Ryan menyajikan bakso yang
ia racik dengan menambahkan mie sendiri. Mulai dari sana, Jumat membawa
kisahnya..
***
Karena beberapa
hari angin dingin Australi berembus sampai sini, bakso menjadi jodoh yang
membuat malam dan hangat menjadi semakin sakinah. Sambil bersantai usai
berbakso, saya tiduran karena lelah hasil futsal masih bersisa. Tak berapa
lama, kenyang menjelma mual.
Sendawa pun tak
kunjung terbit. Yang ada hanya mual dan ilham bahwa ini akan berakhir dengan
keluarnya isi perut. Benar saja, tak lama setelahnya isi perut
menyundul-nyundul minta dimuntahkan. Kecepatan yang tersisa dari futsal masih
ada dan membuat saya sampai kamar mandi tepat waktu.
Karena saya tidak
akrab dengan muntah, bahkan lupa kapan terakhir mengalaminya, saya baru tersadar
betapa tidak enaknya muntah. Peristiwa yang diawali dengan mual itu disusul
dengan rasa seperti ditinju di dada, dan berakhir dengan mengucurnya makanan
yang berubah wujud menjadi nggilani.
Siksaan belum
berhenti. Usai muntah yang pertama, muntah kedua meminta giliran. Iri mungkin. Asem tenan pakai ngiri segala.
Mual memang
hilang. Tapi keluar dari kamar mandi, tulang-belulang terasa tak lagi di
tempatnya. Sebab butuh upaya dan tenaga untuh muntah, keringat pun bercucuran.
Tak berapa lama, sumuk berubah
dingin. Badan lunglai sekaligus disemati fitur semi-menggigil. Sungguh, saat
itu aku merasa ketampananku telah terenggut.
Perlahan badan
mulai nyaman, walau masih jauh dari bugar. Kantuk mulai datang dan usaha merem
dilakukan. Sedikit demi sedikit semua hilang bersama tidur~
***
Memang betul kata
orang, tidur mampu menepikan masalah walau sejenak. Muntah dengan segala
masalah yang dibawanya luruh bersama lelap. Tapi ingat, itu hanya sejenak.
Tak berapa lama
setelah merem, serangan datang mewujud beda. Mual hilang, kruwes-kruwes datang.
Usus rasanya
seperti dipuntir. Jika pernah mencuci piring dengan spons dan untuk melepas
buih dari spons harus dengan meremasnya, maka begitulah mungkin wujud usus saya
di dalam sana.
Kruwes-kruwes itu datang dan
pergi. Setelah mak-kruwes, masih bisa
merem sebentar. Nanti kruwes lagi. Begitu
berulang kali. Iseng betul.
Rasa itu hilang
setelah ada inisiatif Bu Ryan untuk meminumkan air putih hangat. Kantuk muncul
dan baru terbangun setelah pagi.
***
Saat pagi tiba,
mual dan kruwes-kruwes betul-betul
hilang. Tetapi mereka tak mau pergi begitu saja. Mereka meninggalkan pesan
melalui evolusinya menjadi diare.
Hasilnya, jika setiap
Sabtu Minggu saya selalu merindukan sarapan di luar untuk menikmati hari, pagi
itu tak ada yang namanya selera makan. Blas!
Menjelang Dzuhur,
saya paksakan makan dan berhasil tandaskan satu piring. Tapi tetap belum ada
keinginan untuk makan apa. Padahal, akhir pekan adalah hari jajan nasional bagi
kami.
***
Yang terjadi
setelahnya hanyalah usaha menganalisis mengapa semua keadaan menyedihkan itu
menimpa. Keadaan itu seingat saya belum pernah sekalipun saya alami.
Hipotesis
pertama, jangan-jangan saya keracunan kerang. Sore itu, Bu Ryan memasak kerang.
Enak. Enak sekali. Kerang segar, tak ada bau khas menjelang busuk. Diputuskan,
kerang bukan penyebab.
Kedua, masuk
angin. Dan, dengan yakin inilah penyebabnya. Penyebab sistematisnya pun sudah
kami susun alurnya secara manis.
Begini, saya
bersama teman-teman rutin futsal seminggu dua kali di kantor. Oh ya, kantor
kami memiliki fasilitas lapangan futsal. Mohon maklum kantor keren.
Jumat biasanya,
kami sudah selesai tak lama setelah Asar. Jumat kemarin pengecualian. Futsal
masih berlangsung sampai satu jam lebih lama dari biasanya.
Usai futsal, kami
selalu mengobrol sekitar setengah jam sambil menunggu keringnya keringat. Jumat
kemarin, karena sudah terlalu sore, saya tak sempat keringkan keringat,
langsung ganti baju tapi terlupa melepas singlet, dan kembali ke ruang kerja
berpendingin udara.
Pori-pori yang
terbuka usai olahraga, singlet basah tak dilepas, dan ruang ber-AC adalah tiga
kata kunci. Mereka bersenyawa bersekutu menjadi penyebab ilmiah malam terburuk
dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar