Sabtu, 13 Februari 2021

Marah karena Maaf

 

sumber gambar: econlib.org

Agenda hari itu rapat beruntun. Dua kali. Tanpa jeda. Saya datang tepat waktu, tetapi sesampainya di sana, saya harus menunggu.

Ternyata, karena satu dan lain hal, rapat ditunda sampai usai istirahat siang. Meski agak jengkel, saya dapat menerima. Mengingat padatnya jadwal penyelenggara dan beberapa sebab lain yang masuk akal.

Sebagaimana akhir tahun sebelum-sebelumnya, akhir 2020 menyimpan banyak agenda. Apa yang dimulai di 2020 harus dirampungkan. Apa yang dilaksanakan di 2021 harus dicicil dan dimulai. Rapat dua kali dalam rangka itu pula.

Sambil menunggu waktu, saya keluar ruangan. Salat Zuhur tak lama lagi memasuki waktunya.

***

Sebenarnya saya akan Salat Zuhur di masjid, tapi tak sampai seratus meter berjalan, saya temui musala. Saya berhenti, duduk, dan melepas sepatu.

Terlihat masih ada salat berjamaah. Tampak pula seorang bapak yang selesaikan wudunya. Saya santai dan bergerak perlahan saja. Toh ruangan masih penuh. Hitung-hitung sambil menunggu giliran.

Tidak nyana, bapak yang wudu tadi mendekati saya dan berkata: “Mas, salat di masjid saja ya”. Saya kaget. Dalam sepersekian detik teringat didikan agar selalu bersikap asertif. Saya putuskan menjawab, dengan nada menggugat: “Lho, kok Bapak boleh salat di sini?”

Mungkin karena tidak mengira saya berkata seperti itu, ia terdiam dan sedikit gelagapan memilih kalimat.

***

Sudah rapatnya dua kali beruntun, datang tepat waktu, ditunda pula, eh mau salat ada larangan. Kontan saja saya hampir muntab. Untung saya masih bisa menahan interval nada bicara pada nada menengah. Tak sampai tinggi.

Bapak tadi lalu menjawab: “Iya, Mas. Sementara musala untuk kalangan kami dulu nggih.” Malas berdebat, saya pakai sepatu lagi. Saya tetap tak habis pikir, kenapa musala yang biasanya boleh dipakai siapa saja, hari itu terjadi eksklusivitas.

Saya pakai sepatu sambil mikir, tentu ditambah mangkel. Saya tidak kunjung temukan penjelasan logis.

Dengan bersungut-sungut, saya turuti kemauan si bapak. Saya putuskan salat di masjid. Di saat itulah, mungkin karena melihat ekspresi saya, ia meneruskan kalimatnya yang terpotong,: “Maaf ya, Mas. Jadi sebenarnya di kantor kami baru selesai rapid test dan ada pegawai yang reaktif..

Muka saya yang tadinya berurat kaku, spontan melunak. Jengkel pun luntur. Ternyata sebabnya itu.

Saya yang sebelumnya merasa didiskriminasi, justru sekarang merasa diselamatkan. Saya yang menggerutu, menjadi bersyukur.

Oh begitu njih, Pak. Siap. Matur nuwun sudah diinfo, Pak”. Saya bergegas ke masjid dengan hati lega.

***

Fragmen kisah nyata yang saya alami memiliki latar belakang, sehingga terjadi sebagaimana tertutur di atas. Si bapak melarang karena alasan tertentu, saya hampir marah juga karena ada sebab.

Saya hampir marah karena yang biasanya salat di mana saja boleh, siang itu dilarang. Saya begitu karena tak bisa berpikir jernih. Di tengah pandemi yang hampir setahun, seharusnya saya bisa menduga ada sesuatu yang terkait dengan itu. Tapi, gagal.

Saya tarik kembali ke belakang, mengapa pikiran saya gelap dan keruh. Satu, mungkin karena pikiran saya penuh rangkaian pekerjaan yang harus diselesaikan. Masih ada agenda rapat beruntun dengan waktu yang ditunda. Pun, ada jadwal lain yang memiliki tenggatnya masing-masing. Oleh karenanya, bisa dibilang saya sedang bunek. Kalut.

Dua, teringat, saya hari itu tidak sarapan. Sampai sesiang itu perut saya hanya kemasukan minuman. Saya lapar. Karena lapar, saya emosional. Dan itu ilmiah.

Lapar dapat mengalir menuju stres, kecemasan, dan kegelisahan yang bermuara pada amarah. Sinyal lapar yang dikirim otak akan merangsang pelepasan hormon adrenalin kortisol, yang membuat kita sulit kendalikan emosi saat lapar.

Munculnya rasa lapar menjadi tanda bahwa tubuh kekurangan glukosa dan nutrisi, maka seharusnya segera makan. Kondisi tersebut berakibat pada menurunnya kemampuan otak untuk mengendalikan emosi.

Sebuah studi di Universitas Ohio Amerika Serikat menemukan, semakin rendah kadar gula dalam darah, seseorang akan semakin mudah marah dan agresif. Lapar memang berbahaya.

Dari sisi saya, itulah sebabnya. Tetapi, saya percaya, suatu hal seringkali terjadi tidak hanya karena satu hal. Jadi, ada peran si bapak juga dong..

Menurut analisis saya, amarah saya terpancing karena teknik penyampaian si bapak. Entah karena ia memang berwatak seperti itu, sebab panik, atau belum tahu saja bagaimana seharusnya bertutur kepada orang asing. Terutama pada suatu hal yang sensitif.

Saya yakin, dari penampakan fisik dan logatnya, ia seorang Jawa. Idealnya, saat menegur saya, alangkah elok dan tentu akan berefek berbeda jika ia mendahuluinya dengan “nuwun sewu”. Atau agar lebih universal, dengan “maaf.”

Jika saja si bapak mendahului dengan kata keramat itu, niscaya respons berbeda akan datang dari saya. Dengan “maaf”, hati dan pikiran akan refleks bersiap menerima informasi yang berpotensi mengganggu persepsi dan ego. Sayangnya, si bapak luput dan justru tempatkan “maaf” saat semua sudah terlanjur. 

Tapi, pasti si bapak punya pertimbangan tertentu. Entah karena canggung, bingung, atau tak ingin ciptakan kegaduhan.

***

Komunikasi bukanlah kegiatan remeh. Ia menuntut beragam variabel sehingga menghasilkan kesepahaman. Jika satu atau beberapa aspek tidak terpenuhi, bersiap saja, kesalahpahaman berujung konflik akan terjadi.

Oleh karenanya, kita harus memahami konteks lokasi dan peristiwa yang melatari. Dari sana, kita dapat memilih teknik, diksi, dan kalimat yang akan kita komunikasikan.

Namun, dalam kehidupan yang menyimpan kompleksitas tiada tara ini, kesalahpahaman terkadang tidak dapat dihindari. Jika harus terjadi, maka terjadilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar