Sabtu, 22 Agustus 2020

Teknik Asyik Bersepeda untuk Pemula

sumber gambar: bicycleexpress.com.au

Telah saya utarakan di tulisan Sepeda-sepedaku dan Cerita yang Mengitarinya, bagaimana bisa saya jadi korban hanyut arus besar tren sepeda di era pandemi. Sampai huruf ini terketik, antusiasme saya pada sepeda semakin tak terbendung.

Akhir pekan, dimana waktu saya atur sebagai waktu bersepeda ialah waktu yang demikian saya nantikan. Saya seperti anak kecil yang girang dan tak sabar menunggu.

Saya masih belum tahu akan bertahan berapa lama berada di kebiasaan ini. Semoga seterusnya.

***

Terus terang, baru dalam hitungan beberapa bulan belakangan ini saya merasa nyaman bersepeda. Sejak sepeda saya beli sembilan tahun lalu, frekuensi saya menungganginya sangatlah jarang. Jika diukur jarak, niscaya belum sampai 100 kilometer.

Minimnya frekuensi dan jarak tempuh karena saya tak temukan kesenangan dan kenyamanan. Sampai tren (atau fad?) sepeda datang dan membuat penasaran.

Saya terus bertanya, mengapa banyak orang bersepeda tapi saya tetap tak bisa. Sampai saya petakan masalah apa yang menjadi akarnya. Hal pertama yang tercetus: sadel!

Segitiga kecil tempat kita letakkan tubuh itu sangat berpengaruh besar dalam kenyamanan bersepeda. Jika ada yang keliru dengan sadel, pantat akan terasa kebas dan pedas usai bersepeda. Bahkan ada bagian tertentu yang terasa hilang entah kemana wqwqwq..

Sebelum benar-benar kembali turun bersepeda, saya lakukan riset kecil-kecilan. Pertama, tanya ke teman, seorang praktisi sepeda downhill. Saya bertanya jenis sadel merk apa yang nyaman. Ia sebut sebuah merk.

Di samping itu, saya berselancar di dunia maya. Ternyata, pencarian soal sadel menemukan banyak jawaban. Tertampil pula sadel banyak dijadikan kambing hitam ketidaknyamanan bersepeda. Ada yang bilang, sepeda harga ratusan juta akan percuma jika sadelnya tak nyaman.

Selain jenis dan ukuran sadel memang harus disesuaikan, ada pula pesepeda yang menyebut jam terbang minim menjadi sebab sadel terasa mengganggu. Semata masalah kebiasaan. Dari situ, sebelum putuskan beli sadel baru, saya memilih menambah frekuensi dan durasi lebih dulu.

Setelah bersepeda beberapa kali, masing-masing kurang lebih setengah jam, ternyata betul, berangsur rasa tak nyaman berkurang signifikan. Sampai hitungan bulan, sadel masih sadel bawaan. Sejauh ini masih klik dengannya.

Sadel harus disesuaikan dengan anatomi tubuh. Ia seperti sepatu. Tiap orang memiliki preferensi standar kenyamanan sendiri-sendiri. Bagaimana teknis mengukur sadel agar sesuai dengan tulang duduk pun ada.

Sadel tersedia dengan beragam bentuk, peruntukan, merk, dan harga. Silakan sesuaikan dengan kebutuhan. Karena seperti sepatu, maka dicoba dulu.

***

Dulu, usai bersepeda, saya menderita kelelahan yang tidak biasa. Saya kapok. Segar enggak, justru capek bukan buatan.

Dengan reaktif, saya langsung berkesimpulan, sepeda bukan untuk saya. Sepeda nganggur lama sekali. Saya beralih ke futsal. Sekitar enam sampai tujuh tahun saya aktif di sepakbola dalam ruang dengan diselingi jogging.

Berbarengan dengan penjajakan sadel, saya sekalian menambah kekerapan bersepeda. Ternyata benar. Setelah lebih sering gowes, nafas tak lagi tersengal-sengal, badan juga tidak kewer-kewer. Keasyikan muncul, bahkan nagih. Jam terbang adalah koentji!

***

Selain praktik, saya juga sedang gemar-gemarnya ngulik apapun tentang sepeda. Mulai dari membaca artikel, menonton review, vlog, bike check, restorasi, build a bike, sampai mendengar podcast. Jika sudah senang dengan sesuatu, saya memang begitu, kerahkan kemampuan sebisanya untuk tenggelamkan diri.

Karena mencari, saya pun ngunduh. Saya beruntung menemukan podcast Azrul Ananda dan Johnny Ray. Azrul Ananda bukan sosok asing untuk saya. Meski belum pernah bertemu, tulisan-tulisannya sudah saya akrabi sejak SMP.

Ia putra kandung Dahlan Iskan. Siapa yang tidak kenal beliau beserta rekam jejaknya yang mentereng. Azrul pernah beberapa tahun duduk sebagai wartawan, pemimpin redaksi, dan CEO Jawa Pos, jaringan koran terbesar di Indonesia, yang jaya karena polesan ayahnya.

Periode saat menjadi wartawan itulah tulisannya rutin saya baca. Itu terjadi sewaktu saya SMP s.d. SMA, saat Bapak berlangganan Jawa Pos. Azrul rajin menulis soal Formula 1 dan Basket, dua olahraga kegemarannya. Di kemudian hari, ia dikenal publik tanah air sebagai komentator F1 dan pendiri Developmental Basketball League (DBL), liga basket pelajar SMP & SMA terbesar di Indonesia.

Sekarang, Azrul menjabat Presiden Persebaya dan memimpin beberapa perusahaan. Ia, bersama John Boemihardjo, mendirikan Wdnsdy (baca: Wednesday), merk sepeda balap (road bike) berbahan karbon. Wdnsdy hanya menjual frame, tidak full-bike, disengaja demi agar bengkel mendapat bagian merakit dan pemilik bisa sesuka hati memasang onderdil sesuai keinginan.

Selain pebisnis, Azrul juga pesepeda yang sangat serius. Koleksi road bike-nya lebih dari 50 unit dan semuanya mahal. Menyusul kegemarannya bersepeda, ia membangun portal mainsepeda.com. Apa saja soal sepeda ada di sana. Bersama mitra bersepedanya, Raymond Siarta (pemilik Johnny Ray Cycling Apparel), Azrul siarkan podcast di channel YouTube MAINSEPEDA yang khusus membahas sisik melik sepeda.

Dari podcast, penuturan Azrul soal helm yang paling mengena sejauh ini. Saat syuting, ia membawa helmnya yang pecah saat kecelakaan disundul motor. Jika tak pakai helm, cerita pasti berbeda. Tidak hanya sekali itu helm menyelamatkannya.

Dari pengalaman-pengalaman itu, Azrul wajibkan helm dipakai saat bersepeda, di manapun, rute manapun, jauh atau dekat. Ia tak segan mengusir pesepeda lain yang masuki pelotonnya jika tak berhelm.

***

Saya banyak menyaksikan, pesepeda gowes dengan posisi telapak kaki dan lutut keluar, ke kanan kiri. Posisi yang benar, nyaman, dan efisien, telapak kaki dan dengkul lurus ke depan, sejajar dengan body sepeda.

Jika gowes dengan cleat, posisi telapak kaki dan dengkul dipaksa lurus. Tetapi, pesepeda pemula yang belum berfasilitas lengkap harus disiplinkan diri agar kaki selalu lurus. Percayalah, gowes akan lebih enak dan kaki tak mudah pegal.

Satu hal terakhir yang sering terlihat, masih banyak pesepeda yang kurang paham bagaimana posisi seatpost (besi penopang sadel) yang benar. Kebanyakan, seatpost dipasang terlalu rendah, sehingga ketika gowes, lutut menekuk saat pedal berposisi di bawah. Saya merasakan saat dulu belum mengerti dan pegele hora umum!

Atur seatpost hingga posisi dengkul lurus dan pedal dapat ditekan telapak kaki bagian depan. Jinjitlah dan bagian telapak kaki yang menopang itulah posisi ideal untuk menekan pedal.  

***

Jam terbang, sadel, helm, posisi kaki, dan ketinggian seatpost harus diperhatikan pesepeda pemula. Jika semua sudah terpenuhi, hal lain dapat menyusul.

Jersey dan celana bib silakan dibeli. Sepeda model macam-macam monggo dipilih. Upgrade komponen tentu boleh-boleh saja. Tapi itu semua jangan sampai kaburkan tujuan awal bersepeda untuk berolah raga dan/atau bertransportasi.

Sepeda tersedia beserta segala manfaat dan kesenangan yang ditawarkannya. Akan sangat mubazir bila tidak dieksplorasi. Tentang sepeda, Einstein bersabda: “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar