Kamis, 18 Juli 2013

Mengelola Rasa Cemburu




Tempo hari,  di acara talk show Bukan Empat Mata, sang host, Tukul Arwana melemparkan celetukan terkait suatu bahasan yang menarik. Di sisi lain, ungkapan itu justru dengan pas dapat dipakai sebagai representasi fenomena yang sehari-hari terjadi di sekitar kita. Kalimat itu kurang lebih berbunyi: “Kamu itu tetanggamu beli sepeda motor terus meriang, beli mobil masuk rumah sakit. Kamu itu jenis manusia yang seneng liat orang susah, susah lihat orang seneng eaaa eaaa eaaaa..”
Dalam hidup bertetangga di suatu lingkungan, kita pasti mendapati dan otomatis menjadi saksi pasang surut kehidupan tetangga kita. Di sana kita akan melihat sekaligus menjalani hidup dalam rangka bersosialisasi. Pada suatu waktu, kita akan menjadi fokus perhatian karena laku dan tindakan kita. Suatu saat, tetangga bergantian mendapatkan porsi pembicaraan dan perhatian yang lebih. Begitulah dinamikanya.
Aneka peristiwa terjadi di dalamnya. Mau tidak mau kita harus pandai untuk menyikapinya. Dengan berbagai latar belakang kehidupan tetangga, kita harus pintar menempatkan diri dan memberikan perlakuan yang sesuai dengan karakter dan pembawaan tetangga kita. Intinya kita harus pandai membawa diri dimanapun kita berada.
Titik dimana tetangga kita sedang berada di keadaan yang berlebih untuk kemudian diwujudkan dalam suatu benda atau materi, maka di saat itu pula, kita mau tidak mau akan menyaksikannya. Adalah wajar, ketika benda itu merupakan benda yang belum mampu untuk kita beli dan miliki, kemudian menimbulkan rasa cemburu dan iri. Saat itulah kita dituntut untuk bijak dalam melakukan penyikapan.
Jika memperturutkan rasa cemburu dan iri, tak akan ada habisnya diri kita lelah menyaksikan segala yang ada di luar kemampuan kita. Segera setelah itu, yang timbul kemudian adalah rasa dengki. Bersiap-siaplah untuk berjauhan dengan kebahagiaan.
Iri dengki timbul karena hati sedang didikte oleh perasaan negatif. Yang pada akhirnya akan menghilangkan kemampuan kita untuk berpikir jernih dan objektif. Mungkin saja seseorang mampu untuk berbuat dan membeli sesuatu, karena sebelumnya ia sudah berjuang sekuat tenaga untuk wujudkan hal yang ia butuh dan inginkan. Kita terlampau sering terburu-buru memberikan penilaian kepada seseorang tanpa kita mau tahu apa alasan dan upaya yang ia lakukan sebelumnya untuk wujudkan sesuatu.
Pun rasa iri acapkali membuat kita lupa bahwa orang yang satu dengan lainnya memiliki prioritas dan orientasi yang berbeda untuk diwujudkan. Orang memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. Kita harus menyadarinya. Selain itu, watak karakter orang pasti berbeda. Ada orang yang bisa menghemat pengeluaran dengan baik. Sampai untuk membeli sesuatu selalu menggunakan perhitungan yang rumit. Ada pula orang yang berkarakter semua ingin segera tercapai tanpa melakukan pertimbangan yang cukup. Hingga memaksakan diri bahkan berhutang untuk membeli benda yang diinginkan. Jadi, memang banyak sekali variabel dalam pengambilan keputusan di tiap-tiap keluarga.
***
Hati kita panas melihat tetangga membeli mesin cuci baru. Tanpa kita ambil peduli bahwa ia sudah lama menabung atau berhutang untuk membelinya. Tanpa kita mau tahu sang suami sering mengeluhkan kasarnya tangan sang istri karena sering mengucek baju dengan deterjen yang keras pengaruhnya terhadap kehalusan kulit. Akhirnya mesin cuci diprioritaskan untuk dibeli terlebih dahulu.
Kita mungkin belum bisa membeli mesin cuci karena tidak ada upaya menabung. Ketika suatu saat misalnya sudah ada biaya untuk membelinya, ternyata mesin cuci bukanlah menjadi hal yang diutamakan untuk diadakan di rumah. Karena suami tidak masalah dengan kasarnya tangan istri dan baju pun sudah sangat bersih dengan hanya diucek di aliran sungai belakang rumah. Analogi sederhananya seperti itu.
***
Ketentraman tanpa rasa dengki akan mudah kita wujudkan jika kita sadar bahwa rejeki itu tak pernah tertukar. Tuhan adalah sebaik-baik pengelola rejeki. Ia tahu bagaimana harus mendistribusikannya. Kebahagiaan akan muncul pada kita yang tidak sering membanding-bandingkan kemampuan dengan mereka yang secara sumber daya apapun memang ada di atas kita. Jadikan mereka sebagai contoh konkrit untuk motivasi kita agar lebih produktif dalam berkarya.
Banyak sekali yang memberikan tips dan trik untuk mewujudkan kebahagiaan. Salah satu yang terkenal adalah dengan selalu melihat ke bawah. Melihat kepada mereka yang lebih menderita dan menyedihkan. Menurut saya itu cara yang naif untuk mengecap kebahagiaan. Mengapa harus “mengorbankan” kesedihan dan kepedihan orang lain semata-mata agar kita mampu bersyukur? Mengapa kita tak bisa bahagia dengan hanya bersyukur bahwa Tuhan sudah memberi yang terbaik untuk kita?
Dengan berdamai pada keadaan sambil terus berupaya memaksimalkan potensi diri, percayalah rejeki akan datang dengan sendirinya. Rejeki itu mengikuti usaha dan doa kita. Tuhan tidak akan pernah zalim kepada hambaNya. Tuhan tidak akan pernah keliru dan tertukar dalam membagi rejeki.. *benerin jilbab*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar