Selasa, 27 Oktober 2020

Aku Olahraga Maka Aku Ada

 

(sumber gambar: resaja.com)

Tahu, semua orang pasti tahu betapa pentingnya olahraga. Namun, tak banyak yang rutin melakukannya. Alasannya macam-macam. Mulai dari tidak sempat, sampai alasan paling tidak bisa digugat: malas.

Angeeeel. Wis angeeeel..

Berdasar data Badan Pusat Statistik tahun 2018, hanya 35,7% penduduk Indonesia yang aktif berolahraga. Tak sampai separuh!

Persentase itu sudah bertambah dibanding data tiga tahun sebelumnya. Cuma 27,6% penduduk Indonesia yang aktif olahraga pada tahun 2015. Semoga data tahun 2019 dan setelahnya menampilkan angka yang menggembirakan.

***

Sejak kecil, saya disuguhi pemandangan yang tak pernah jauh dari nuansa sporty. Orang-orang terdekat menampilkan lingkungan yang positif dan sehat. Siapa lagi kalau bukan kedua orang tua saya.

Mereka sosok yang sadar pentingnya olahraga. Karena sadar saja tidak cukup, mereka juga mempraktikkannya. Bapak sejak muda sudah menekuni bermacam olahraga. Tapi saya hanya menangi saat beliau menekuni sepeda, lari, dan sempat diselingi angkat beban. Sejak saya lahir sampai sekarang, beliau tidak berhenti. Sampai tadi pagi.

Selain aktif dalam PKK dan Dasa Wisma, ibu saya pegiat senam aerobik. Beliau terdaftar sebagai member sebuah sanggar senam milik seorang juragan emas. Sekarang, berdua bersama bapak, beliau rutin jalan pagi.

***

Era 90-an sampai awal 2000-an adalah era yang menguntungkan untuk selalu bergerak. Handphone belum umum, sepeda motor masih cukup mahal untuk dimiliki. Internet bahkan belum sedikit pun menyentil panca indera. Semua menuntut gerak fisik untuk mobilitas harian.

Sebagai produk era itu, saya masih merasakan bersekolah jalan kaki dan bersepeda. Jam rehat diisi sepak bola atau petak umpet. Sorenya begitu lagi bersama teman-teman ngaji.

Saking sukanya sepak bola, saat SD saya memohon didaftarkan sekolah sepak bola (SSB). Ketika itu pasca Piala Dunia 1998. Dunia terkena demam bola, tidak terkecuali saya.

SSB menjawab impian para bocah untuk meniru gocekan para idola. Saya ingin bisa seenergik Michael Owen, segarang Gabriel Omar Batistuta, dan setampan David Beckham.

Sampai SMP saya masih sepak bola, tapi tidak serutin saat SD. Berangkat dan pulang sekolah jalan kaki atau nyepeda. Saat libur, lari bersama bapak atau bersepeda bersama teman selalu awali hari.

Nah, saat SMA, saya mulai jarang olah raga. Jarak sekolah sekitar 22km membuat waktu dan tenaga tersita. Belum lagi ditambah jadwal ekstra kurikuler dan bimbingan belajar. Rasanya, saat itu yang rutin bergerak hanya jari tangan untuk mencatat pelajaran.

Seingat saya, frekuensi olahraga saya jauh berkurang semasa SMA. Sesekali bersepeda, sesekali sepak bola, dan jarang lari pagi.

Sementara, bapak dan ibu terus saja. Tak pernah berhenti. Padahal, khususnya bapak, bekerja sangat sibuk. Tapi tetap saja, tak banyak alasan. Lari terus, sepeda terus.

***

Data berbicara hanya 35,7% penduduk Indonesia yang aktif olahraga. Itu berarti hanya sekitar sepertiga seluruh penduduk. Itu sungguh sedikit, tapi saya percaya data itu.

Bukti empiris yang saya miliki, bapak bersama kelompoknya yang tak sampai belasan orang itulah sedikit dari penduduk di tempat tinggal saya yang aktif olahraga. Mereka sangat istiqomah.

Jika dikerucutkan kembali dari sekian orang itu, yang betul-betul tak kenal lelah hanya sekitar separuhnya. Salah satunya, bapak.

Jadi, memang betul, tidak banyak orang yang konsisten dan persisten berolahraga. Saya beruntung memiliki teladan langsung dan dekat.

Dikira berusia lebih muda dari usia sebenarnya, menjadi kebiasaan bapak. Saat pensiun sekitar tujuh-delapan tahun lalu, semua temannya berkata beliau belum pantas. Itulah sedikit dari banyak efek positif perjuangan olahraga berpuluh tahun.

***

Saat kuliah, praktis saya sama sekali tidak berolahraga. Kuliah di IPB sangat jauh dari stereotype kuliah yang tampak di FTV. Nihil santai-santai, apalagi mbolas-mbolos.

IPB membuat makalah dan tugas menjadi nama tengah kami. Hidup berada dalam tempo yang sangat kencang. Bagi saya, yang dikirim jauh-jauh ke sana khusus untuk berkuliah, olahraga hanya membuang waktu.

Hasilnya, dipikir-pikir, saat itu saya tidak bugar. Semua tampak dari foto-foto masa itu yang tampak lusuh dan kuyu.

Saat bekerja dan kemudian menikah, kenaikan berat badan menjadi isu terbesar. Ada masanya celana mulai sesak. Memang, selain sedikit berbakat musik, saya berbakat gemuk.

Gemuk identik dengan tidak sehat dan kurang eloknya penampilan. Ditambah, adanya penelitian yang menyatakan, semakin besar lingkar pinggang semakin tinggi risiko mengidap penyakit berbahaya.

Memang, pria yang sudah menikah hidupnya ayem tentrem. Yang masakin ada, uang tersedia, beli makanan yang diinginkan bisa. Saat itulah, jika tidak dikontrol, perut semakin tak terkendali. Kancing baju pun meronta-ronta.

Mulai, saya berusaha merutinkan lari pagi. Di kantor dibangun lapangan futsal. Membuat kami bermain seminggu dua kali. Di akhir minggu, ditambah jalan atau jogging.

Hampir dua tahun kelompok futsal kami meredup. Sosok yang mengomandani dan membimbing sudah purna. Vakum.

Saya memilih menggantinya dengan perpaduan High Intensity Interval Training (HIIT) dan angkat beban seminggu tiga kali. Ditambah sekali bersepeda.

***

Dengan rutin olahraga, flu jarang menyerang. Berat badan stabil terjaga.

Olahraga tak hanya sebabkan jarang sakit. Ia membuat bugar. Bugar setingkat di atas sehat. Jika sehat sekadar tidak berpenyakit, bugar itu tubuh terasa segar. Fit.

Olahraga menjadikan tidur dan makan mencapai standar baru. Tidur lebih pulas, makan makin enak. Percayalah.

Olahraga juga bertanggung jawab atas meningkatnya hormon endorfin, dopamin, dan serotonin. Endorfin membuat kita bahagia dan menurunkan stres. Dopamin pun sama, mengatur agar hati jadi happy

Serotonin berperan mengatur emosi, daya ingat, dan menurunkan kadar stres pada tubuh akibat kelelahan fisik. Pada gilirannya, dopamin dan serotonin bekerja sama mengatur mood, melahirkan perasaan senang, dan menciptakan pikiran positif.

Satu lagi, jika selama ini kalimat “demi bangsa dan negara” terdengar ndhakik-ndhakik dan mengawang-awang, olahraga membuatnya membumi. Dengan olahraga, setidaknya kita tidak menambah beban jaminan kesehatan yang negara berikan.

Bayangkan jika semakin banyak penduduk berolahraga. Lalu menjadi gerakan yang masif. Semakin banyak penduduk yang bugar dan berpikiran positif, Indonesia akan menjadi bangsa yang senantiasa produktif dan berdaya saing.

***

Gerak itu tanda hidup. Gerak itu olahraga. Hidup harus olahraga. Aku olahraga, maka aku ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar